BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang permasalahan
Persepsi
masyarakat terhadap sikap dan perilaku polisi yang ditemukan melalui survei
tahun 2001 itu ternyata belum banyak berubah. Pada tahun 2007, institusi
Kepolisian dinilai masih sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Penilaian buruk
itu merupakan hasil pengukuran pengaruh korupsi Global Corruption Barometer
(GBC) 2007 yang diluncurkan oleh Transparency International (TI) yang diambil
dari 1010 responden dari Jakarta, Bandung, Surabaya.[1]
Masyarakat
sendiri sangat menyadari kehadiran polisi di tengah-tengah masyarakat yang
memang merupakan suatu keharusan. Kehadiran polisi tidak dapat digantikan
dengan teknologi secanggih apapun, sebab itulah tugas polisi yang mencakup
tugas tugas sebagai aparat pelindung, pengayom, pelayan dan penegak hukum
membuka format yang lebih luas ke arah pemberdayaan masyarakat. Jika masyarakat
merasa aman dan stabilitas kamtibmas kondusif, roda perekonomian akan
melahirkan berbagai peningkatan perekonomian masyarakat. Jika perekonomian
masyarakat terus meningkat, kualitas hidup masyarakat pun pasti akan meningkat
sehinggga disinilah peran strategis Polri dalam menjalankan fungsinya untuk
memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidaup masyarakat.
Polri
merupakan tokoh dalam masyarakat yang begitu sentral baik dalam kelembagaan
sosial mapun dalam kelembagaan hukum karena perannya, ada dua sisi yang berbeda
yang tercermin dalam profesi Kepolisian yaitu banyak orang yang perduli dan
mencari serta membutuhkan polisi namun tidak jarang pula orang yang enggan dan
menghindari untuk berurusan dengan polisi.
Semenjak
terpisah dari TNI pada tahun 1999 lalu, Polri telah mencanangkan perubahan
besar yang mendasar pada institusinya yang dikenal dengan Reformasi Polri yakni
perubahan di bidang instrumental, struktural dan kultural yang konsep-konsep
perubahannya terus menerus disosialisasikan dari tingkat Mabes Polri sampai ke
tingkat satuan terendah dan akhirnya menyentuh individu-individu anggota Polri
pada sisi internal dan kepada masyarakat luas pada sisi eksternal Polri. Reformasi
Polri yang diharapkan masyarakat tidaklah hanya sebatas menyangkut struktur dan
instrumen dari organisasi belaka namun yang paling penting adalah mereformasi
budaya atau kultur organisasinya. Kultur Kepolisian inilah yang harus dibenahi
secara mendalam dan berkesinambungan mengingat sikap dan perilaku dari anggota
polisi masih banyak dikeluhkan oleh masyarakatnya sehingga membutuhkan suatu
pembangunan karakter Kepolisian melalui perombakan budaya Kepolisian yang
memang sangat disadari bahwa perombakan budaya sangat membutuhkan proses dan
tidak semudah membalikkan telapak tangan namun jangan pula dibiarkan bergerak
lamban sebab kultur yang ada selama ini dirasakan telah mendarah daging serta
mengakar budaya menjadi suatu pola tingkah laku terlebih lagi telah
tertransformasikan menjadi cara berpikir sehingga perlu kesungguhan dari segala
lapisan elit Polri untuk mengubah dan selalu mencermati perkembangan dari
tahapan perubahan tersebut. Tujuan utama yang ingin dicapai dari hal ini tidak
lain dan tidak bukan agar sikap represif anggota Kepolisian dapat terkikis dan
menimbulkan sosok Polri yang tampil menjadi polisi sipil yang profesional dan
mengedepankan hak-hak asasi manusia sehingga dapat memberikan pelayanan yang
baik kepada masyarakat.
Polri
merupakan suatu institusi profesi yang besar dan profesional didunia Kepolisian
yang sudah tentu memiliki sasaran dan tujuan institusi yang akan dicapainya,
hal ini tertuang pada misi dan visi Polri. Pencapaian sasaran sangat memerlukan
adanya integritas atau komitmen dari seluruh anggotanya. Institusi yang
profesional pastinya memiliki suatu standar kerja dengan nilai tinggi guna
dijadikan sebagai pedoman bagi anggotanya, nilai standar tersebut sangat
berpengaruh pada kualitas kinerja yang apabila nilai standar kerja suatu
institusi tersebut semakin rendah maka semakin rendahlah kualitas kerjanya dan
semakin tinggi peluang terjadinya penyimpangan yang dapat dilakukan oleh
anggotanya, begitu pula sebaliknya. Dengan tingginya nilai standar kerja suatu
institusi maka kualitas kerja ikut tinggi dengan tingginya disiplin dan
tingginya standar produk kinerjanya.
Dalam
profesi Kepolisian juga diperlukan adanya suatu jabaran kerja/tugas (job
description) dan analisa kerja/tugas (job analisis) yang bertujuan untuk dapat
memandu anggota profesi Kepolisian tersebut didalam menjalankan pekerjaannya
dalam menciptakan dan menjaga kamtibmas. Dari panduan tersebut maka dapat
diukur suatu standar keberhasilan yang mana disisi lain pun berarti bila tidak
memenuhi standar keberhasilan maka dianggap gagal sehingga perlunya diadakan
suatu pemberian penghargaan bagi yang berhasil dan penghukuman dalam bentuk
sanksi bagi yang gagal / menyimpang yang dikenal dengan sistem reward and punishment.
Harapan
masyarakat terhadap polisinya sangatlah banyak sehingga untuk dapat meraih
kepercayaan masyarakat tersebut maka, setiap anggota Polri tentunya harus dapat
bertindak sebagai polisi yang netral, jujur, terbuka, bersih, dan berwibawa,
yang dicintai dan dihormati, dipercaya serta dibanggakan oleh masyarakatnya
untuk semua itulah dipandang perlunya suatu etika profesi Kepolisian yang tidak
saja dikendalikan oleh sanksi-sanksi apabila melanggarnya namun juga secara
sadar dan ikhlas dikendalikan oleh hati nurani dari anggota polisi tersebut.
