Pendahuluan
Untuk mencapai pemolisian yang
efektif dalam rangka mewujudkan suatu keamanan dan
ketertiban masyarakat (kamtibmas) serta dapat dikatakan fungsional
dalam masyarakat maka
Polri harus dapat berfungsi sebagai
bagian dari tata
kehidupan masyarakat tersebut
dan keberadaannya dibutuhkan
serta mendapat dukungan
dari warga masyarakat
yang dilayaninya. Untuk itu
anggota Polri harus dapat menentukan dengan tepat dimana ia berperan dalam
menghadapi suatu permasalahan yang sedang dihadapinya, apakah saat itu ia lebih
tepat berperan sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat atau
sebagai penegak hukum yang harus menegakkan hukum yang berlaku atau dapat juga
sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Apabila kita mencoba menyadari apa itu profesi Kepolisian
maka akan terlihat bagaimana uniknya profesi tersebut serta betapa rumitnya
tugas yang harus diembannya. Setiap anggotanya setiap saat dihadapkan pada
berbagai permasalahan dengan banyak pilihan-pilihan tindakan sebagai hasil
keputusannya yang harus diambil dalam waktu yang segera atau tidak dapat
ditunda-tunda bahkan terkadang pengambilan keputusan tersebut merupakan hasil
keputusannya sendiri tanpa adanya masukan atau saran dari rekan, atasan atau
masyarakat yang dikarenakan tingkat kesegeraan yang tinggi. Kapasitas petugas
Kepolisian untuk memilih di antara sejumlah tindakan legal atau tidak legal,
atau bahkan tidak melakukan tindakan sama sekali pada saat mereka menjalankan
tugas didefinisikan sebagai Diskresi Polisi (Davis, 1969).
Tulisan ini akan membahas tentang Kurangnya pemahaman
anggota Polri tentang Diskresi, Diskresi Kepolisian yang rentan menjadi Korupsi
Polisi, Bentuk pengawasan terhadap
Diskresi Kepolisian, Kekhawatiran anggota Polri dalam ber-Diskresi Kepolisian
dan Saran Pendapat.
Kurangnya pemahaman anggota Polri tentang Diskresi
Diskresi dapat dikatakan sebagai inti dari tugas
Kepolisian sehingga terasa ironis sekali bahwa di setiap pendidikan Polri tidak
mengajarkan Diskresi Kepolisian secara mendalam dalam pemahamannya, sering juga
pemahaman Diskresi Kepolisian ini diartikan sama dengan penyampingan perkara
yang sebenarnya hal tersebut tidak sepenuhnya sama melainkan terdapat
perbedaan. Pengertian Diskresi Kepolisian adalah “Suatu wewenang bertindak yang
diberikan kepada Polisi, untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu, yang
membutuhkan pertimbangan sendir dan menyangkut masalah moral, serta terletak
dalam garis batas antara hukum dan moral” (Thomas J. Aaron, 1960 : 18).
Dalam pelaksanaan Diskresi Kepolisian tidak untuk
memenuhi kepentingan pribadi, kelompok atau organisasi melainkan harus dapat
mengakomodir kepentingan umum, keadilan, kemanusiaan yang terjadi pada situasi
atau kondisi yang bersifat mendesak serta harus didasari dengan hati nurani,
etika profesi dan moral yang mana menurut Prof. DPM Sitompul (2000 : 2)
pelaksanaan tindakan Diskresi Kepolisian ini berpatokan pada empat azas yaitu :
1) Azas Keperluan yakni yang memberikan pedoman tindakan
polisi hanya dapat dilakukan apabila tindakan itu betul-betul untuk meniadakan
atau mencegah suatu gangguan.
2) Azas Masalah yang merupakan patokan memberi pedoman
bahwa tindakan yang dilakukan oleh seorang polisi harus dikaitkan dengan dengan
permasalahannya dan tindakan polisi tidak boleh mempunyai motif pribadi.
3) Azas Tujuan yakni menghendaki agar tindakan polisi
betul-betul tepat mencapai sasarannya, guna menghilangkan atau mencegah suatu
gangguan yang merugikan.
4) Azas Keseimbangan yaitu memberikan pedoman kepada
petugas polisi agar tindakan polisi seimbang antara keras dengan lunak tindakan
yang diambil, seimbang dengan alat yang digunakan dengan ancaman yang dihadapi.
Kewenangan dan dasar hukum bagi anggota Polri dalam
melaksanakan Diskresi diatur dalam :
1. Undang-Undang no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Indonesia :
a) Pasal 15 ayat (2) huruf (K) Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya,
berwenang : melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
Kepolisian.
b) Pasal 16 ayat (1) huruf (I) : Dalam rangka
menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepoisian Negara Republik
Indonesia berwenang untuk : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab. Ayat (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf (I) adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika
memenuhi syarat sebagai berikut : 1) tidak bertentangan dengan suatu aturan
hukum; 2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan; 3) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya; 4) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; 5) menghormati
hak asasi manusia.
c) Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat
perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi
Kepolisian Negara Indonesia. Kemudian di Pasal 19 ayat (1) dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa
bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan,
kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ayat (2) Dalam
melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud ayat (1) Kepolisian Negara
Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.
