PENDAHULUAN
Indonesia ditinjau dari sudut geografis merupakan
negara di Asia tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara
benua Asia dan Australia serta antara samudra Pasifik dan samudra Hindia juga
menjadi titik pertemuan dua rangkaian pegunungan muda, yakni sirkum pasifik dan
rangkaian sirkum mediterania, sehingga Indonesia memiliki tanah yang subur. Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau,
dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006, merupakan negara berpenduduk
terbesar keempat di dunia sekaligus negara yang berpenduduk muslim terbesar di
dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Dan perlu diketahui juga
bahwa Indonesia adalah negara yang dilalui garis Khatulistiwa terpanjang yang
artinya diatas wilayah Indonesia terdapat wilayah Geo Stationary Orbit (GSO)
atau Orbit Geo Sinkron merupakan suatu kawasan yang berbentuk cincin selebar
150 kilometer dan setebal 70 kilometer yang melingkari bumi di atas
khatulistiwa pada ketinggian kurang lebih 35.871 kilometer, membentang ke arah
barat melalui Afrika, Atlantik, Amerika, Selatan dan Pasifik yang keberadaannya
pertama kali dikemukakan oleh seorang sarjana Inggris bernama Arthur Clark pada
tahun 1945. GSO merupakan orbit geosinkron, yakni orbit satelit yang periode
putarannya sama dengan rotasi bumi pada sumbunya. Dengan demikian, sebuah
satelit yang ditempatkan di GSO akan selalu tetap kedudukannya terhadap
permukaan bumi, sehingga antenna penangkap di bumi tidak perlu
dipindah-pindahkan atau dirubah posisinya.
Dengan beberapa
keistimewaan tersebut Indonesia tidak terlepas dari Geopolitik dan Geostrategi
yang mana Geopolitik diartikan secara etimologi berasal dari kata Geo (bahasa
Yunani) yang berarti bumi yang menjadi wilayah hidup. Sedangkan Politik dari
kata polis yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri atau negara
dan teia yang berarti urusan (politik) bermakna kepentingan umum warga negara
suatu bangsa (Sunarso, 2006: 195). Sebagai acuan bersama, geopolitik dimaknai
sebagai ilmu penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan
masalah-masalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu bangsa sedangkan
Geostrategi merupakan suatu strategi memanfaatkan kondisi geografi Negara dalam
menentukan kebijakan, tujuan, sarana untuk mencapai tujuan nasional
(pemanfaatan kondisi lingkungan dalam mewujudkan tujuan politik).
Perubahan politik dunia
yang terjadi di era globalisasi, telah menghadirkan suatu kompetisi antar
bangsa. Kondisi tersebut cenderung mengarah pada perebutan pengaruh yang cukup
ketat, baik global, regional maupun nasional. Peran Indonesia di wilayah Asia
Pasifik merupakan bagian penting secara geopolitik dan geostrategi bagi negara
adikuasa seperti Amerika, demikian pula kepentingan dan ketergantungan
Indonesia pada peran dan kekuatan negara Amerika sebagai negara adidaya tidak
dapat dipungkiri lagi, salah satu contohnya ketergantungan ekonomi dan
finansial Indonesia pada peran IMF (International Monetary Fund), di mana peran
AS amat dominan dan begitu tinggi. Demikian juga bentuk kerjasama militer IMET
(International Military Education and Training), yang pada tahun 1999 telah
dihentikan menjadi suatu kepentingan strategis Indonesia terhadap Amerika
Serikat.
PERMASALAHAN
Peristiwa 9/11 yang
menyerang wilayah Amerika yaitu serangan ke gedung World Trade Center (WTC) dan
Pentagon memaksa pemerintah AS mengambil sikap tegas untuk merespon serangan
terhadap wilayah dan warga AS dari para teroris kemudian diikuti serangkaian
peristiwa bom yang terjadi di Indonesia menimbulkan persepsi Amerika terhadap
pelaku terorisme yang diyakini bersemai pada negara-negara dengan mayoritas
penduduknya yang beragama Islam, pasca serangan tersebut pemerintah AS kemudian
mengeluarkan beberapa kebijakan yang tergabung dalam National Security Strategy
of The United State of America pada bulan September 2002. Dalam strategi
tersebut terdapat satu kebijakan AS untuk memerangi terorisme baik dalam skala
domestik maupun internasional. Berselang beberapa bulan AS kemudian secara
khusus membuat kebijakan untuk menangani terorisme, tepatnya Februari 2003
yaitu National Strategy for Combating Terrorism. Kebijakan tersebut yang
kemudian lebih dikenal dengan War On Terrorism atau War Againts Terrorism
menjadikan landasan AS dalam memerangi terorisme internasional.