Dalam etika profesi tersebut perlu adanya suatu penjabaran yang dapat dijadikan
suatu pedoman moral bagi anggota Kepolisian itu sendiri antara lain memuat : 1)
Apa saja yang harus dilakukan, 2) Apa saja yang tidak boleh dilakukan, 3)
Produk-produk kinerja yang harus dihasilkan, 4) Sanksinya apabila melanggar.
Masyarakat pun mempunyai peranan yang besar dalam
menciptakan polisi yang ideal. Sinergi antara masyarakat dan penyelenggaraan
fungsi kepolisian yang demokratis, transparan, bertanggung jawab, dan
berorientasi kepada hak asasi manusia akan menciptakan suatu penegakan hukum
yang berkeadilan.
Polisi yang ideal pernah dikemukakan Hoegeng Imam Santoso
(mantan Kapolri) yang mengatakan, motto polisi adalah fight crime, help
deliquence, love humanity dalam arti walaupun crime tetap akan dicegah dan
diberantas, polisi selalu berperang dengan kejahatan, tetapi tidak berarti
bahwa pelakunya mutlak untuk dimusnahkan. Hukuman pidana tetap diperlukan demi
keadilan dan demi pencegahan, tetapi mereka perlu ditolong, ditunjukkan ke arah
yang benar.
Perlunya
peningkatan profesionalisme tetapi tetap humanis dalam menghadapi kejahatan
didasarkan kepada pandangan bahwa pelaku kejahatan sekarang ini tidak lagi
berasal dari dimensi kemiskinan. Dimensi kejahatan telah bergeser kepada
kejahatan yang berasal dari dimensi keserakahan dan kekuasaan yang menghasilkan
jenis kejahatan yang canggih dan rapi, tetapi karakteristiknya tidak mengunakan
kekerasan (nonviolent).
Menghadapi jenis kejahatan yang berasal dari dimensi
keserakahan (terutama kejahatan ekonomi) dan dimensi kekuasaan (korupsi)
memerlukan polisi-polisi yang tangguh dan cerdik dalam menguasai teknologi,
sebab modus operandi kejahatan yang berasal dari dimensi keserakahan dan
kekuasaan selalu menggunakan instrument delicti yang canggih.
Dalam rangka
penegakan hukum, hendaknya tetap dijaga kode etik profesi yang menekankan
kepada perlindungan hak asasi manusia yang meliputi hak asasi tersangka, hak
asasi masyarakat, dan hak asasi korban.
Polisi
ideal adalah polisi yang bisa melindungi secara hukum pelaku, korban, dan
masyarakat. Perlindungan hukum kepada tersangka berupa kesempatan atau access
to legal councel (bantuan hukum), perlindungan hukum terhadap korban berupa informasi
kepada korban tentang perkembangan kasusnya, dan perlindungan terhadap
masyarakat bahwa polisi benar-benar telah menangani kasusnya sehingga
masyarakat percaya bahwa keadilan akan ditegakkan.
Sampai saat ini didalam
internal Polri telah menganut suatu aturan kode etik profesi tersendiri yaitu yang
diatur berdasarkan Peraturan Kapolri nomor 7 tahun 2006 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara tegas tersurat dan
dinyatakan bahwa Etika Profesi Polri merupakan norma-norma atau aturan-aturan
sebagai kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun
ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan
oleh anggota Polri.
Untuk mencapai
pemolisian yang efektif dalam rangka mewujudkan
suatu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) serta dapat dikatakan
fungsional dalam masyarakat
maka Polri harus dapat berfungsi
sebagai bagian dari
tata kehidupan masyarakat
tersebut dan keberadaannya dibutuhkan
serta mendapat dukungan
dari warga masyarakat
yang dilayaninya maka perwujudan
kondisi ini diperlukan anggota Polri yang tidak hanya
profesional namun juga beretika kepolisian, permasalahan ini menarik untuk
dianalisa oleh penulis mengingat etika berkaitan erat dengan kejiwaan yang
membentuk kesadaran, pandangan hidup dan hati nurani yang positif untuk
mewujudkan anggota Polri yang berperilaku semakin positif juga.
Dengan latar belakang sebagaimana telah diuraikan
tersebut di atas maka penulis memilih judul : Hati Nurani Yang Saksama Jadi Kendali Etika Profesi Polri.
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
2.1 Rumusan Permasalahan
Berbicara
mengenai Etika mengkait langsung dengan perilaku manusia maka akan ada banyak
permasalahan didalamnya terutama bila dikaitkan dengan berbagai permasalahan
Etika khusus, Etika Kepolisian namun untuk lebih fokusnya maka penulis memilih
beberapa pertanyaan terkait dengan permasalahan Etika Profesi Polri sebagai
berikut :
1) Hati Nurani manakah yang dipandang perlu dalam Etika Profesi Polri
?
2) Bagaimanakah peranan Hati Nurani yang Saksama dalam mewujudkan
Etika Profesi Polri ?
2.2 Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan ini pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1) Sebagai penugasan yang diberikan oleh dosen mata kuliah Falsafah
dan Etika Kepolisian yang akan diujikan pada saat ujian akhir semester.
2) Untuk menggali lebih dalam mengenai keberadaan, kemanfaatan dan
peranan dari Hari Nurani dalam Etika Profesi Kepolisian.
2.3 Sistematika Penulisan
Penulisan
makalah ini terdiri dari 4 bagian, yang disusun berdasarkan sistematika
penulisan sebagai berikut :
1) Bab I, merupakan bagian Pendahuluan yang bermaterikan mengenai
latar belakang permasalahan, permasalahan, tujuan penulisan dan sistematika
penulisan.
