Sunday, February 19, 2012

TEORI – TEORI DALAM HUKUM PIDANA



1.      TEORI VOM PSYCHOLOGISCHEN ZWANG, oleh VON FEURBACH :
                   Teori ini menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychenya, lalu diadakan tekanan untuk tidak berbuat. Dan kalau dia tetap melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 27)

2.      TEORI CONDITIO SINE QUA NON, oleh VON BURI :
               Musabab adalah setiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Teori ini juga dinamakan teori ekuivalensi, yaitu karena menurut pendiriannya, setiap syarat adalah sama nilainya (equivalent). Juga dinamakan Bedingungstheorie, karena baginya tidak ada perbedaan antara syarat (Bedingung) dan musabab.. 
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 99)

3.      TEORI “ ADEQUAT “ oleh J. VON KRIES :
               Musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut. Yang dimaksud dengan normal ialah sepanjang terdakwa pribadi mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan – keadaan di sekitar akibat. Jika ini benar, maka dalam praktik itu berarti, bahwa kelakuan si A yang melukai B dengan pisau kecil, tetapi karena pisau itu mengandung basil tetanus, hingga menimbulkan peracunan darah dan B meninggal dunia. Itu adalah musabab matinya B, kalau A mengerti akan kemungkinan peracunan darah tersebut; sedangkan itu bukan musabab, kalau dia tidak mengetahuinya.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 103-104)

4.      TEORI “ DER MEIST WIRKSAME BEDINGUNG “ oleh BIRKMEYER :
         Di dalam rangkaian syarat – syarat yang ditidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicarinya syarat manakah yang dalam keadaan tertentu itu, yang paling banyak membantu untuk terjadinya akibat.
 ( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 107)

5.      TEORI “ ART DES WERDENS   oleh KOHLER :
         Musabab adalah syarat yang menurut sifatnya menimbulkan akibat. Jadi disini soalnya bukan mana yang kuantitatif paling banyak membantu, tetapi mana yang kualitatif, menurut sifatnya, menurut artinya paling penting untuk timbulnya akibat.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 108)

6.      TEORI “ UBERGEWICHTS  “ oleh KARL BINDING :
           Musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat – syarat positif untuk melebihi syarat – syarat negatif. Menyebabkan sesuatu perubahan adalah sama dengan perubahan daripada keseimbangan antara syarat – syarat yang membantunya, sehingga menjadi lebih berat syarat – syarat yang dikatakan belakangan ini.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 108)

7.      TEORI “ OBJEKTIF NACHTRAGLICHE PROGNOSE oleh RUMELIN :
           Dalam menentukan apakah suatu kelakuan menjadi musabab dari akibat yang terlarang yang harus dijawab ialah : Apakah akibat itu, dengan mengingat semua keadaan – keadaan obyektif yang ada pada saat sesudahnya terjadi akibat, dapat diramalkan akan timbul dari kelakuan itu. Dengan demikian, jadi dengan peninjauan post faktum itu dapat dikatakan pula.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 118)

8.      TEORI “ RELEVANSIoleh PROF. LANGEMEYER :
           Menurut teori ini, tidak dimulai dengan mengadakan perbedaan antara syarat dan musabab, seperti teori yang menggeneralisasi dan yang mengindividualisasi, tetapi dimulai dengan menginterpretasi rumusan delik yang bersangkutan. Dari rumusan delik yang hanya memuat akibat yang dilarang dicoba untuk ditentukan kelakuan-kelakuan apakah kiranya yang dimaksud pada waktu membuat larangan tersebut. Jadi jika pada teori-teori yang menggeneralisasi dan yang mengindividualisasi pertanyaan yang pokok ialah: Apakah kelakuan ini menjadi musabab dari akibat yang dilarang? Maka pada teori relevansi soalnya ialah: Pada waktu undang-undang menentukan rumusan delik itu, kelakuan-kelakuan yang manakah yang dibayangkan olehnya dapat menimbulkan akibat yang dilarang. Dari pertanyaan pokok ini boleh dikatakan bahwa teori relevansi bukan lagi suatu teori mengenai hubungan kausal, tetapi mengenai penafsiran undang-undang, atau suatu teori mengenai interpretasi belaka.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 121-122)

9.      TEORI “ KEHENDAK “ (WILSTHEORIE) oleh VON HIPPEL :
         Kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Akibat dikehendaki apabila akibat itu yang menjadi maksud dari tindakan tersebut.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 185-186)

10.    TEORI “ PENGETAHUAN( VOORSTELLINGSTHEORIE) oleh FRANK :
                           Mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapt menghendaki suatu akibat; manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan atau membayangkan  (voorstellen) kemungkinan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dari tindakan itu. Oleh karena itu, tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuatnya.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 185-186)


DAFTAR PUSTAKA

Prof. Moeljatno, S.H., 2008. ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Jakarta: Rineka Cipta. 

No comments:

Post a Comment