Sunday, February 19, 2012

PENGAWASAN DALAM DISKRESI KEPOLISIAN


Pendahuluan
            Untuk   mencapai   pemolisian   yang   efektif   dalam   rangka mewujudkan suatu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) serta dapat dikatakan   fungsional   dalam  masyarakat  maka  Polri harus dapat  berfungsi  sebagai  bagian  dari   tata   kehidupan   masyarakat   tersebut   dan   keberadaannya   dibutuhkan   serta   mendapat   dukungan   dari   warga   masyarakat   yang  dilayaninya. Untuk itu anggota Polri harus dapat menentukan dengan tepat dimana ia berperan dalam menghadapi suatu permasalahan yang sedang dihadapinya, apakah saat itu ia lebih tepat berperan sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat atau sebagai penegak hukum yang harus menegakkan hukum yang berlaku atau dapat juga sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
            Apabila kita mencoba menyadari apa itu profesi Kepolisian maka akan terlihat bagaimana uniknya profesi tersebut serta betapa rumitnya tugas yang harus diembannya. Setiap anggotanya setiap saat dihadapkan pada berbagai permasalahan dengan banyak pilihan-pilihan tindakan sebagai hasil keputusannya yang harus diambil dalam waktu yang segera atau tidak dapat ditunda-tunda bahkan terkadang pengambilan keputusan tersebut merupakan hasil keputusannya sendiri tanpa adanya masukan atau saran dari rekan, atasan atau masyarakat yang dikarenakan tingkat kesegeraan yang tinggi. Kapasitas petugas Kepolisian untuk memilih di antara sejumlah tindakan legal atau tidak legal, atau bahkan tidak melakukan tindakan sama sekali pada saat mereka menjalankan tugas didefinisikan sebagai Diskresi Polisi (Davis, 1969).
            Tulisan ini akan membahas tentang Kurangnya pemahaman anggota Polri tentang Diskresi, Diskresi Kepolisian yang rentan menjadi Korupsi Polisi,  Bentuk pengawasan terhadap Diskresi Kepolisian, Kekhawatiran anggota Polri dalam ber-Diskresi Kepolisian dan Saran Pendapat.
           
Kurangnya pemahaman anggota Polri tentang Diskresi
            Diskresi dapat dikatakan sebagai inti dari tugas Kepolisian sehingga terasa ironis sekali bahwa di setiap pendidikan Polri tidak mengajarkan Diskresi Kepolisian secara mendalam dalam pemahamannya, sering juga pemahaman Diskresi Kepolisian ini diartikan sama dengan penyampingan perkara yang sebenarnya hal tersebut tidak sepenuhnya sama melainkan terdapat perbedaan. Pengertian Diskresi Kepolisian adalah “Suatu wewenang bertindak yang diberikan kepada Polisi, untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu, yang membutuhkan pertimbangan sendir dan menyangkut masalah moral, serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral” (Thomas J. Aaron, 1960 : 18).
            Dalam pelaksanaan Diskresi Kepolisian tidak untuk memenuhi kepentingan pribadi, kelompok atau organisasi melainkan harus dapat mengakomodir kepentingan umum, keadilan, kemanusiaan yang terjadi pada situasi atau kondisi yang bersifat mendesak serta harus didasari dengan hati nurani, etika profesi dan moral yang mana menurut Prof. DPM Sitompul (2000 : 2) pelaksanaan tindakan Diskresi Kepolisian ini berpatokan pada empat azas yaitu :
1)    Azas Keperluan yakni yang memberikan pedoman tindakan polisi hanya dapat dilakukan apabila tindakan itu betul-betul untuk meniadakan atau mencegah suatu gangguan.
2)    Azas Masalah yang merupakan patokan memberi pedoman bahwa tindakan yang dilakukan oleh seorang polisi harus dikaitkan dengan dengan permasalahannya dan tindakan polisi tidak boleh mempunyai motif pribadi.
3)    Azas Tujuan yakni menghendaki agar tindakan polisi betul-betul tepat mencapai sasarannya, guna menghilangkan atau mencegah suatu gangguan yang merugikan.
4)    Azas Keseimbangan yaitu memberikan pedoman kepada petugas polisi agar tindakan polisi seimbang antara keras dengan lunak tindakan yang diambil, seimbang dengan alat yang digunakan dengan ancaman yang dihadapi.
           