2) Bab II, merupakan bagian Identifikasi masalah yang mengulas
mengenai permasalahan, tujuan penulisan, pertanyaan penelitian dan sistematika
penulisan.
3) Bab III, merupakan tinjauan Data dan Fakta yang mengulas mengenai kondisi
saaat ini berdasarkan data dan fakta yang ada mengenai penulisan makalah ini.
4) Bab IV, merupakan bagian Kerangka Teori dan Konsep termasuk
didalamnya juga definisi operasional dari penulisan makalah ini.
5) Bab V, merupakan bagian Analisis dari penulisan makalah ini.
6) Bab IV, merupakan bagian Penutup yang bermaterikan kesimpulan dari
penulisan makalah ini dan saran-saran dari penulis.
BAB III
DATA DAN FAKTA
3.1 Kondisi
Saat Ini
Secara
umum gambaran kelembagaan institusi Polri yang saat ini dan terkini, suka tidak
suka atau sadar tidak sadar tergambarkan antara lain seperti : 1) Masih sering
merasa cepat puas, 2) Tidak mampu berkompetisi secara bebas dan sehat, 3)
Kurang kreatif dan inovatif, 4) Mencari prestise tanpa prestasi, 5) Takut gagal
tidak siap menghadapi resiko, 6) Kurang mampu memperbaiki diri, 7) Kurang gemar
membaca dan menulis, 8) Ingin kerja ringan hasil besar, 9) Pandai membina
hubungan vertikal kurang mampu membina hubungan horisontal, 10) Membenarkan
yang biasa dan tidak membiasakan yang benar, 11) Senang melihat orang lain
susah dan susah melihat orang lain senang, 12) Suka berlindung dibalik
seseorang / sponsor, 13) Tidak pandai mengemban misi, slogan tidak diubah
menjadi tindakan, 14) Senang dibelaskasihani dan bangga dapat gratis, 15)
Pandai menuntut orang lain dan tidak pandai menuntut diri sendiri, 16) Tidak
konsekuen dan tidak konsisten, 17) Yang lebih tua menuntut penghormatan dari
yang muda, 18) Bersifat ganda embivalen, 19) Memiliki mental dan kultur feodal,
20) Menggampangkan permasalahan. Berdasarkan kebiasaan sehari-hari tanpa
didukung pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang akibatnya ; memperlakukan
personil sebagai obyek dan mengabaikan hak serta kewajibannya dan tidak
mencerminkan sikap dan sifat keteladanan, kejujuran, keadilan, ketulusan, dan
kewibawaan.[2]
Anggapan
yang ada ditengah-tengah masyarakat bahwa kehadiran polisi saat ini justru
meresahkan masyarakat. Dari pungutan liar, suap menyuap, sampai tindak pidana
kriminal dewasa ini semakin marak terjadi. Eksistensi polisi sebagai pelayan masyarakat
sudah terdegradasi oleh moral bejat para oknum tak bertanggung jawab. Mungkin
hal ini dikarenakan tujuan yang paling mendasar bagi seorang polisi sudah
sangat jauh melenceng dari tujuannya semula. Dahulu, polisi sangat dihormati
dan disegani, masyarakat merasa aman dengan kehadiran polisi
ditengah-tengahnya. Namun sekarang ini tujuan dasar tersebut berubah 180
derajat, yaitu harta dan status sosial/prestige. Hal demikian menjadi tujuan
utama dan minat nomor satu yang menarik dari profesi seorang polisi. Kalaupun
ada yang berminat menjadi polisi bersih yang tujuan utamanya adalah melayani
dan melindungi, paling- paling hanya segelintir orang saja.
Rendahnya
pandangan masyarakat terhadap institusi Polri salah satu penyebabnya dapat
terlihat dari data pelanggaran anggota Kepolisian di seluruh wilayah Indonesia
baik itu pelanggaran disiplin maupun pelanggaran pidana yang terangkum di Mabes
Polri dari data tahun 2004-2009. Dari data tersebut kita dapat melihat jumlah
pelanggaran yang dilakukan anggota Polri dalam kurun waktu 5 tahun yang
angkanya cukup memilukan hati dan jauh dari kata profesional bagi suatu
institusi. Hal ini merupakan suatu fakta nyata yang tergambarkan melalui
data-data yang terekam dalam kurun waktu yang dapat dikatakan masih sangat
aktual untuk saat ini yaitu data yang dikompulir dan dipublikasi pada tahun
2009 oleh Mabes Polri melalui media elektronik internet sehingga dapat diakses
oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tabel data tersebut dapat dilihat
dibawah ini.
Tabel 1
TAHUN
|
PELANGGARAN DISIPLIN
|
PELANGGARAN PIDANA
|
PTDH
|
||||
TOTAL
|
SELESAI
|
PROSES
|
TOTAL
|
SELESAI
|
PROSES
|
||
2004
|
3.835
|
2.243
|
1.592
|
1.072
|
886
|
186
|
131
|
2005
|
2.830
|
2.142
|
688
|
697
|
411
|
286
|
254
|
2006
|
2.961
|
1.681
|
1.280
|
961
|
549
|
412
|
150
|
2007
|
5.703
|
4.228
|
1.475
|
357
|
301
|
56
|
160
|
2008
|
7.035
|
4.517
|
2.518
|
1.164
|
272
|
892
|
252
|
2009
|
5.454
|
1.582
|
3.872
|
1.082
|
108
|
974
|
270
|
Sumber: Mabes
Polri,11 Desember 2009
Dulu
masyarakat pada umumnya bisa mahfum bila sering mendengar alasan, Polri tidak
bisa profesional dan mandiri karena masih di bawah ketiak TNI. Namun sejak
Polri dilepas dari TNI oleh Presiden RI ke 4 Abdurahman Wahid tahun 2000 lalu,
ternyata hingga kini cita aparat Polri tetap saja tidak berubah banyak. Hasil
penelitian yang dilakukan Kompas, menunjukkan betapa rendahnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Publik yang masih mempercayai
institusi Polri hanya 6,5%. Tingkat kepercayaan ini lebih rendah dibanding
tingkat kepercayaan dengan lembaga agama dan juga media massa (7,2%). (Kompas,
31 Januari 2011).[4]
Sebelum data yang
dipublikasikan oleh Mabes Polri diatas tadi, Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) dalam situs resminya juga telah mempublikasikan data perbandingan pelanggaran
yang di klasifikasikan sesuai dengan jenis pelanggarannya dan kepangkatannya
untuk pelanggaran yang dilakukan pada tahun 2003-2005, seperti pada tabel
dibawah ini.