Kepentingan geopolitik
dan geostrategi Amerika terhadap Indonesia mengenai Perang melawan terorisme
semakin gencar terlihat, Amerika mulai memberikan janji kepada Indonesia dalam
hal kerjasama keamanan, hal itu diwujudkan dalam bentuk pertemuan pertama
Dialog Keamanan antara Indonesia dengan Amerika Serikat (Indonesia-United
States Security Dialogue I) pada tanggal 25 April 2002 yang mencakup
masalah-masalah situasi keamanan regional, kebijakan keamanan nasional,
perompak, reformasi militer, kebijakan counter-terrorism, perencanaan anggaran.
Washington kemudian
juga menjanjikan bantuan bagi Indonesia untuk membangun kembali ekonominya, dan
berjanji pula untuk mendukung transisi Indonesia ke sistem demokrasi.
Pemerintah Bush juga menjanjikan pembaruan hubungan militer antar kedua negara
kemudian mengaktifkan kembali IMET (International Military Education and
Training) yang dibekukan sejak September 1999.
Amerika mulai menunjukkan kepentingannya dibalik segala
bantuan kepada Indonesia terlihat dengan tingginya tekanan kepada pemerintah
Indonesia untuk melakukan investigasi dan menahan tersangka pelaku teroris
sebagai suatu tindakan preventif di lndonesia seperti yang telah dilakukan oleh
negara Australia, Malaysia, Singapura dan Amerika sendiri yaitu menerapkan
Internal Security Act (ISA), namun pemerintah Indonesia berulang kali telah menyatakan
bahwa hukum di Indonesia tidak memungkinkan penahanan seseorang tanpa bukti
yang memadai, tidak dapat melakukan penahanan preventif, penyadapan atau investigasi
tanpa surat perintah.
Akibatnya pemerintah dihadapkan pada dua pilihan, yakni
menuruti permintaan pemerintah Amerika pada Indonesia untuk mendukung penuh
kebijakan perang melawan terorisme, dan atau tuntutan kelompok-kelompok Islam
radikal agar pemerintah Indonesia menentang kebijakan Amerika itu. Artinya di
satu sisi apabila pemerintah mendukung penuh kebijakan Amerika dalam
melancarkan perang melawan terorisme dengan menerapkan keinginan Amerika untuk
melakukan investigasi dan menahan tersangka pelaku teroris sebagai suatu
tindakan preventif di lndonesia seperti yang telah dilakukan oleh negara
Australia, Malaysia, Singapura dan Amerika sendiri yaitu menerapkan Internal
Security Act (ISA) maka sama halnya pemerintah menyangkal Indonesia sebagai
negara hukum dan menyetujui persepsi dari Amerika terhadap pelaku terorisme
yang diyakini bersemai pada negara-negara dengan mayoritas penduduknya yang
beragama Islam.
KEBIJAKAN DAN
STRATEGI
Kebijakan dan strategi
penanggulangan tindak pidana terorisme dapat diterapkan oleh Polri namun tidak
serta merta menyetujui persepsi Amerika dan tetap pada koridor hukum yang
berlaku di negara Indonesia. Sebagai
Pimpinan Polri, perlu mengambil kebijakan dan strategi untuk dapat menanggulangi tindak pidana terorisme sebagai
berikut :
· Dukungan masyarakat
o
Mencanangkan dan mengutamakan penyelesaian akar permasalahan
terorisme dengan mengedepankan fungsi Binmas yang bersinergi dan memiliki
legitimasi dari masyarakat sebagai upaya Pre-emtif.
· Dukungan Pimpinan
o
Menyakinkan dan memberi pengertian kepada pimpinan bahwa
tindak pidana terorisme tidak serta merta dapat diselesaikan dengan penegakkan
hukum namun perlunya pelibatan segenap instansi pemerintah dalam proses
deradikalisasi.
· Dukungan Bawahan /
Anggota
o
Jikalau harus melakukan tindakan represif (penegakkan hukum)
perlu ditekankan kepada bawahan mengenai penggunaan kekuatan yang harus
proporsional dan tidak melanggar HAM.
o
Penegakkan hukum yang dilakukan sesuai dengan supremasi
hukum yang berlaku.
o
Proses hukum yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana
terorisme harus dilakukan dengan jelas, dapat diawasi dan menggunakan peradilan
terbuka.
------- *******
-------
No comments:
Post a Comment