Sunday, February 19, 2012

HATI NURANI YANG SAKSAMA MENJADI KENDALI ETIKA PROFESI POLRI


BAB I
PENDAHULUAN

1.1          Latar belakang permasalahan
            Persepsi masyarakat terhadap sikap dan perilaku polisi yang ditemukan melalui survei tahun 2001 itu ternyata belum banyak berubah. Pada tahun 2007, institusi Kepolisian dinilai masih sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Penilaian buruk itu merupakan hasil pengukuran pengaruh korupsi Global Corruption Barometer (GBC) 2007 yang diluncurkan oleh Transparency International (TI) yang diambil dari 1010 responden dari Jakarta, Bandung, Surabaya.[1]
            Masyarakat sendiri sangat menyadari kehadiran polisi di tengah-tengah masyarakat yang memang merupakan suatu keharusan. Kehadiran polisi tidak dapat digantikan dengan teknologi secanggih apapun, sebab itulah tugas polisi yang mencakup tugas tugas sebagai aparat pelindung, pengayom, pelayan dan penegak hukum membuka format yang lebih luas ke arah pemberdayaan masyarakat. Jika masyarakat merasa aman dan stabilitas kamtibmas kondusif, roda perekonomian akan melahirkan berbagai peningkatan perekonomian masyarakat. Jika perekonomian masyarakat terus meningkat, kualitas hidup masyarakat pun pasti akan meningkat sehinggga disinilah peran strategis Polri dalam menjalankan fungsinya untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidaup masyarakat.
            Polri merupakan tokoh dalam masyarakat yang begitu sentral baik dalam kelembagaan sosial mapun dalam kelembagaan hukum karena perannya, ada dua sisi yang berbeda yang tercermin dalam profesi Kepolisian yaitu banyak orang yang perduli dan mencari serta membutuhkan polisi namun tidak jarang pula orang yang enggan dan menghindari untuk berurusan dengan polisi.
            Semenjak terpisah dari TNI pada tahun 1999 lalu, Polri telah mencanangkan perubahan besar yang mendasar pada institusinya yang dikenal dengan Reformasi Polri yakni perubahan di bidang instrumental, struktural dan kultural yang konsep-konsep perubahannya terus menerus disosialisasikan dari tingkat Mabes Polri sampai ke tingkat satuan terendah dan akhirnya menyentuh individu-individu anggota Polri pada sisi internal dan kepada masyarakat luas pada sisi eksternal Polri. Reformasi Polri yang diharapkan masyarakat tidaklah hanya sebatas menyangkut struktur dan instrumen dari organisasi belaka namun yang paling penting adalah mereformasi budaya atau kultur organisasinya. Kultur Kepolisian inilah yang harus dibenahi secara mendalam dan berkesinambungan mengingat sikap dan perilaku dari anggota polisi masih banyak dikeluhkan oleh masyarakatnya sehingga membutuhkan suatu pembangunan karakter Kepolisian melalui perombakan budaya Kepolisian yang memang sangat disadari bahwa perombakan budaya sangat membutuhkan proses dan tidak semudah membalikkan telapak tangan namun jangan pula dibiarkan bergerak lamban sebab kultur yang ada selama ini dirasakan telah mendarah daging serta mengakar budaya menjadi suatu pola tingkah laku terlebih lagi telah tertransformasikan menjadi cara berpikir sehingga perlu kesungguhan dari segala lapisan elit Polri untuk mengubah dan selalu mencermati perkembangan dari tahapan perubahan tersebut. Tujuan utama yang ingin dicapai dari hal ini tidak lain dan tidak bukan agar sikap represif anggota Kepolisian dapat terkikis dan menimbulkan sosok Polri yang tampil menjadi polisi sipil yang profesional dan mengedepankan hak-hak asasi manusia sehingga dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
            Polri merupakan suatu institusi profesi yang besar dan profesional didunia Kepolisian yang sudah tentu memiliki sasaran dan tujuan institusi yang akan dicapainya, hal ini tertuang pada misi dan visi Polri. Pencapaian sasaran sangat memerlukan adanya integritas atau komitmen dari seluruh anggotanya. Institusi yang profesional pastinya memiliki suatu standar kerja dengan nilai tinggi guna dijadikan sebagai pedoman bagi anggotanya, nilai standar tersebut sangat berpengaruh pada kualitas kinerja yang apabila nilai standar kerja suatu institusi tersebut semakin rendah maka semakin rendahlah kualitas kerjanya dan semakin tinggi peluang terjadinya penyimpangan yang dapat dilakukan oleh anggotanya, begitu pula sebaliknya. Dengan tingginya nilai standar kerja suatu institusi maka kualitas kerja ikut tinggi dengan tingginya disiplin dan tingginya standar produk kinerjanya.
            Dalam profesi Kepolisian juga diperlukan adanya suatu jabaran kerja/tugas (job description) dan analisa kerja/tugas (job analisis) yang bertujuan untuk dapat memandu anggota profesi Kepolisian tersebut didalam menjalankan pekerjaannya dalam menciptakan dan menjaga kamtibmas. Dari panduan tersebut maka dapat diukur suatu standar keberhasilan yang mana disisi lain pun berarti bila tidak memenuhi standar keberhasilan maka dianggap gagal sehingga perlunya diadakan suatu pemberian penghargaan bagi yang berhasil dan penghukuman dalam bentuk sanksi bagi yang gagal / menyimpang yang dikenal dengan sistem reward and punishment.
            Harapan masyarakat terhadap polisinya sangatlah banyak sehingga untuk dapat meraih kepercayaan masyarakat tersebut maka, setiap anggota Polri tentunya harus dapat bertindak sebagai polisi yang netral, jujur, terbuka, bersih, dan berwibawa, yang dicintai dan dihormati, dipercaya serta dibanggakan oleh masyarakatnya untuk semua itulah dipandang perlunya suatu etika profesi Kepolisian yang tidak saja dikendalikan oleh sanksi-sanksi apabila melanggarnya namun juga secara sadar dan ikhlas dikendalikan oleh hati nurani dari anggota polisi tersebut. Dalam etika profesi tersebut perlu adanya suatu penjabaran yang dapat dijadikan suatu pedoman moral bagi anggota Kepolisian itu sendiri antara lain memuat : 1) Apa saja yang harus dilakukan, 2) Apa saja yang tidak boleh dilakukan, 3) Produk-produk kinerja yang harus dihasilkan, 4) Sanksinya apabila melanggar.
            Masyarakat pun mempunyai peranan yang besar dalam menciptakan polisi yang ideal. Sinergi antara masyarakat dan penyelenggaraan fungsi kepolisian yang demokratis, transparan, bertanggung jawab, dan berorientasi kepada hak asasi manusia akan menciptakan suatu penegakan hukum yang berkeadilan.