Data perbandingan pelanggaran Polri tahun 2003-2005 untuk jenis
pelanggaran dan kepangkatannya.[5]
Selain
fakta yang menjadi gambaran kondisi bagi Polri seperti apa yang telah
disebutkan diatas ternyata masih ada lagi sisi lemah dari institusi Polri yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh pada Profesi Kepolisian
yang antara lain : 1) Sosialisasi melalui slogan-slogan yang dilakukan oleh
Polri kurang diikuti dengan tindakan, 2) Sidang Kode Etik yang dilakukan dalam
menyidangkan pelanggaran-pelanggaran Kode Etik dirasakan kurang dapat
memberikan efek jera yang signifikan, 3) Program-program yang berupa program
untuk melakukan perubahan berupa pelatihan outbound, esq, naq dan sebagainya
belum dapat menyentuh seluruh anggota Polri (baru 19,3% dari sekitar 382.000
anggota Polri).
BAB IV
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
4.1 Definisi
Operasional
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, kata Yunani ethos dalam
bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal biasa; padang rumput,
kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam
bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah
menjadi latar belakang terbentuknya istilah “Etika” yang oleh filsuf Yunani
besar Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “Etika” berarti:
ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[6]
Etika
adalah ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma
dan istilah-istilah moral, karena kata Etika itu aslinya bermakna filsafat
mengenai bidang moral.[7]
Etika
berasal dari kata Yunani ethos yang berarti kebiasaan-kebiasaan yang baik, juga
dari kata Latin ethica yang berarti kesusilaan dan moral. Dalam bahasa Inggris
disebut Ethics yang berarti ukuran-ukuran perilaku atau tingkah laku yang baik
atau tindakan-tindakan yang tepat atau moral pada umumnya. Menarik makna dari
berbagai pengertian itu rumusan Etika sebagai; pengetahuan tentang moral atau
kesusilaan atau pengetahuan tentang perilaku atau tingkah laku manusia.
Ditambahkan; jadi perilaku manusia itu ada ukurannya, yaitu antara kelakuan
yang baik sampai yang buruk.[8]
Dalam
buku Etika Politik, Franz Magnis Suseno menambahkan bahwa; Etika yang
mempertanyakan tangggungjawab dan kewajiban manusia itu sebenarnya terbagi
dalam pengertian Etika Umum dan Etika Khusus. Etika Umum mempertanyakan
prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia. Sedangkan
Etika Khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban
manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya.[9]
Dalam lingkup inilah Etika Kepolisian terwadahi, K. Bertens menyebut Etika
Khusus itu sebagai Etika Terapan dan selaras memperdalam pengertia Etika ini
diketengahkan juga bahwa kata ethos dalam pembicaraan sehari-hari di Indonesia sudah
sangat umum. Sehingga kata Etika mempunyai tempat khusus dalam perbendaharaan
bahasa Indonesia. Dalam kamus umum bahasa indonesia yang lama (Purwodarminto,
1953) kata Etika diberi arti: Ilmu pengetahuan tentang azas-azas moral. Jadi
pengertian semula hanya sebagai ilmu padahal dalam percaturan pembicaraan Etika
tidak hanya diartikan sebagai ilmu saja. Mungkin atas kenyataan itu, kamus umum
bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendididkan dan Kebudayaan, 1988)
memberikan pengertian yang lebih luas dan lebih memenuhi kebutuhan penafsiran.
Disitu kata Etika sekaligus diberi 3 pengertian :[10]
1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak).
2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Etika dalam era modern,
mengandung juga mengandung pengertian pluralisme moral, yang lalu menimbulkan
banyak masalah etis baru. Akibatnya adalah, semakin kita peduli atas Etika
universal, semakin memahami peradaban manusia di dunia dan semakin dinamis
pergerakan manusia dan semakin luas cakrawala berpikir dan pandangan, semakin
gencar berkomunikasi. Hal-hal itu adalah penyebab lahirnya era informasi.
Karenanya ada pendapat bahwa siapa menguasai informasi akan menguasai dunia.
Dalam era modern itu orang sering cenderung melemah dalam memegang teguh Etika
sebagai akibat ketidaktahuan tentang pangkal dan sumber hidup ber-Etika.
Sepanjang sejarah peradaban; agama/kepercayaan adalah salah satu sumber Etika
yang terpokok atau yang utama. Agama selalu mengandung moral, tetapi moral
bukan bersumber satu-satunya atau monopoli agama. Pangkal agama ialah iman pada
Tuhan dan mengalir dari itu, kita percaya, patuh dan taat pada norma dan aturan
yang ditetapkanNya.[11]
Etika profesi adalah suatu
norma yang mengatur bagaimana seharusnya atau seyogyanya pemegang profesi
menjalankan dan bertanggungjawab atas profesinya, agar tetap berada dalam
penilaian baik sesuai penilaian obyektif dan umum. Dengan demikian etika profesi
mengikat bagi pemegang profesi.[12]
Etika Kepolisian sebagai
Etika Khusus atau Etika Terapan, juga bersumber pada Etika Umum dengan semua
normanya, seperti berbuat baik, tidak merugikan, menghormati otonomi manusia,
kejujuran, keadilan dan lain-lain, yang diterapkan dalam segenap eksistensi
Polisi dalam semua tugasnya.[13]
Hati nurani menurut Dr. W.