            Kewenangan dan dasar hukum bagi anggota Polri dalam melaksanakan Diskresi diatur dalam :
1.    Undang-Undang no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Indonesia :
a)    Pasal 15 ayat (2) huruf (K) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya, berwenang : melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas Kepolisian.
b)    Pasal 16 ayat (1) huruf (I) : Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepoisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Ayat (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (I) adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut : 1) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; 3) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; 5) menghormati hak asasi manusia.
c)    Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Indonesia. Kemudian di Pasal 19 ayat (1) dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ayat (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud ayat (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.
2.    Undang-Undang no. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :
a)    Pasal 7 ayat (1) huruf (J) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (A) karena kewajibannya mempunyai wewenang : Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Adapun “tindakan lain” ini dibatas dengan syarat (penjelas pasal 5 idem pasal 7 KUHAP) : a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; 3) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; 5) menghormati hak asasi manusia (penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf (A) sub (4) dan pasal (7) ayat (1) sub (J).

Diskresi Kepolisian yang rentan menjadi Korupsi Polisi
            Menurut Baker dalam saduran Kunarto (1999 : 75) Diskresi menjadi korupsi karena adanya 1) struktur kesempatan dan teknik-teknik pelanggaran peraturan yang menyertainya; 2) sosialisasi melalui pengalaman pekerjaan; 3) dorongan dari kelompok sejawat, berupa dukungan kelompok terhadap peraturan tertentu.
            Penyalahgunaan Diskresi Kepolisian sangat rentan menjadi suatu tindak korupsi, hal ini apabila Diskresi yang dilakukan oleh anggota Polisi tersebut mendapatkan atau dijanjikan (iming-iming) mendapat imbalan (uang, jasa, barang atau apapun). Teori dari Klitgard (1998) yang dikutib Meliala (2000) untuk menjelaskan korupsi Polsis tersebut adalah sebagai berikut :

 

                                                C = P + D – A
                                               
                                    C adalah Corruption ;
                                    P adalah Power ;
                                    D adalah Discretion ; dan
                                    A adalah Accountability.

            Dapat dijelaskan dari teori Klitgard tadi bahwa karena lemahnya kontrol dan kendali serta pengawasan terhadap pelaksanaan dan pertanggung jawaban atas tidnakan Diskresi yang dilakukan oleh Polisi karena kekuatan dan kewenangannya sehingga tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai korupsi Polisi. Hal ini dikelompokkan oleh Punch dalam kutipan Nitibaskara (2000) sebagai berikut :
1)     Straight forward corruption (sesuatu dilaksanakan atau tidak dilaksanakan tergantung pada yang hendak diterima/diperoleh).
2)     Combative (strategic) corruption (memanfaatkan wacana-wacana hukum secara tersamar dan secara organisatoris atau secara social dapat diterima sebagai suatu hal yang boleh terjadi).
3)     Predatory (strategic) corruption (menangkap pelaku untuk diperas atau mengorganisir perbuatan tercela lainnya seperti penyuapan).
4)     Corruption as prevention justice (untuk mencapai tujuan dan pelaksanaan tugas yang diembannya) sebagai contoh : bohong di bawah sumpah, mengancam saksi, memasang alat bukti pada tersangka, dsb.

Bentuk pengawasan terhadap Diskresi Kepolisian
            Banyak faktor yang mempengaruhi pertimbangan dilakukannya tindakan diskresi oleh petugas Polisi dlam menangani bermacam-macam pelanggaran hukum yang antara lain lemahnya dan kekaburan pemahaman hukum yang jadi pedoman untuk melaksanakan suatu diskresi yang kemudian ditambah lagi dengan lemahnya sistem kontrol atau pengawasan dan pengendalian terhadap tindakan diskresi yang dilakukan oleh anggota Polisi.
            Seperti yang disampaikan oleh Suparlan (2001) : Lemahnya sistem pengawasan dan pengendalian, kurangnya gaji, dukungan anggaran untuk operasional yang tidak memadai dan adanya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan organisasi/pribadi berdampak pada tindakan diskresi yang dilakukan petugas Polisi akan menjurus menjadi korupsi dan social costnya harus dibayar mahal oleh Polisi antara lain buruknya citra Polisi di mata masyarakat.
            Bentuk dari Diskresi itu sendiri dapat kita kelompokkan menjadi dua yang terdiri dari : 1) diskresi yang dilakukan bersifat individual yakni pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh petugas Polisi dilapangan berdasarkan pengetahuan dan pengertiannya yang dianggap benar, biasanya pelaksanaan dan penerapannya dilapangan berdasarkan situasi dan keadaan yang darurat (emergency) sehingga tanpa dilakukan pengamatan atau penelitian mendalam terhadap apa yang diputuskannya tersebut; 2) diskresi yang lakukan bersifat organisasi, biasanya yang menjadi pedoman adalah kebijakan dari birokrasi yang berlaku.
            Selama ini tindakan Diskresi Kepolisian yang diambil oleh anggota Polri khususnya yang bersifat individual, bentuk-bentuk pedoman untuk pengambilan tindakan diskresi dan pengawasannya belum jelas sehingga bentuk tindakan Diskresi Kepolisian dengan sifat individual yang dilakukan oleh anggota Polisi tersebut cenderung berkonotasi negatif. Sedangkan tindakan Diskresi Kepolisian yang dilakukan oleh anggota Polri yang dalam kapasitasnya mewakili organisasi berpedoman pada suatu hasil dari kebijaksanaan dari birokrasi yang berlaku, hal tersebut dapat melalui suatu pengamatan atau penelitian dan pembahasan yang mendalam tentang apa yang akan diputuskan sebagai bentuk tindakan diskresi yang akan dilakukannya sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk pengawasannya.