Polisi yang ideal pernah dikemukakan Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri) yang mengatakan, motto polisi adalah fight crime, help deliquence, love humanity dalam arti walaupun crime tetap akan dicegah dan diberantas, polisi selalu berperang dengan kejahatan, tetapi tidak berarti bahwa pelakunya mutlak untuk dimusnahkan. Hukuman pidana tetap diperlukan demi keadilan dan demi pencegahan, tetapi mereka perlu ditolong, ditunjukkan ke arah yang benar.


Perlunya peningkatan profesionalisme tetapi tetap humanis dalam menghadapi kejahatan didasarkan kepada pandangan bahwa pelaku kejahatan sekarang ini tidak lagi berasal dari dimensi kemiskinan. Dimensi kejahatan telah bergeser kepada kejahatan yang berasal dari dimensi keserakahan dan kekuasaan yang menghasilkan jenis kejahatan yang canggih dan rapi, tetapi karakteristiknya tidak mengunakan kekerasan (nonviolent).

Menghadapi jenis kejahatan yang berasal dari dimensi keserakahan (terutama kejahatan ekonomi) dan dimensi kekuasaan (korupsi) memerlukan polisi-polisi yang tangguh dan cerdik dalam menguasai teknologi, sebab modus operandi kejahatan yang berasal dari dimensi keserakahan dan kekuasaan selalu menggunakan instrument delicti yang canggih.