Poespoprodjo, L.PH., S.S mencakup tiga hal yaitu[14]
:
1) Intelek sebagai kemampuan yang membentuk keputusan-keputusan
tentang perbuatan-perbuatan individual yang benar dan salah.
2) Proses pemikiran yang ditempuh intelek guana mencapai keputusan
semacam itu.
3) Keputusannya sendiri yang merupakan kesimpulan proses pemikiran
ini.
Hati nurani bukanlah suatu
kemampuan khusus, melainkan suatu fungsi dari akal budi praktis memutuskan
perbuatan kongkret dari seseorang sebagai mempunyai arti moral baik atau buruk.[15]
Franz Magnis Suseno menyebut
Hari Nurani dengan istilah Suara Hati, yang rumusannya adalah kesadaran batin
bahwa saya berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki apa yang menjadi
kewajiban dan tanggungjawab saya, bahwa hanya saya sendirilah dapat dan berhak
untuk mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab saya itu. Atau
lebih singkat Suara Hati adalah kesadaran saya akan kewajiban dan tanggungjawab
saya sebagai manusia dalam situasi konkrit.[16]
Hati nurani yang terdapat
pada tiap-tiap pribadi dalam proses pemikiran untuk mencapai suatu keputusan
melalui suatu pemikiran logis deduktif yang mana dalam proses tersebut menuntut
adanya suatu premis mayor atau prinsip umum, premis minor atau penerapan
prinsip pada suatu kasus tertentu, dan kesimpulan yang pasti muncul dari kedua
premis tersebut. Premis mayor yang dipakai guna membentuk keputusan hati nurani
adalah suatu prinsip moral umum, baik yang nyata sendiri kebenarannya (tidak
perlu penyelidikan lagi / tidak disanksikan lagi) ataupun kesimpulan dari
pemikiran terdahulu yang ditarik dari prinsip-prinsip yang nyata sendiri
kebenarannya. Para sarjana abad pertengahan memakai istilah Sinderesis untuk
mengartikan kebiasaan memakai prinsip-prinsip moral yang umum, kebiasaan
mempunyai prinsip-prinsip semacam itu sudah terbentuk dalam pikiran dan
kebiasaan memakai prinsip-prinsip tersebut sebagai dasar perbuatan seseorang.
Prinsip sinderesis seperti “kerjakan yang baik, hindari yang buruk”,
“hormatilah hak orang lain; dan lain-lain bagi pemikiran moral praktis sama
halnya dengan prinsip-prinsip pembatalan, alasan yang mencukupi, kausalitas,
dan lain-lain bagi pemikiran teoritis. Premis mayor mungkin suatu prinsip
sinderesis mungkin juga suatu kesimpulan
yang berasal dari prinsip sinderesis tetapi dipegang oleh seseorang sebagai
patokan umum perbuatannya. Premis minor memasukkan perbuatan khusus yang kini
akan dikerjakan ke dalam sorotan prinsip umum yang dinyatan dalam premis mayor.
Kesimpulan yang secara logis
muncul daripadanya adalah keputusan hati nurani sendiri, contoh :.
Semua perbuatan dusta tidak
diperbolehkan.
Hakikat perbuatan saya ini
adalah berdusta.
Maka hakikat perbuatan saya
ini tidak diperbolehkan.
Kesalahan yang bisa menyakiti
orang lain harus dikoreksi.
Kesalahan yang baru saja
kuperbuat adalah kesalahan yang bisa menyakiti orang lain.
Maka kesalahan yang baru saja
kuperbuat haruslah dikoreksi.[17]
Falsafah Kepolisian adalah
induk Etika Kepolisian dengan obyek studi Polisi dan obyek formalnya perilaku
Polisi dan alasan serta tata pikir dan pola tindak dalam memilih perilaku ini.
Khusus pada pembahasan falsafah digunakan metoda spekulatif dan tanpa pembuktian.
Konkritnya; Falsafah Kepolisian adalah suatu metoda berpikir dan menemukan
kebenaran tentang eksistensi Polisi beserta tindakan dan perilakunya. Uraian
tentang anatomi pathologis diatas adalah pembuka jalan atau pancangan awal
Falsafah Kepolisian yang ingin menggambarkan bahwa Polisi memang harus ada dan
perlu atau dibutuhkan. Anatomi pathologis yang diproyeksikan pada masyarakat
modern dewasa ini, lalu menghadirkan problema yang sangat kompleks dan berakar
pada tuntutan hidup manusia yang dipadu dengan tata kehidupan yang luas
spektrumnya.[18]
Istilah polisi berasal dari
kata politea yang dalam bahasa Yunani memiliki arti atau pada mulanya
meliputi semua hal mengenai kenegaraan, semua usaha negara, tidak terkecuali
urusan keagamaan.[19]
Pada saat itu negara Yunani terdiri dari kota-kota yang dinamakan “Polis”. Jadi
pada zaman itu arti polisi demikian luasnya bahkan meliputi seluruh
pemerintahan negara kota, termasuk juga didalamnya urusan-urusan keagamaan
seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya, termasuk dalam urusan pemerintahan.[20]
Perkembangan jaman di Eropa
Barat (terutama sejak abad ke-14 dan ke-15) menuntut adanya pemisahan agama dan
negara sehingga dikenal istilah-istilah police di Perancis dan polizei
di Jerman yang keduanya telah mengecualikan urusan keduniawian saja[21]
atau hanya mengurusi keseluruhan pemerintahan negara, istilah polizei tersebut
masih dipakai sampai dengan akhir abad pertengahan, kemudian berkembang dengan
munculnya teori Catur Praja dari Van Voenhoven yang membagi pemerintahan dalam
empat bagian, yaitu:[22]
1) Bestuur : Hukum Tata
Pemerintahan
2) Politie : Hukum
Kepolisian
3) Justitie : Hukum
Acara Peradilan
4) Regeling : Hukum
Perundang-undangan
Dari arti
kata Polisi terdapat 3 pengertian yang dalam penggunaan sehari-hari sering
tercampur aduk dan melahirkan berbagai konotasi. Tiga arti kata Polisi tersebut
adalah : 1) Polisi sebagai fungsi, 2) Polisi sebagai organ kenegaraan, 3)
Polisi sebagai pejabat atau petugas. Kata polisi dapat juga berarti sebgai kata
kerja yang bermakna; membuat sesuatu menjadi bergaya, bercorak, bersifat dan
berbentuk sesuai dengan nilai-nilai luhur Kepolisian, karenanya sering
digunakan kata-kata; memolisikan, pemolisian yang semuanya mengacu pada usaha,
kegiatan tindakan Polisi yang bersifat Etis.[23]
Kepolisian
dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian diartikan sebagai segala hal-ihwal
yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian
Negara Republik Indonesia sedangkan Pejabat Kepolisian Negara adalah anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki
wewenang umum kepolisian.