2. Undang-Undang no. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :
a) Pasal 7 ayat (1) huruf (J) Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (A) karena kewajibannya mempunyai
wewenang : Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Adapun “tindakan lain” ini dibatas dengan syarat (penjelas pasal 5 idem pasal 7
KUHAP) : a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2) selaras dengan
kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; 3) tindakan
itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4)
atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; 5) menghormati hak
asasi manusia (penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf (A) sub (4) dan pasal (7) ayat
(1) sub (J).
Diskresi Kepolisian yang rentan menjadi Korupsi
Polisi
Menurut Baker dalam saduran Kunarto (1999 : 75)
Diskresi menjadi korupsi karena adanya 1) struktur kesempatan dan teknik-teknik
pelanggaran peraturan yang menyertainya; 2) sosialisasi melalui pengalaman
pekerjaan; 3) dorongan dari kelompok sejawat, berupa dukungan kelompok terhadap
peraturan tertentu.
Penyalahgunaan Diskresi Kepolisian sangat rentan menjadi
suatu tindak korupsi, hal ini apabila Diskresi yang dilakukan oleh anggota
Polisi tersebut mendapatkan atau dijanjikan (iming-iming) mendapat imbalan
(uang, jasa, barang atau apapun). Teori dari Klitgard (1998) yang dikutib
Meliala (2000) untuk menjelaskan korupsi Polsis tersebut adalah sebagai berikut
:
C
= P + D – A
C
adalah Corruption ;
P
adalah Power ;
D
adalah Discretion ; dan
A
adalah Accountability.
Dapat dijelaskan dari teori Klitgard tadi bahwa karena
lemahnya kontrol dan kendali serta pengawasan terhadap pelaksanaan dan
pertanggung jawaban atas tidnakan Diskresi yang dilakukan oleh Polisi karena
kekuatan dan kewenangannya sehingga tindakan tersebut dapat dikategorikan
sebagai korupsi Polisi. Hal ini dikelompokkan oleh Punch dalam kutipan
Nitibaskara (2000) sebagai berikut :
1) Straight forward corruption (sesuatu dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan tergantung pada yang hendak diterima/diperoleh).
2) Combative (strategic) corruption (memanfaatkan
wacana-wacana hukum secara tersamar dan secara organisatoris atau secara social
dapat diterima sebagai suatu hal yang boleh terjadi).
3) Predatory (strategic) corruption (menangkap pelaku
untuk diperas atau mengorganisir perbuatan tercela lainnya seperti penyuapan).
4) Corruption as prevention justice (untuk mencapai
tujuan dan pelaksanaan tugas yang diembannya) sebagai contoh : bohong di bawah
sumpah, mengancam saksi, memasang alat bukti pada tersangka, dsb.
Bentuk pengawasan terhadap Diskresi Kepolisian
Banyak faktor yang mempengaruhi pertimbangan
dilakukannya tindakan diskresi oleh petugas Polisi dlam menangani
bermacam-macam pelanggaran hukum yang antara lain lemahnya dan kekaburan
pemahaman hukum yang jadi pedoman untuk melaksanakan suatu diskresi yang
kemudian ditambah lagi dengan lemahnya sistem kontrol atau pengawasan dan
pengendalian terhadap tindakan diskresi yang dilakukan oleh anggota Polisi.
Seperti yang disampaikan oleh Suparlan (2001) :
Lemahnya sistem pengawasan dan pengendalian, kurangnya gaji, dukungan anggaran
untuk operasional yang tidak memadai dan adanya kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan organisasi/pribadi berdampak pada tindakan diskresi yang dilakukan
petugas Polisi akan menjurus menjadi korupsi dan social costnya harus dibayar
mahal oleh Polisi antara lain buruknya citra Polisi di mata masyarakat.
Bentuk dari Diskresi itu sendiri dapat kita kelompokkan
menjadi dua yang terdiri dari : 1) diskresi yang dilakukan bersifat individual
yakni pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh petugas Polisi dilapangan
berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya yang dianggap benar, biasanya
pelaksanaan dan penerapannya dilapangan berdasarkan situasi dan keadaan yang
darurat (emergency) sehingga tanpa dilakukan pengamatan atau penelitian
mendalam terhadap apa yang diputuskannya tersebut; 2) diskresi yang lakukan
bersifat organisasi, biasanya yang menjadi pedoman adalah kebijakan dari
birokrasi yang berlaku.
