Pendahuluan
Ketentuan yang diatur oleh beberapa
undang-undang menyatakan memberlakukan prosedur khusus dalam melakukan
pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat negara tertentu sehingga terkesan bahwa
ketentuan perundang-undangan tersebut memberikan perlakuan yang “spesial” atau
“istimewa” bagi para pejabat negara tertentu khususnya dalam hal dibutuhkannya
perijinan untuk dapat melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat negara
tertentu tersebut yang menimbulkan polemik dan konflik di dalam masyarakat
maupun di jajaran pemerintah sendiri juga sedikit banyak akan mempengaruhi
terhadap jalannya proses penyidikan perkara yang melibatkan pejabat-pejabat
negara tertentu tersebut.
Diakuinya persamaan kedudukan
dihadapan hukum (equality before the law) merupakan salah satu jaminan
perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam proses penegakkan hukum seperti menurut
Sri Soemantri, dalam negara hukum ada 4 (empat) unsur penting yaitu :
1.
Pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan
perundang-undangan.
2.
Adanya jaminan
terhadap hak asasi manusia (warga negara)
3.
Adanya pembagian
kekuasaan dalam negara.
4.
Adanya pengawasan
dari badan-badan peradilan.
Dari
unsur-unsur negara yang disebutkan diatas nampak jelas bahwa adanya hubungan
yang erat antara negara hukum dengan adanya jaminan terhadap perlindungan hak
asasi manusia (HAM) (Sri Soemantri, 1992 : 29-30) yang istilah hak asasi
manusia (HAM) itu sendiri merupakan terjemahan dari “human right” (inggris), “menselijkerechten”
(Belanda), “droit de l’homme”
(Perancis) dan dalam beberapa kepustakaan juga digunakan istilah “hak dan
kewajiban dasar manusia” atau “hak dasar manusia” (Andi Hamzah, 1986 : 1) dimana
setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan
tanpa terkecuali seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Dalam
perlunya prosedur perijinan ini terbersit adanya kondisi “khusus” atau
“istimewa” bagi para pejabat negara yang diatur beberapa perundangan yang tidak
dimiliki oleh warga negara biasa bahkan terhadap sesama pejabat negara juga
terdapat perbedaan antara pejabat negara yang harus ada ijin dan pejabat negara
yang tidak diharuskan ada ijin terlebih dahulu seperti presiden, wakil presiden
dan para menteri dalam rangka penyidikan yang melibatkan pejabat-pejabat
tersebut sesuai yang tertuang dalam UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan penjelasan umum butir 3e KUHAP.
Dalam suatu penyidikan, untuk
terpenuhi dan tercapainya suatu syarat yuridis dan administrasi diperlukan
suatu prosedur penyidikan sebagai suatu administrasi yang harus ditempuh untuk
melakukan suatu kegiatan pemeriksaan dalam rangkaian tindakan kepolisian yang
meliputi 2 (dua) prosedur yaitu prosedur umum merupakan prosedur yang berdasarkan
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan prosedur khusus yang
berdasarkan perundang-undangan yang mengaturnya seperti halnya dalam perijinan
yang diperlukan dalam rangka penyidikan oleh Polri terhadap pejabat-pejabat
negara tertentu tersebut, adapun pejabat-pejabat tertentu yang memerlukan
perijinan dalam rangka proses penyidikan yang melibatkan dirinya sesuai yang
diatur oleh perundang-undangan yang berlaku adalah sebagai berikut :
a) Kepala daerah dan wakil kepala daerah yakni gubernur/wakil
gubernur dan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota (diatur dalam pasal
36 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang telah diubah
dengan Perpu no. 8 tahun 2005)
b) Anggota MPR, DPR dan DPD baik provinsi atau kabupaten
atau kota (diatur dalam pasal 106 UU no. 23 tahun 2003 tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD)
c) Anggota DPRD (diatur dalam pasal 53 UU no. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah)
d) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (diatur dalam pasal
24 UU no. 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan)
e) Dewan Gubernur BI (diatur dalam UU no. 3 tahun 2004
tentang perubahan atas UU no. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia)
f)
Pimpinan dan
Hakim Mahkamah Agung (diatur dalam UU no. 5 tahun 2004 tentang perubahan atas
UU no. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)
g) Pimpinan dan Hakim Pengadilan (diatur dalam pasal 26
UU no. 8 tahun 2004 tentang perubahan atas UU no. 2 tahun 1986 tentang
Peradilan Umum)
h) Jaksa (diatur dalam pasal 8 UU no. 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan)
i)
Notaris (diatur
dalam pasal 66 UU no. 30 tahun 2004 tentang Notaris)
j)
Kepala Desa
(diatur dalam pasal 23 PP no. 72 tahun 2005 tentang Desa)
Penyelidikan dan penyidikan tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, dalam KUHAP istilah penyelidikan dan penyidikan dipisah artinya,
walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itut berasal dari kata dasar
sidik, yang artinya memeriksa, meneliti. (Andi Hamzah, 2004 : 117)
Dalam mengungkap suatu tindak pidana akan menemui
tindakan atau upaya penyelidikan dan penyidikan dimana dijelaskan dalam KUHAP
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dengan undang-undang,
sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur menurut undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
barang bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang telah
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dalam tulisan ini akan dibahas apa yang
melatarbelakangi diberlakukannya ketentuan perlunya perijinan dalam rangka
penyidikan terhadap para pejabat negara tertentu dan pengaruhnya terhadap
proses penyidikan tindak pidana yang melibatkan pejabat-pejabat negara tertentu
tersebut serta saran untuk memecahkan masalah.
