Sunday, February 19, 2012

Prosedur Perijinan Dalam Rangka Penyidikan Terhadap Pejabat Negara Tertentu Oleh Polri


Pendahuluan
            Ketentuan yang diatur oleh beberapa undang-undang menyatakan memberlakukan prosedur khusus dalam melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat negara tertentu sehingga terkesan bahwa ketentuan perundang-undangan tersebut memberikan perlakuan yang “spesial” atau “istimewa” bagi para pejabat negara tertentu khususnya dalam hal dibutuhkannya perijinan untuk dapat melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat negara tertentu tersebut yang menimbulkan polemik dan konflik di dalam masyarakat maupun di jajaran pemerintah sendiri juga sedikit banyak akan mempengaruhi terhadap jalannya proses penyidikan perkara yang melibatkan pejabat-pejabat negara tertentu tersebut.
            Diakuinya persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law) merupakan salah satu jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam proses penegakkan hukum seperti menurut Sri Soemantri, dalam negara hukum ada 4 (empat) unsur penting yaitu :
1.                    Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
2.                    Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara)
3.                    Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
4.                    Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Dari unsur-unsur negara yang disebutkan diatas nampak jelas bahwa adanya hubungan yang erat antara negara hukum dengan adanya jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM) (Sri Soemantri, 1992 : 29-30) yang istilah hak asasi manusia (HAM) itu sendiri merupakan terjemahan dari “human right” (inggris), “menselijkerechten” (Belanda), “droit de l’homme” (Perancis) dan dalam beberapa kepustakaan juga digunakan istilah “hak dan kewajiban dasar manusia” atau “hak dasar manusia” (Andi Hamzah, 1986 : 1) dimana setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Dalam perlunya prosedur perijinan ini terbersit adanya kondisi “khusus” atau “istimewa” bagi para pejabat negara yang diatur beberapa perundangan yang tidak dimiliki oleh warga negara biasa bahkan terhadap sesama pejabat negara juga terdapat perbedaan antara pejabat negara yang harus ada ijin dan pejabat negara yang tidak diharuskan ada ijin terlebih dahulu seperti presiden, wakil presiden dan para menteri dalam rangka penyidikan yang melibatkan pejabat-pejabat tersebut sesuai yang tertuang dalam UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum butir 3e KUHAP.
            Dalam suatu penyidikan, untuk terpenuhi dan tercapainya suatu syarat yuridis dan administrasi diperlukan suatu prosedur penyidikan sebagai suatu administrasi yang harus ditempuh untuk melakukan suatu kegiatan pemeriksaan dalam rangkaian tindakan kepolisian yang meliputi 2 (dua) prosedur yaitu prosedur umum merupakan prosedur yang berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan prosedur khusus yang berdasarkan perundang-undangan yang mengaturnya seperti halnya dalam perijinan yang diperlukan dalam rangka penyidikan oleh Polri terhadap pejabat-pejabat negara tertentu tersebut, adapun pejabat-pejabat tertentu yang memerlukan perijinan dalam rangka proses penyidikan yang melibatkan dirinya sesuai yang diatur oleh perundang-undangan yang berlaku adalah sebagai berikut :
a)    Kepala daerah dan wakil kepala daerah yakni gubernur/wakil gubernur dan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota (diatur dalam pasal 36 ayat 1 UU no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang telah diubah dengan Perpu no. 8 tahun 2005)
b)    Anggota MPR, DPR dan DPD baik provinsi atau kabupaten atau kota (diatur dalam pasal 106 UU no. 23 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD)
c)    Anggota DPRD (diatur dalam pasal 53 UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
d)    Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (diatur dalam pasal 24 UU no. 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan)
e)    Dewan Gubernur BI (diatur dalam UU no. 3 tahun 2004 tentang perubahan atas UU no. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia)
f)      Pimpinan dan Hakim Mahkamah Agung (diatur dalam UU no. 5 tahun 2004 tentang perubahan atas UU no. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)
g)    Pimpinan dan Hakim Pengadilan (diatur dalam pasal 26 UU no. 8 tahun 2004 tentang perubahan atas UU no. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum)
h)    Jaksa (diatur dalam pasal 8 UU no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan)
i)      Notaris (diatur dalam pasal 66 UU no. 30 tahun 2004 tentang Notaris)
j)      Kepala Desa (diatur dalam pasal 23 PP no. 72 tahun 2005 tentang Desa)
Penyelidikan dan penyidikan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dalam KUHAP istilah penyelidikan dan penyidikan dipisah artinya, walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itut berasal dari kata dasar sidik, yang artinya memeriksa, meneliti. (Andi Hamzah, 2004 : 117)
Dalam mengungkap suatu tindak pidana akan menemui tindakan atau upaya penyelidikan dan penyidikan dimana dijelaskan dalam KUHAP penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dengan undang-undang, sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur menurut undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang telah terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dalam tulisan ini akan dibahas apa yang melatarbelakangi diberlakukannya ketentuan perlunya perijinan dalam rangka penyidikan terhadap para pejabat negara tertentu dan pengaruhnya terhadap proses penyidikan tindak pidana yang melibatkan pejabat-pejabat negara tertentu tersebut serta saran untuk memecahkan masalah.