Peraturan
kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan
umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Profesi
(profession) diartikan suatu jenis pekerjaan yang karena sifatnya menuntut
pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan istimewa.[24]
Sedangkan Black mengartikan profession, “a vocation or occupation requiring
special, usually advanced, education, knowledge, and skill, e.g law or medical
professions”.[25]
(Profesi adalah suatu lapangan pekerjaan atau pekerjaan yang memerlukan
pendidikan, pengetahuan dan kemahiran khusus, misalnya profesi hukum atau
profesi kedokteran). Menurut Franz
Magnis Suseno, profesi dibedakan menjadi dua jenis, yakni profesi pada umumnya
dan profesi luhur. Profesi pada umumnya ada dua prinsip yang wajib untuk
ditegakkan, yakni : pertama, menjalankan profesinya secara bertanggungjawab;
kedua, hormat terhadap hak-hak orang lain. Dan profesi luhur, juga memiliki dua
prinsip, yakni : pertama, mendahulukan kepentingan orang yang dibantu; dan
kedua, mengabdi pada tuntutan luhur profesi.[26]
Dari
beberapa definisi tersebut dapat ditarik pemahaman, bahwa “profesi” adalah
suatu pekerjaan khusus yang dijalankan berdasarkan pengetahuan dan keahliannya
yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan dan dijalankan secara terus
menerus. Arti khusus disini adalah konsentrasi pada bidang tertentu sesuai
dengan keahlian yang ditekuninya. Profesi ini dikerjakan lebih cenderung pada
pemberian pelayanan, sehingga memberikan tanggungjawab profesi.[27]
Etika
Profesi Polri ada kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai
oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam wujud
komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, kenegaraan, kelembagaan, dan
hubungan dengan masyarakat.[28]
Profesi
Kepolisian adalah profesi yang berkaitan dengan tugas Kepolisian baik di bidang
operasional maupun di bidang pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.[29]
BAB V
ANALISIS
5.1 Bukan Hati Nurani Keliru
Yang Dipandang Perlu Dalam Etika Profesi Polri Melainkan Hati Nurani yang
Saksama
Dalam
kehidupan manusia menentukan suatu keputusan untuk dilakukan atau tidak sangat
mungkin dipengaruhi oleh hati nurani, seakan-akan ada bisikan dari dalam atau
sering orang menyebutnya secara morfosis sebagai suara Tuhan yang senantiasa
mengawasi langkah kehidupannya sehingga dengan adanya hati nurani ini maka
manusia menentukan baik atau buruknya apa yang diperbuatnya. Profesi Kepolisian
memiliki tugas-tugas pokok Kepolisian yang senantiasa dijalankan oleh anggota
Kepolisian dan dimaknai sebagai bentuk atau jenis dari pekerjaan khusus, yakni
khusus dalam bidang penegakkan hukum, pelindungan, pengayoman serta pelayanan
kepada masyarakat agar terciptanya rasa aman tidak terganggu, damai dan tentram
didalam kehidupan masyarakat sehingga masyarakat sebgai orang yang dilayani
akan didahulukan kepentingannya dan pengemban profesi Kepolisian ini pun tidak
luput dari kewajiban pengabdian terhadap tuntutan luhur profesinya sehingga tidaklah
berlebihan bila profesi Kepolisian ini masuk dalam kategori profesi luhur dalam
pengkategorian profesi oleh Franz Magnis Suseno.
Kristalisasi
nilai-nilai Tribrata dengan landasan dan penjiwaan Pancasila yang tercermin
oleh pengemban profesi Kepolisian merupakan perwujudan dari hati nurani
tiap-tiap individunya, pelaksanaan tugas-tugas luhur yang diemban senantiasa menyiratkankan
adanya suatu tanggungjawab profesi bagi tiap-tiap pengembannya.
Setiap anggota Kepolisian
dalam etika kepribadiannya telah diatur untuk wajib beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam hati nuraninya kepada Tuhan Yang Maha Esa
untuk menjunjung tinggi sumpahnya sebagai anggota Polri serta melaksanakan tugas
kenegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni, karena kehendak Tuhan Yang
Maha Kuasa sebagai wujud amal ibadahnya. Mengatur dan menata kepribadian
merupakan suatu langkah awal yang harus dimulai agar dapat mencapai perwujudan
komitmen moralnya.
Pada hakekatnya hati nurani
setiap individu merupakan penuntun bagi perbuatan-perbuatan yang akan datang,
mendorong untuk melaksanakannya atau tidak melaksanakannya (menghindari), atau
merupakan hakim atas perbuatan-perbuatan yang telah lampau, bisa menjadi sumber
pembenaran diri atau sumber rasa sesal. Dalam etika yang dianggap paling
penting adalah empat hal pokok yang tercantum dalam kerjanya antecedent
conscience yaitu memerintah atau melarang apabila perbuatan itu harus
dikerjakan atau dihindari; meyakinkan atau mengizinkan bila terdapat soal mana
yang lebih baik atau lebih buruk tanpa keharusan yang keras. Oleh karena itu
keputusan hati nurani merupakan keputusan intelek yang artinya keputusan
intelek tersebut bukanlah keputusan yang tidak dapat salah atau sesat melainkan
bila pemikiran deduktifnya menggunakan premis-premis yang palsu atau apabila
dalam penarikan kesimpulan yang tidak logis maka hati nurani juga bisa keliru
atau sesat.