Latar Belakang berlakunya ketentuan
perlunya perijinan terhadap para pejabat negara tertentu
Hal-hal yang melatar belakangi diberlakukannya
ketentuan tentang ijin pemeriksaan bagi pejabat negara tertentu tercantum dalam
bagian pertimbangan dari undang-undang no. 13 tahun 1970 tentang Tata Cara
Tindakan Kepolisian terhadap Anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang menyebutkan bahwa
dalam rangka menjamin martabat Majelis Hakim Permusyawaratan Rakyat Sementara
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, perlu diadakan ketentuan tentang tata
cara tindakan terhadap anggota/pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Kemudian diatur juga pada Inpres nomor 9 tahun 1974
tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap Pimpinan/Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/tingkat I dan tingkat II, yang menyatakan Tata Cara
Tindakan Kepolisian terhadap pejabat negara tersebut dilakukan untuk menjaga
martabat dan wibawa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan Tingkat II.
Sedangkan untuk pimpinan maupun anggota hakim pengadilan, pemberlakuan
ketentuan ijin tersebut menurut Fatwa Mahkamah Agung RI nomor :
KMA/125/RHS/VIII/1991 tanggal 31 Agustus 1991 didasarkan pada pertimbangan
bahwa posisi hakim yang harus dihormati.
Dari pasal-pasal tersebut diatas dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa latar belakang atau pertimbangan yang mendasari mengapa perlu
adanya prosedur ijin tersebut adalah untuk menjamin kewibawaan, martabat,
kehormatan dan kedudukan dari pejabat negara dalam rangka penyidikan terhadap
para pejabat negara tertentu guna menjamin dan menjaga martabat posisi pejabat
negara yang harus dihormati oleh masyarakat, termasuk juga oleh aparat penegak
hukum yang melakukan penyidikan terhadap pejabat tersebut.
Selain itu juga tercantum dalam penjelasan pasal 15
UU no. 15 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan bahwa maksud
dari diberlakukannya ketentuan mengenai tata cara tindakan kepolisian terhadap
anggota Badan Pemeriksa Keuangan agar dapat leluasa dan dengan sebaik-baiknya
melakukan tugas, dengan mendapat jaminan hukum sebagaimana mestinya anggota
lembaga tinggi negara.
Budaya atau kultur militer juga memiliki peranan
dalam melatar belakangi prosedur perijinan dalam rangka penyidikan oleh Polri
terhadap pejabat-pejabat negara tertentu yang mana semasa orde baru, mulai dari
presiden, menteri-menteri dan pejabat-pejabat negara saat itu mayoritas dijabat
oleh orang yang berasal dari kalangan militer, seperti dikatakan Satjipto
Raharjo dalam bukunya yang berjudul Hukum dan Masyarakat memuat bahwa kehidupan
hukum, khususnya budaya hukum masyarakat, dari segi normatif sangat dipengaruhi
oleh kondisi-kondisi budaya masyarakat secara makro yang sangat dekat dengan
ultimate reality. Namun pada tingkat mewujudkan budaya hukum dalam tatanan riil
dalam suatu masyarakat, informasinya akan sangat dipengaruhi oleh tatanan
politik dan ekonomi yang cenderung berorientasi pada hal-hal praktis atau
tuntutan realitas (Satjipto Rahardjo, 1981 : 25) oleh karena itu budaya militer
yang mengenal hirarki dan komando yang mengharuskan memiliki ijin atasan
langsungnya untuk dapat melakukan tindakan atau pemeriksaan terhadap bawahannya
sehingga budaya ini terbawa dan berpengaruh terhadap kebijakan yang dibuat pada
masa itu.