Latar Belakang berlakunya ketentuan perlunya perijinan terhadap para pejabat negara tertentu
            Hal-hal yang melatar belakangi diberlakukannya ketentuan tentang ijin pemeriksaan bagi pejabat negara tertentu tercantum dalam bagian pertimbangan dari undang-undang no. 13 tahun 1970 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap Anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang menyebutkan bahwa dalam rangka menjamin martabat Majelis Hakim Permusyawaratan Rakyat Sementara Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, perlu diadakan ketentuan tentang tata cara tindakan terhadap anggota/pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Kemudian diatur juga pada Inpres nomor 9 tahun 1974 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap Pimpinan/Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/tingkat I dan tingkat II, yang menyatakan Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap pejabat negara tersebut dilakukan untuk menjaga martabat dan wibawa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan Tingkat II. Sedangkan untuk pimpinan maupun anggota hakim pengadilan, pemberlakuan ketentuan ijin tersebut menurut Fatwa Mahkamah Agung RI nomor : KMA/125/RHS/VIII/1991 tanggal 31 Agustus 1991 didasarkan pada pertimbangan bahwa posisi hakim yang harus dihormati.
Dari pasal-pasal tersebut diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa latar belakang atau pertimbangan yang mendasari mengapa perlu adanya prosedur ijin tersebut adalah untuk menjamin kewibawaan, martabat, kehormatan dan kedudukan dari pejabat negara dalam rangka penyidikan terhadap para pejabat negara tertentu guna menjamin dan menjaga martabat posisi pejabat negara yang harus dihormati oleh masyarakat, termasuk juga oleh aparat penegak hukum yang melakukan penyidikan terhadap pejabat tersebut.
Selain itu juga tercantum dalam penjelasan pasal 15 UU no. 15 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan bahwa maksud dari diberlakukannya ketentuan mengenai tata cara tindakan kepolisian terhadap anggota Badan Pemeriksa Keuangan agar dapat leluasa dan dengan sebaik-baiknya melakukan tugas, dengan mendapat jaminan hukum sebagaimana mestinya anggota lembaga tinggi negara.
Budaya atau kultur militer juga memiliki peranan dalam melatar belakangi prosedur perijinan dalam rangka penyidikan oleh Polri terhadap pejabat-pejabat negara tertentu yang mana semasa orde baru, mulai dari presiden, menteri-menteri dan pejabat-pejabat negara saat itu mayoritas dijabat oleh orang yang berasal dari kalangan militer, seperti dikatakan Satjipto Raharjo dalam bukunya yang berjudul Hukum dan Masyarakat memuat bahwa kehidupan hukum, khususnya budaya hukum masyarakat, dari segi normatif sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi budaya masyarakat secara makro yang sangat dekat dengan ultimate reality. Namun pada tingkat mewujudkan budaya hukum dalam tatanan riil dalam suatu masyarakat, informasinya akan sangat dipengaruhi oleh tatanan politik dan ekonomi yang cenderung berorientasi pada hal-hal praktis atau tuntutan realitas (Satjipto Rahardjo, 1981 : 25) oleh karena itu budaya militer yang mengenal hirarki dan komando yang mengharuskan memiliki ijin atasan langsungnya untuk dapat melakukan tindakan atau pemeriksaan terhadap bawahannya sehingga budaya ini terbawa dan berpengaruh terhadap kebijakan yang dibuat pada masa itu.