Proses pemikiran untuk
mencapai suatu keputusan hati nurani adalah melalui pentahapan sama seperti
pemikiran logis deduktif, yang menuntut adanya premis mayor (prinsip umum),
premis minor (penerapan prinsip pada suatu kasus tertentu) dan kesimpulan yang
pasti muncul dari kedua premis tadi.
Kaitannya dalam Etika Profesi
Polri yang selain dilandasi Pancasila juga mencerminkan jati diri anggota Polri
menuntut suatu keputusan dari hati nurani yang tidak keliru / sesat melainkan
keputusan hati nurani yang saksama yang dapat memberikan kepastian sesuatu itu
baik untuk hal yang benar-benar baik dan sesuatu itu buruk untuk hal yang
benar-benar buruk. Hal inilah yang dipandang perlu adanya bagi tiap-tiap
pengemban profesi Kepolisian yang merupakan profesi luhur yang mendahulukan
kepentingan orang yang dilayaninya serta masih dituntut untuk memenuhi tuntutan
luhur profesinya.
Pengimplementasian dari
pentingnya kemampuan pemakaian premis-premis yang tidak palsu atau kemampuan
untuk menarik kesimpulan yang logis inilah yang sangat diperlukan oleh para anggota
Polri sehingga mampu memilah apakah sesuatu hal yang akan diperbuatnya itu
suatu hal yang baik atau hal yang buruk dalam arti lain yaitu dimilikinya hati
nurani yang saksama.
5.2 Peranan Hati Nurani
Yang Saksama Dalam mewujudkan Polri Yang Didambakan Oleh Masyarakat
Keberadaan Hati Nurani yang saksama didukung oleh berbagai hal yang
diantaranya adalah dengan meniadakan hati nurani yang penuh keraguan serta
menghindari hati nurani yang keliru. Demikian halnya apabila dikaitkan dengan
pelaksanaan tugas anggota Polri dilapangan perlunya mengeliminir keragu-raguan
dalam memutuskan untuk melakukan suatu hal yang menurut hati nurani yang
saksama adalah sesuatu yang harus dilakukan atau tidak dilakukan berdasarkan
keputusan intelek yang tidak sesat.
Didalam menjaga Profesi Kepolisian sebagai suatu Profesi
Mulia (Officium Nobile) maka Anggota Polri dengan kemampuan mengambil keputusan
intelek yang tidak keliru atau dengan kata lain bila hati nurani yang saksama
telah menjadi suatu intuisi didalam diri masing-masing anggota Polri secara
penuh dengan kesadaran tanpa adanya rasa keterpaksaan ataupun rasa takut akan
sanksi / punishment mampu menjalankan kewajiban menghindarkan diri dari
perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya serta
menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan pada
masyarakat, menghormati harkat dan martabat manusia melalui penghargaan serta
perlindungan terhadap hak asasi manusia, menjunjung tinggi prinsip kebebasan
dan kesamaan bagi semua warga negara, menghindarkan diri dari perbuatan
tercela, meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat dan melakukan tindakan
pertama Kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas Kepolisian, baik
sedang bertugas maupun di luar dinas.
Dengan demikian kepercayaan
masyarakat terhadap Polri semakin tinggi dan besar sehingga Polri menjadi sosok
yang bukan saja dibutuhkan namun diinginkan dan didambakan oleh masyarakat
karena kunci dari itu semua adalah kepercayaan masyarakat, karena bila
kepercayaan masyarakat terhadap Polri tidak berhasil dicapai maka sosok Polri
yang ada hanyalah sosok yang dibutuhkan namun tidak diinginkan apalagi
didambakan.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dalam Etika Profesi Polri dibutuhkan dan dituntutnya suatu
keputusan yang tercetus dari hati nurani yang tidak keliru / sesat melainkan
keputusan hati nurani yang saksama yang dapat memberikan kepastian sesuatu itu
baik untuk hal yang benar-benar baik dan sesuatu itu buruk untuk hal yang
benar-benar buruk.
Peranan
hati nurani yang saksama sebagai penjaga Profesi Kepolisian sebagai suatu
Profesi Mulia (Officium Nobile) di nilai sangat penting untuk mewujudkan
kepercayaan masyarakat terhadap Polri karena kepercayaan masyarakat adalah
suatu dasar bagi Polri untuk dapat menyelenggarakan pemolisiannya sebagaimana
seharusnya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, seperti ada
pepatah Jawa mengatakan, “kelangan bondo ora kelangan opo-opo; kelangan nyowo
iku kelangan separo; kelangan kapercayan kelangan sak kabehane”. (yang artinya
: kehilangan harta benda sebenarnya tidak kehilangan apa-apa, kehilangan nyawa
baru kehilangan setengahnya saja, sedangkan kehilangan kepercayaan adalah
kehilangan semuanya). Tanpa kepercayaan masyarakat mustahil Polri dapat melakukan
tugasnya dengan baik.
6.2 Saran
Untuk dapat membuat Hati Nurani yang saksama menjadi kendali Etika
Profesi Polri dalam artian kemurnian Hati Nurani dimulai dari individu anggota
Polri itu sendiri sebagai anggota dari Institusi Polri, maka penulis menyarankah
:
·
Memasukkan pendidikan
karakter dan perubahan mindset diri dalam sistem belajar atau kurikulum
pendidikan Polri baik pendidikan pembentukan maupun pendidikan pengembangan
atau lanjutan, hal ini dapat dilakukan melalui program pengembangan diri
seperti ESQ (emotional and spiritual intelligence), NAC (neuro associative
conditioning) , OUTBOND dan SBMS (source, body, mind and soul).