Pengaruh prosedur perijinan dalam rangka penyidikan
terhadap proses penyidikan tindak pidana yang melibatkan pejabat-pejabat negara
tertentu
Penegakkan hukum masalah pokoknya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yang menurut Soejono Soekanto
faktor-faktor tersebut terdiri dari 5 (lima) faktor yaitu : 1) faktor hukumnya
sendiri; 2) faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum; 3) sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum; 4)
faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan; 5) faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Yang mana kelima faktor
tersebut saling berkaitan dan merupakan tolak ukur daripada efektifitas suatu
penegakkan hukum.
Proses penyidikan akan tidak lagi sesuai dengan
asas-asas dalam peradilan pidana terkait dengan ‘prosedur ijin’ tersebut yang
pengaruhnya pada proses penyidikan akan terasa pada lebih lamanya waktu yang
dibutuhkan dalam proses penyidikan yang melibatkan pejabat-pejabat negara
tertentu sehingga secara tidak langsung akan membutuhkan biaya operasional yang
ekstra dibandingkan dengan penyidikan pada perkara yang melibatkan warga biasa.
Ditinjau dari sudut pandang independensi kekuasaan
kehakiman, ‘prosedur ijin’ ini dapat disalahgunakan menjadi suatu cara untuk
dapat menunda suatu penyidikan terhadap perkara yang melibatkan pejabat-pejabat
negara tertentu sehingga menimbulkan suatu kekhawatiran terhadap tersangka yang
masih dapat bergerak bebas diluar tahanan untuk dapat melarikan diri,
menghilangkan maupun merusakkan barang bukti, dapat mengulangi perbuatannya,
dapat mempengaruhi para saksi dan dapat mengganti atau merubah barang bukti
yang terkait dengan perkaranya itu, serta dapat menimbulkan kemungkinan untuk
dapat memindahkan kekayaan hasil dari kejahatannya kepada orang lain.
Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU no. 14
tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yakni prinsip
dari peradilan yang menghendaki agar pelaksanaan penegakkan hukum di Indonesa
berpedoman pada prinsip cepat, sederhana dan berbiaya ringan, tidak
bertele-tele dan berberlit-belit, seperti pencantuman peradilan cepat dalam
KUHAP terwujudkan dengan banyaknya istilah yang menggunakan kata “segera”.
(Andi Hamzah, 2004 : 10)
Dengan terhambatnya proses penyidikan menimbulkan suatu
pandangan yang negatif terhadap proses penegakkan hukum di negeri ini karena
anggapan masyarakat terhadap aparat penegak hukum telah membiarkan kasus yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat negara tertentu dengan tidak melakukan
penangkapan terhadap pejabat tersebut yang terlihat masih dapat bebas menghirup
udara segar walaupun sebenarnya proses birokrasi perijinan sedang berjalan
namun berdasarkan surat edaran dari Mahkamah Agung menetapkan bahwa proses
penyidikan dapat dilakukan apabila dalam jangka waktu 60 hari sejak diterimanya
permohonan perijinan maka penyidikan dapat dilakukan.
SARAN
Perlunya ditinjau kembali mengenai ketentuan jangka
waktu sehubungan dengan permohonan ijin untuk melakukan penyidikan kepada
pejabat-pejabat negara tertentu yang telah diatur dalam perundang-undangan,
walaupun Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat edarannya yang bernomor 09
tahun 2009 tentang petunjuk ijin penyelidikan terhadap kepala daerah/wakil
kepada daerah dan anggota DPRD sebagai wujud ketidak seragaman pendapat
diantara para hakim selama ini yang akhirnya mengakibatkan tersendatnya proses
hukum pada pengadilan-pengadilan di daerah, namun pada surat edaran Mahkamah
Agung tersebut juga dirasakan jangka waktu yang masih terlalu lama yaitu 60
(enam puluh) hari dari terhitung sejak diterimanya permohonan proses
penyelidikan dan penyidikan, sehingga perlunya suatu peninjauan kembali untuk
mempercepat jangka waktu proses permohonan perijinan tersebut.
Daftar Bacaan
Hamzah,
Andi, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP, Jakarta : Bina
Cipta, 1986.
______.
Andi, Hukum Acara Pidana, cet. 3. Jakarta : Sinar Grafika, 2004.
Rahardjo,
Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Jakarta : Angkasa, 1981
Soekanto,
Soejono, Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum,
Jakarta : Rajawali, 1983.
Soemantri,
Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung : Alumni,
1992.
Peraturan
perundang-undangan
Indonesia,
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
________.
Undang-Undang tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap
Anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. UU no. 13 tahun 1970.
________.
Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. UU no. 14 tahun 1970.
________.
Undang-Undang tentang tentang Badan Pemeriksa Keuangan. UU no.
15 tahun 1973.
________.
Undang-Undang tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap
Pimpinan/Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah/tingkat I dan tingkat II. UU no. 9 tahun 1974.
________.
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU no. 8 tahun 1981.
________.
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU no. 4 tahun 2004.
No comments:
Post a Comment