Pengaruh prosedur perijinan dalam rangka penyidikan terhadap proses penyidikan tindak pidana yang melibatkan pejabat-pejabat negara tertentu
            Penegakkan hukum masalah pokoknya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yang menurut Soejono Soekanto faktor-faktor tersebut terdiri dari 5 (lima) faktor yaitu : 1) faktor hukumnya sendiri; 2) faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3) sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum; 4) faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5) faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Yang mana kelima faktor tersebut saling berkaitan dan merupakan tolak ukur daripada efektifitas suatu penegakkan hukum.
Proses penyidikan akan tidak lagi sesuai dengan asas-asas dalam peradilan pidana terkait dengan ‘prosedur ijin’ tersebut yang pengaruhnya pada proses penyidikan akan terasa pada lebih lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses penyidikan yang melibatkan pejabat-pejabat negara tertentu sehingga secara tidak langsung akan membutuhkan biaya operasional yang ekstra dibandingkan dengan penyidikan pada perkara yang melibatkan warga biasa.
Ditinjau dari sudut pandang independensi kekuasaan kehakiman, ‘prosedur ijin’ ini dapat disalahgunakan menjadi suatu cara untuk dapat menunda suatu penyidikan terhadap perkara yang melibatkan pejabat-pejabat negara tertentu sehingga menimbulkan suatu kekhawatiran terhadap tersangka yang masih dapat bergerak bebas diluar tahanan untuk dapat melarikan diri, menghilangkan maupun merusakkan barang bukti, dapat mengulangi perbuatannya, dapat mempengaruhi para saksi dan dapat mengganti atau merubah barang bukti yang terkait dengan perkaranya itu, serta dapat menimbulkan kemungkinan untuk dapat memindahkan kekayaan hasil dari kejahatannya kepada orang lain.
            Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU no. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yakni prinsip dari peradilan yang menghendaki agar pelaksanaan penegakkan hukum di Indonesa berpedoman pada prinsip cepat, sederhana dan berbiaya ringan, tidak bertele-tele dan berberlit-belit, seperti pencantuman peradilan cepat dalam KUHAP terwujudkan dengan banyaknya istilah yang menggunakan kata “segera”. (Andi Hamzah, 2004 : 10)
            Dengan terhambatnya proses penyidikan menimbulkan suatu pandangan yang negatif terhadap proses penegakkan hukum di negeri ini karena anggapan masyarakat terhadap aparat penegak hukum telah membiarkan kasus yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara tertentu dengan tidak melakukan penangkapan terhadap pejabat tersebut yang terlihat masih dapat bebas menghirup udara segar walaupun sebenarnya proses birokrasi perijinan sedang berjalan namun berdasarkan surat edaran dari Mahkamah Agung menetapkan bahwa proses penyidikan dapat dilakukan apabila dalam jangka waktu 60 hari sejak diterimanya permohonan perijinan maka penyidikan dapat dilakukan.

SARAN
            Perlunya ditinjau kembali mengenai ketentuan jangka waktu sehubungan dengan permohonan ijin untuk melakukan penyidikan kepada pejabat-pejabat negara tertentu yang telah diatur dalam perundang-undangan, walaupun Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat edarannya yang bernomor 09 tahun 2009 tentang petunjuk ijin penyelidikan terhadap kepala daerah/wakil kepada daerah dan anggota DPRD sebagai wujud ketidak seragaman pendapat diantara para hakim selama ini yang akhirnya mengakibatkan tersendatnya proses hukum pada pengadilan-pengadilan di daerah, namun pada surat edaran Mahkamah Agung tersebut juga dirasakan jangka waktu yang masih terlalu lama yaitu 60 (enam puluh) hari dari terhitung sejak diterimanya permohonan proses penyelidikan dan penyidikan, sehingga perlunya suatu peninjauan kembali untuk mempercepat jangka waktu proses permohonan perijinan tersebut.


Daftar Bacaan

Hamzah, Andi, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP, Jakarta : Bina
Cipta, 1986.

______. Andi, Hukum Acara Pidana, cet. 3. Jakarta : Sinar Grafika, 2004.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Jakarta : Angkasa, 1981

Soekanto, Soejono, Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum,
Jakarta : Rajawali, 1983.

Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung : Alumni,
1992.

Peraturan perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

________. Undang-Undang tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap
Anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. UU no. 13 tahun 1970.

________. Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. UU no. 14 tahun 1970.

________. Undang-Undang tentang tentang Badan Pemeriksa Keuangan. UU no.
15 tahun 1973.

________. Undang-Undang tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap
Pimpinan/Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/tingkat I dan tingkat II. UU no. 9 tahun 1974.

________. Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU no. 8 tahun 1981.

________. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU no. 4 tahun 2004.

No comments:

Post a Comment