·
Memberdayakan Biro Psikologi
atau Bagian Psikologi sebagai sarana untuk melakukan perawatan dan konsultasi
serta evaluasi bagi personil Polri sampai tingkat terendah (Polres dan Polsek)
bukan hanya digunakan pada saat seleksi-seleksi untuk penerimaan personil baru
atau pun pendidikan lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Neta S. Pane, Jangan Bosan Kritik Polisi,
Jakarta: PT. Indonesia Satu, 2009.
Drs. Tb. Anis Angkawijaya, M.Si, makalah
seminar sekolah Etika dan
Kelembagaan / Institusi
Polri, 2011.
K. Bertens, Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pusaka
Utama, 2005.
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT. Gramedia
Pusaka Utama,
1985.
Alex Guntur, Etika, Jakarta: Penerbit Nusa
Indah/ Percetakan Arnoldus, 1989.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta:
PT. Gramedia Pusaka Utama,
1994.
Gde Yasa Tohjiwa, Catatan Kritis, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Sadjijono, Etika Profesi Hukum, Jakarta:
Laksbang Mediatama, 2008.
Soemoenoe, Catatan Kritis, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996.
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan
Dalam Teori Dan Praktek,
Bandung: CV. Remadja Karya,
1988.
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar –
Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,
Jakarta: Penerbit Canisius,
1995.
Kunarto, Etika Kepolisian, Jakarta: PT. Cipta
Manunggal, 1997.
R. Seno Soeharjo, Serba-Serbi Tentang Polisi :
Pengantar Usaha
Mempelajari Hukum Polisi,
Bogor: R. Schenkhuizen, 1953.
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Jakarta:
PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1994.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982.
Kamaruddin dalam Liliana Tedjosaputro, Etika
Profesi dan Profesi Hukum,
Semarang: Aneka Ilmu, 2003.
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary,
Sixth Edition, St. Paul, Minn.:
West Publishing Co, 1990.
Makalah
Tb. Anis Angkawijaya, M.Si, makalah seminar
sekolah Etika dan
Kelembagaan / Institusi
Polri, 2011.
Jurnal
Bekti Nugroho, Citra Polisi di Tengah Kebebasan
Pers dan Profesionalisme,
Jurnal Studi Kepolisian edisi
075 | Juni-November 2011, Jakarta: STIK-
PTIK.
Peraturan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkap
no. 7 tahun 2006 tentang
Kode Etik Profesi Polri, Bab
I, Pasal 3.
Internet
_________
, Inilah Data Pelanggaran dan Pidana Anggota Polri Lima Tahun
Terakhir, Jakarta, Kompas.com, 11 Desember 2009, diakses
melalui
http://m.kompas.com/news/read/2009/12/11/17325833 pada tanggal
23 Juli 2011.
Data pelanggaran anggota Polri tahun 2003-2005
, diakses melalui
d=99.
[1] Neta S. Pane, Jangan Bosan Kritik Polisi, Jakarta:
PT. Indonesia Satu, 2009, h. 239
[2] Drs. Tb. Anis Angkawijaya, M.Si, makalah seminar
sekolah Etika dan Kelembagaan / Institusi Polri, 2011, h.2.
[3] _________
, Inilah Data Pelanggaran dan Pidana Anggota Polri Lima Tahun Terakhir,
Jakarta, Kompas.com, 11 Desember 2009, diakses melalui http://m.kompas.com/news/read/2009/12/11/17325833 pada tanggal 23 Juli 2011.
[4] Bekti Nugroho, Citra Polisi di Tengah Kebebasan Pers
dan Profesionalisme, Jurnal Studi Kepolisian edisi 075 | Juni-November 2011,
Jakarta: STIK-PTIK, h. 49.
[5] Data pelanggaran anggota Polri tahun 2003-2005 ,
diakses melalui http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=umum&id=99
[7] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT. Gramedia
Pusaka Utama, 1985, h. 5.
[9] Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta: PT.
Gramedia Pusaka Utama, 1994, h. 13.
[11] Drs. Gde Yasa Tohjiwa, Catatan Kritis, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 1.
[12] Dr. Sadjijono, SH, M.Hum, Etika Profesi Hukum,
Jakarta: Laksbang Mediatama, 2008, h. 10.
[13] Drs. Soemoenoe, Catatan Kritis, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996, h. 7.
[14] Dr. W. Poespoprodjo, L.PH., S.S., Filsafat Moral
Kesusilaan Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: CV. Remadja Karya, 1988, h. 230.
[15] Ibid, h. 242.
[16] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar – Masalah-Masalah
Pokok Filsafat Moral, Jakarta: Penerbit Canisius, 1995, h. 75.
[17] Dr. Sadjijono, SH., M.Hum., op. cit., h. 230-231.
[18] Drs. Kunarto, Etika Kepolisian, Jakarta: PT. Cipta
Manunggal, 1997, h. 46-47.
[19] R. Seno Soeharjo, Serba-Serbi Tentang Polisi :
Pengantar Usaha Mempelajari Hukum Polisi, Bogor: R. Schenkhuizen, 1953, h. 10.
[21] Ibid
[22] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982, h. 337.
[23] Drs. Gde Yasa Tohjiwa, loc. cit.
[24] Kamaruddin dalam Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi
dan Profesi Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 2003, h. 35.
[25] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth
Edition, St. Paul, Minn.: West Publishing Co, 1990, h. 121.
[26] Franz Magnis Suseno, dalam Liliana Tedjosaputro, op.
cit, h. 35-36.
[27] Dr. Sadjijono, SH., M.Hum., op. cit., h. 29.
[28] Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkap no. 7
tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi
Polri, Bab I, Pasal 3.
[29] Ibid., Pasal 4.
No comments:
Post a Comment