Dalam rangka penegakan hukum, hendaknya tetap dijaga kode etik profesi yang menekankan kepada perlindungan hak asasi manusia yang meliputi hak asasi tersangka, hak asasi masyarakat, dan hak asasi korban.
Polisi ideal adalah polisi yang bisa melindungi secara hukum pelaku, korban, dan masyarakat. Perlindungan hukum kepada tersangka berupa kesempatan atau access to legal councel (bantuan hukum), perlindungan hukum terhadap korban berupa informasi kepada korban tentang perkembangan kasusnya, dan perlindungan terhadap masyarakat bahwa polisi benar-benar telah menangani kasusnya sehingga masyarakat percaya bahwa keadilan akan ditegakkan.
Sampai saat ini didalam internal Polri telah menganut suatu aturan kode etik profesi tersendiri yaitu yang diatur berdasarkan Peraturan Kapolri nomor 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara tegas tersurat dan dinyatakan bahwa Etika Profesi Polri merupakan norma-norma atau aturan-aturan sebagai kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri.
Untuk   mencapai   pemolisian   yang   efektif   dalam   rangka mewujudkan suatu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) serta dapat   dikatakan   fungsional   dalam  masyarakat  maka  Polri harus dapat  berfungsi  sebagai  bagian  dari   tata   kehidupan   masyarakat   tersebut   dan   keberadaannya   dibutuhkan   serta   mendapat   dukungan   dari   warga   masyarakat   yang  dilayaninya maka perwujudan kondisi ini diperlukan   anggota Polri   yang   tidak hanya profesional namun juga beretika kepolisian, permasalahan ini menarik untuk dianalisa oleh penulis mengingat etika berkaitan erat dengan kejiwaan yang membentuk kesadaran, pandangan hidup dan hati nurani yang positif untuk mewujudkan anggota Polri yang berperilaku semakin positif juga.
            Dengan latar belakang sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas maka penulis memilih judul : Hati Nurani Yang Saksama Jadi Kendali Etika Profesi Polri.

BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

2.1      Rumusan Permasalahan
            Berbicara mengenai Etika mengkait langsung dengan perilaku manusia maka akan ada banyak permasalahan didalamnya terutama bila dikaitkan dengan berbagai permasalahan Etika khusus, Etika Kepolisian namun untuk lebih fokusnya maka penulis memilih beberapa pertanyaan terkait dengan permasalahan Etika Profesi Polri sebagai berikut :
1)    Hati Nurani manakah yang dipandang perlu dalam Etika Profesi Polri ?
2)    Bagaimanakah peranan Hati Nurani yang Saksama dalam mewujudkan Etika Profesi Polri ?

2.2      Tujuan Penulisan
            Tujuan dari penulisan ini pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1)    Sebagai penugasan yang diberikan oleh dosen mata kuliah Falsafah dan Etika Kepolisian yang akan diujikan pada saat ujian akhir semester.
2)    Untuk menggali lebih dalam mengenai keberadaan, kemanfaatan dan peranan dari Hari Nurani dalam Etika Profesi Kepolisian.

2.3      Sistematika Penulisan
            Penulisan makalah ini terdiri dari 4 bagian, yang disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut :
1)    Bab I, merupakan bagian Pendahuluan yang bermaterikan mengenai latar belakang permasalahan, permasalahan, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
2)    Bab II, merupakan bagian Identifikasi masalah yang mengulas mengenai permasalahan, tujuan penulisan, pertanyaan penelitian dan sistematika penulisan.
3)    Bab III, merupakan tinjauan Data dan Fakta yang mengulas mengenai kondisi saaat ini berdasarkan data dan fakta yang ada mengenai penulisan makalah ini.
4)    Bab IV, merupakan bagian Kerangka Teori dan Konsep termasuk didalamnya juga definisi operasional dari penulisan makalah ini.
5)    Bab V, merupakan bagian Analisis dari penulisan makalah ini.
6)    Bab IV, merupakan bagian Penutup yang bermaterikan kesimpulan dari penulisan makalah ini dan saran-saran dari penulis.

