1. TEORI “VOM PSYCHOLOGISCHEN ZWANG”, oleh VON FEURBACH :
Teori ini menganjurkan supaya dalam menentukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang
macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang
akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana
apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan
demikian dalam batinnya, dalam psychenya, lalu diadakan tekanan untuk tidak
berbuat. Dan kalau dia tetap melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana
kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri.
( Prof. Moeljatno,
S.H., ASAS – ASAS
HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 27)
2. TEORI
“ CONDITIO
SINE QUA NON “, oleh VON BURI :
Musabab adalah setiap syarat yang
tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Teori ini juga dinamakan teori ekuivalensi, yaitu karena menurut
pendiriannya, setiap syarat adalah sama nilainya (equivalent). Juga dinamakan
Bedingungstheorie, karena baginya tidak ada perbedaan antara syarat (Bedingung)
dan musabab..
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka
Cipta, Jakarta, 2008, hal. 99)
3. TEORI “ ADEQUAT “ oleh J. VON
KRIES :
Musabab
dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian
yang normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut. Yang dimaksud dengan normal ialah sepanjang terdakwa
pribadi mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan – keadaan di sekitar
akibat. Jika ini benar, maka dalam praktik itu berarti, bahwa kelakuan si A
yang melukai B dengan pisau kecil, tetapi karena pisau itu mengandung basil tetanus,
hingga menimbulkan peracunan darah dan B meninggal dunia. Itu adalah musabab
matinya B, kalau A mengerti akan kemungkinan peracunan darah tersebut;
sedangkan itu bukan musabab, kalau dia tidak mengetahuinya.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka
Cipta, Jakarta, 2008, hal. 103-104)
4. TEORI “ DER
MEIST WIRKSAME BEDINGUNG “ oleh BIRKMEYER :
Di dalam rangkaian syarat – syarat yang
ditidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicarinya syarat manakah
yang dalam keadaan tertentu itu, yang paling banyak membantu untuk terjadinya
akibat.
( Prof. Moeljatno,
S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 107)
5. TEORI
“ ART DES WERDENS ” oleh KOHLER :
Musabab adalah syarat yang menurut
sifatnya menimbulkan akibat. Jadi disini soalnya bukan mana yang kuantitatif
paling banyak membantu, tetapi mana yang kualitatif, menurut sifatnya, menurut
artinya paling penting untuk timbulnya akibat.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka
Cipta, Jakarta, 2008, hal. 108)
6. TEORI “ UBERGEWICHTS
“ oleh KARL BINDING :
Musabab adalah syarat yang mengadakan
ketentuan terhadap syarat – syarat positif untuk melebihi syarat – syarat
negatif. Menyebabkan sesuatu perubahan adalah sama dengan perubahan daripada
keseimbangan antara syarat – syarat yang membantunya, sehingga menjadi lebih
berat syarat – syarat yang dikatakan belakangan ini.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka
Cipta, Jakarta, 2008, hal. 108)
7. TEORI
“ OBJEKTIF NACHTRAGLICHE PROGNOSE “ oleh
RUMELIN :
Dalam menentukan apakah suatu
kelakuan menjadi musabab dari akibat yang terlarang yang harus dijawab ialah :
Apakah akibat itu, dengan mengingat semua keadaan – keadaan obyektif yang ada
pada saat sesudahnya terjadi akibat, dapat diramalkan akan timbul dari kelakuan
itu. Dengan demikian, jadi dengan peninjauan post faktum itu dapat dikatakan
pula.
( Prof. Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka
Cipta, Jakarta, 2008, hal. 118)
8. TEORI
“ RELEVANSI “ oleh PROF. LANGEMEYER :
Menurut teori ini, tidak dimulai
dengan mengadakan perbedaan antara syarat dan musabab, seperti teori yang
menggeneralisasi dan yang mengindividualisasi, tetapi dimulai dengan
menginterpretasi rumusan delik yang bersangkutan. Dari rumusan delik yang hanya
memuat akibat yang dilarang dicoba untuk ditentukan kelakuan-kelakuan apakah
kiranya yang dimaksud pada waktu membuat larangan tersebut. Jadi jika pada
teori-teori yang menggeneralisasi dan yang mengindividualisasi pertanyaan yang
pokok ialah: Apakah kelakuan ini menjadi musabab dari akibat yang dilarang?
Maka pada teori relevansi soalnya ialah: Pada waktu undang-undang menentukan
rumusan delik itu, kelakuan-kelakuan yang manakah yang dibayangkan olehnya
dapat menimbulkan akibat yang dilarang. Dari pertanyaan pokok ini boleh
dikatakan bahwa teori relevansi bukan lagi suatu teori mengenai hubungan
kausal, tetapi mengenai penafsiran undang-undang, atau suatu teori mengenai
interpretasi belaka.
( Prof. Moeljatno,
S.H., ASAS – ASAS
HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 121-122)
9. TEORI “ KEHENDAK “ (WILSTHEORIE) oleh VON HIPPEL
:
Kesengajaan adalah kehendak membuat suatu
tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Akibat dikehendaki
apabila akibat itu yang menjadi maksud dari tindakan tersebut.
( Prof.
Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 185-186)
10. TEORI
“ PENGETAHUAN “ ( VOORSTELLINGSTHEORIE) oleh FRANK :
Mengemukakan bahwa
manusia tidak mungkin dapt menghendaki suatu akibat; manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan atau
membayangkan (voorstellen) kemungkinan
adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila
suatu akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dari tindakan itu. Oleh karena
itu, tindakan yang bersangkutan dilakukan
sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuatnya.
( Prof.
Moeljatno, S.H., ASAS – ASAS HUKUM PIDANA, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 185-186)
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Moeljatno, S.H., 2008. ASAS – ASAS HUKUM PIDANA,
Jakarta: Rineka Cipta.
No comments:
Post a Comment