Selama ini tindakan Diskresi Kepolisian yang diambil oleh
anggota Polri khususnya yang bersifat individual, bentuk-bentuk pedoman untuk
pengambilan tindakan diskresi dan pengawasannya belum jelas sehingga bentuk
tindakan Diskresi Kepolisian dengan sifat individual yang dilakukan oleh
anggota Polisi tersebut cenderung berkonotasi negatif. Sedangkan tindakan
Diskresi Kepolisian yang dilakukan oleh anggota Polri yang dalam kapasitasnya
mewakili organisasi berpedoman pada suatu hasil dari kebijaksanaan dari
birokrasi yang berlaku, hal tersebut dapat melalui suatu pengamatan atau
penelitian dan pembahasan yang mendalam tentang apa yang akan diputuskan
sebagai bentuk tindakan diskresi yang akan dilakukannya sehingga hal tersebut
dapat dikatakan sebagai bentuk pengawasannya.
Kekhawatiran anggota Polri dalam ber-Diskresi
Kepolisian
Dalam melaksanakan tindakan Diskresi Kepolisian oleh
anggota Polisi merupakan hal yang tidak mudah, baik itu yang bersifat
individual maupun yang bersifat organisasi sehingga banyak anggota Polisi yang lebih
mengandalkan supremasi hukum dengan mengedepankan asas legalitas sebagai landasan
terpenting dalam setiap tindakannya, mengingat resiko dari Diskresi Kepolisian
yang sering menjadi masalah bagi anggota Polisi itu sendiri akibat dari tidak
ada aturan atau batasan yang jelas. Padahal perlu ditinjau dan diingat kembali
bahwa tujuan dari hukum itu sendiri ada tiga yakni yang pertama tercapainya
suatu keadilan, kemudian yang kedua
kepastian hukum dan yang ketiga adalah kemanfaatan.
Dibentuknya Hukum menurut Gustav Radbruch (1961) terdapat
tiga nilai dasar, yakni keadilan, kegunaan dan kepastian hukum yang tanpa kita
sadari ternyata dalam tiga nilai dasar tersebut terdapat suatu ketegangan
bahkan berpotensi untuk saling bertentangan antara nilai yang satu dengan nilai
yang lainnya yang disebut spannungsverhaltnis
yakni apabila salah satu dari nilai tersebut dikedepankan maka akan menggeser
dua nilai lainnya kesamping.
Polri merupakan salah satu lembaga penegak hukum di
Indonesia, namun hakekat tugas, fungsi dan kewenangan yang diamanatkan oleh
undang-undang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya lebih mengedepankan
pencegahan. Sehingga penegakkan hukum merupakan langkah terakhir setelah
penerapan langkah pencegahan.
Saran Pendapat
Spannungsverhaltnis
yang terdapat diantara nilai-nilai
pembentuk hukum perlu penyeimbang agar tercapai suatu keserasian antara
kepastian hukum dengan kesebandingan hukum yang mewujudkan suatu keadilan,
penyeimbang itulah yang disebut Diskresi.
Dibutuhkannya suatu instrumen kontrol dan perlu adanya
suatu bentuk atau format pelaporan atas setiap tindakan Diskresi Kepolisian
utamanya yang bersifat individual yang telah dilakukan oleh anggota Polsi
sehingga dapat diawasi pengambilan keputusan yang diwujudkan sebagai Diskresi
Kepolisian tersebut serta dilakukan suatu analisa dan evaluasi pada jangka
waktu tertentu agar dapat dilakukan perbaikan-perbaikan di masa mendatang
tentang tindakan Diskresi Kepolisian yang dilakukan oleh anggota Polisi
utamanya yang bersifat individu.
Perlunya dibiasakan untuk mengadakan suatu gelar atau diskusi
tentang perkara-perkara sehingga tercapainya suatu komitmen untuk keputusan
yang akan diambil sebagai tindakan Diskresi Kepolisian dengan batasan-batasan
agar tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang yang disebut asas plichmatigheid (kewajiban), dilakukan
untuk keadilan dan kepentingan umum, tidak mendapatkan atau dijanjikan hadiah
ataupun keuntungan berupa uang, barang dan sebagainya.
Selain itu juga diperlukan adanaya suatu lembaga pengawas
kinerja dan pembatasan kewenangan kepolisian yang mana lembaga tersebut
merupakan lembaga yang independen dan netral yang berada di luar organisasi
Polri.
Daftar
Pustaka
Bailey,
William G., Ensiklopedia Ilmu Kepolisian (Edisi Bahasa Indonesia), Jakarta : YPKIK, 2005.
Chrysnanda,
Diskresi dan Korupsi, Jurnal Polisi Indonesia edisi ke-4 tahun 2002.
David,
H. Bayley, Police For The Future (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto),
Jakarta : Cipta Manunggal, 1994.
Dahniel,
Rycko Amelza, Diskresi Kepolisian Dalam Nilai-Nilai Dasar Hukum, Majalah Jagratara Edisi 44 Januari 2009.
Faal,
M., Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta :
Pradnya Paramita, 1991.
Kelana,
Momo, Hukum Kepolisian, Jakarta : Gramedia, 1997.
Meliala,
Adrianus, Kumpulan Tulisan Tentang Penyimpangan Polisi, Jakarta : Universitas Indonesia, 1999.
Indonesia.
Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU no. 8 tahun 1981.
________.
Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU no.2
tahun 2002.
No comments:
Post a Comment