BAB III
DATA DAN FAKTA

3.1      Kondisi Saat Ini
            Secara umum gambaran kelembagaan institusi Polri yang saat ini dan terkini, suka tidak suka atau sadar tidak sadar tergambarkan antara lain seperti : 1) Masih sering merasa cepat puas, 2) Tidak mampu berkompetisi secara bebas dan sehat, 3) Kurang kreatif dan inovatif, 4) Mencari prestise tanpa prestasi, 5) Takut gagal tidak siap menghadapi resiko, 6) Kurang mampu memperbaiki diri, 7) Kurang gemar membaca dan menulis, 8) Ingin kerja ringan hasil besar, 9) Pandai membina hubungan vertikal kurang mampu membina hubungan horisontal, 10) Membenarkan yang biasa dan tidak membiasakan yang benar, 11) Senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang, 12) Suka berlindung dibalik seseorang / sponsor, 13) Tidak pandai mengemban misi, slogan tidak diubah menjadi tindakan, 14) Senang dibelaskasihani dan bangga dapat gratis, 15) Pandai menuntut orang lain dan tidak pandai menuntut diri sendiri, 16) Tidak konsekuen dan tidak konsisten, 17) Yang lebih tua menuntut penghormatan dari yang muda, 18) Bersifat ganda embivalen, 19) Memiliki mental dan kultur feodal, 20) Menggampangkan permasalahan. Berdasarkan kebiasaan sehari-hari tanpa didukung pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang akibatnya ; memperlakukan personil sebagai obyek dan mengabaikan hak serta kewajibannya dan tidak mencerminkan sikap dan sifat keteladanan, kejujuran, keadilan, ketulusan, dan kewibawaan.[2]
            Anggapan yang ada ditengah-tengah masyarakat bahwa kehadiran polisi saat ini justru meresahkan masyarakat. Dari pungutan liar, suap menyuap, sampai tindak pidana kriminal dewasa ini semakin marak terjadi. Eksistensi polisi sebagai pelayan masyarakat sudah terdegradasi oleh moral bejat para oknum tak bertanggung jawab. Mungkin hal ini dikarenakan tujuan yang paling mendasar bagi seorang polisi sudah sangat jauh melenceng dari tujuannya semula. Dahulu, polisi sangat dihormati dan disegani, masyarakat merasa aman dengan kehadiran polisi ditengah-tengahnya. Namun sekarang ini tujuan dasar tersebut berubah 180 derajat, yaitu harta dan status sosial/prestige. Hal demikian menjadi tujuan utama dan minat nomor satu yang menarik dari profesi seorang polisi. Kalaupun ada yang berminat menjadi polisi bersih yang tujuan utamanya adalah melayani dan melindungi, paling- paling hanya segelintir orang saja.
            Rendahnya pandangan masyarakat terhadap institusi Polri salah satu penyebabnya dapat terlihat dari data pelanggaran anggota Kepolisian di seluruh wilayah Indonesia baik itu pelanggaran disiplin maupun pelanggaran pidana yang terangkum di Mabes Polri dari data tahun 2004-2009. Dari data tersebut kita dapat melihat jumlah pelanggaran yang dilakukan anggota Polri dalam kurun waktu 5 tahun yang angkanya cukup memilukan hati dan jauh dari kata profesional bagi suatu institusi. Hal ini merupakan suatu fakta nyata yang tergambarkan melalui data-data yang terekam dalam kurun waktu yang dapat dikatakan masih sangat aktual untuk saat ini yaitu data yang dikompulir dan dipublikasi pada tahun 2009 oleh Mabes Polri melalui media elektronik internet sehingga dapat diakses oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tabel data tersebut dapat dilihat dibawah ini.

Tabel 1
Pelanggaran Anggota Polri Periode 2004-2009[3]
TAHUN
PELANGGARAN DISIPLIN
PELANGGARAN PIDANA
PTDH
TOTAL
SELESAI
PROSES
TOTAL
SELESAI
PROSES
2004
3.835
2.243
1.592
1.072
886
186
131
2005
2.830
2.142
688
697
411
286
254
2006
2.961
1.681
1.280
961
549
412
150
2007
5.703
4.228
1.475
357
301
56
160
2008
7.035
4.517
2.518
1.164
272
892
252
2009
5.454
1.582
3.872
1.082
108
974
270
Sumber:        Mabes Polri,11 Desember 2009
            Dulu masyarakat pada umumnya bisa mahfum bila sering mendengar alasan, Polri tidak bisa profesional dan mandiri karena masih di bawah ketiak TNI. Namun sejak Polri dilepas dari TNI oleh Presiden RI ke 4 Abdurahman Wahid tahun 2000 lalu, ternyata hingga kini cita aparat Polri tetap saja tidak berubah banyak. Hasil penelitian yang dilakukan Kompas, menunjukkan betapa rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Publik yang masih mempercayai institusi Polri hanya 6,5%. Tingkat kepercayaan ini lebih rendah dibanding tingkat kepercayaan dengan lembaga agama dan juga media massa (7,2%). (Kompas, 31 Januari 2011).[4]
Sebelum data yang dipublikasikan oleh Mabes Polri diatas tadi, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam situs resminya juga telah mempublikasikan data perbandingan pelanggaran yang di klasifikasikan sesuai dengan jenis pelanggarannya dan kepangkatannya untuk pelanggaran yang dilakukan pada tahun 2003-2005, seperti pada tabel dibawah ini.