Kekhawatiran anggota Polri dalam ber-Diskresi Kepolisian
            Dalam melaksanakan tindakan Diskresi Kepolisian oleh anggota Polisi merupakan hal yang tidak mudah, baik itu yang bersifat individual maupun yang bersifat organisasi sehingga banyak anggota Polisi yang lebih mengandalkan supremasi hukum dengan mengedepankan asas legalitas sebagai landasan terpenting dalam setiap tindakannya, mengingat resiko dari Diskresi Kepolisian yang sering menjadi masalah bagi anggota Polisi itu sendiri akibat dari tidak ada aturan atau batasan yang jelas.  Padahal perlu ditinjau dan diingat kembali bahwa tujuan dari hukum itu sendiri ada tiga yakni yang pertama tercapainya suatu keadilan,  kemudian yang kedua kepastian hukum dan yang ketiga adalah kemanfaatan.
            Dibentuknya Hukum menurut Gustav Radbruch (1961) terdapat tiga nilai dasar, yakni keadilan, kegunaan dan kepastian hukum yang tanpa kita sadari ternyata dalam tiga nilai dasar tersebut terdapat suatu ketegangan bahkan berpotensi untuk saling bertentangan antara nilai yang satu dengan nilai yang lainnya yang disebut spannungsverhaltnis yakni apabila salah satu dari nilai tersebut dikedepankan maka akan menggeser dua nilai lainnya kesamping.
            Polri merupakan salah satu lembaga penegak hukum di Indonesia, namun hakekat tugas, fungsi dan kewenangan yang diamanatkan oleh undang-undang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya lebih mengedepankan pencegahan. Sehingga penegakkan hukum merupakan langkah terakhir setelah penerapan langkah pencegahan.

Saran Pendapat
            Spannungsverhaltnis yang terdapat diantara nilai-nilai pembentuk hukum perlu penyeimbang agar tercapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum yang mewujudkan suatu keadilan, penyeimbang itulah yang disebut Diskresi.
            Dibutuhkannya suatu instrumen kontrol dan perlu adanya suatu bentuk atau format pelaporan atas setiap tindakan Diskresi Kepolisian utamanya yang bersifat individual yang telah dilakukan oleh anggota Polsi sehingga dapat diawasi pengambilan keputusan yang diwujudkan sebagai Diskresi Kepolisian tersebut serta dilakukan suatu analisa dan evaluasi pada jangka waktu tertentu agar dapat dilakukan perbaikan-perbaikan di masa mendatang tentang tindakan Diskresi Kepolisian yang dilakukan oleh anggota Polisi utamanya yang bersifat individu.
            Perlunya dibiasakan untuk mengadakan suatu gelar atau diskusi tentang perkara-perkara sehingga tercapainya suatu komitmen untuk keputusan yang akan diambil sebagai tindakan Diskresi Kepolisian dengan batasan-batasan agar tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang yang disebut asas plichmatigheid (kewajiban), dilakukan untuk keadilan dan kepentingan umum, tidak mendapatkan atau dijanjikan hadiah ataupun keuntungan berupa uang, barang dan sebagainya.
            Selain itu juga diperlukan adanaya suatu lembaga pengawas kinerja dan pembatasan kewenangan kepolisian yang mana lembaga tersebut merupakan lembaga yang independen dan netral yang berada di luar organisasi Polri.


Daftar Pustaka

Bailey, William G., Ensiklopedia Ilmu Kepolisian (Edisi Bahasa Indonesia), Jakarta :    YPKIK, 2005.

Chrysnanda, Diskresi dan Korupsi, Jurnal Polisi Indonesia edisi ke-4 tahun 2002.

David, H. Bayley, Police For The Future (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto),
            Jakarta : Cipta Manunggal, 1994.

Dahniel, Rycko Amelza, Diskresi Kepolisian Dalam Nilai-Nilai Dasar Hukum, Majalah             Jagratara Edisi 44 Januari 2009.

Faal, M., Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta :
            Pradnya Paramita, 1991.

Kelana, Momo, Hukum Kepolisian, Jakarta : Gramedia, 1997.

Meliala, Adrianus, Kumpulan Tulisan Tentang Penyimpangan Polisi, Jakarta :    Universitas Indonesia, 1999.

Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU no. 8 tahun 1981.

________. Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU no.2
tahun 2002.

No comments:

Post a Comment