Data perbandingan pelanggaran Polri tahun 2003-2005 untuk jenis pelanggaran dan kepangkatannya.[5]

            Selain fakta yang menjadi gambaran kondisi bagi Polri seperti apa yang telah disebutkan diatas ternyata masih ada lagi sisi lemah dari institusi Polri yang secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh pada Profesi Kepolisian yang antara lain : 1) Sosialisasi melalui slogan-slogan yang dilakukan oleh Polri kurang diikuti dengan tindakan, 2) Sidang Kode Etik yang dilakukan dalam menyidangkan pelanggaran-pelanggaran Kode Etik dirasakan kurang dapat memberikan efek jera yang signifikan, 3) Program-program yang berupa program untuk melakukan perubahan berupa pelatihan outbound, esq, naq dan sebagainya belum dapat menyentuh seluruh anggota Polri (baru 19,3% dari sekitar 382.000 anggota Polri).

BAB IV
KERANGKA TEORI DAN KONSEP

4.1      Definisi Operasional
            Etika berasal dari bahasa Yunani kuno, kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang terbentuknya istilah “Etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “Etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[6]
            Etika adalah ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan istilah-istilah moral, karena kata Etika itu aslinya bermakna filsafat mengenai bidang moral.[7]
            Etika berasal dari kata Yunani ethos yang berarti kebiasaan-kebiasaan yang baik, juga dari kata Latin ethica yang berarti kesusilaan dan moral. Dalam bahasa Inggris disebut Ethics yang berarti ukuran-ukuran perilaku atau tingkah laku yang baik atau tindakan-tindakan yang tepat atau moral pada umumnya. Menarik makna dari berbagai pengertian itu rumusan Etika sebagai; pengetahuan tentang moral atau kesusilaan atau pengetahuan tentang perilaku atau tingkah laku manusia. Ditambahkan; jadi perilaku manusia itu ada ukurannya, yaitu antara kelakuan yang baik sampai yang buruk.[8]
            Dalam buku Etika Politik, Franz Magnis Suseno menambahkan bahwa; Etika yang mempertanyakan tangggungjawab dan kewajiban manusia itu sebenarnya terbagi dalam pengertian Etika Umum dan Etika Khusus. Etika Umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia. Sedangkan Etika Khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya.[9] Dalam lingkup inilah Etika Kepolisian terwadahi, K. Bertens menyebut Etika Khusus itu sebagai Etika Terapan dan selaras memperdalam pengertia Etika ini diketengahkan juga bahwa kata ethos dalam pembicaraan sehari-hari di Indonesia sudah sangat umum. Sehingga kata Etika mempunyai tempat khusus dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Dalam kamus umum bahasa indonesia yang lama (Purwodarminto, 1953) kata Etika diberi arti: Ilmu pengetahuan tentang azas-azas moral. Jadi pengertian semula hanya sebagai ilmu padahal dalam percaturan pembicaraan Etika tidak hanya diartikan sebagai ilmu saja. Mungkin atas kenyataan itu, kamus umum bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendididkan dan Kebudayaan, 1988) memberikan pengertian yang lebih luas dan lebih memenuhi kebutuhan penafsiran. Disitu kata Etika sekaligus diberi 3 pengertian :[10]
1)    Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
2)    Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3)    Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika dalam era modern, mengandung juga mengandung pengertian pluralisme moral, yang lalu menimbulkan banyak masalah etis baru. Akibatnya adalah, semakin kita peduli atas Etika universal, semakin memahami peradaban manusia di dunia dan semakin dinamis pergerakan manusia dan semakin luas cakrawala berpikir dan pandangan, semakin gencar berkomunikasi. Hal-hal itu adalah penyebab lahirnya era informasi. Karenanya ada pendapat bahwa siapa menguasai informasi akan menguasai dunia. Dalam era modern itu orang sering cenderung melemah dalam memegang teguh Etika sebagai akibat ketidaktahuan tentang pangkal dan sumber hidup ber-Etika. Sepanjang sejarah peradaban; agama/kepercayaan adalah salah satu sumber Etika yang terpokok atau yang utama. Agama selalu mengandung moral, tetapi moral bukan bersumber satu-satunya atau monopoli agama. Pangkal agama ialah iman pada Tuhan dan mengalir dari itu, kita percaya, patuh dan taat pada norma dan aturan yang ditetapkanNya.[11]
Etika profesi adalah suatu norma yang mengatur bagaimana seharusnya atau seyogyanya pemegang profesi menjalankan dan bertanggungjawab atas profesinya, agar tetap berada dalam penilaian baik sesuai penilaian obyektif dan umum. Dengan demikian etika profesi mengikat bagi pemegang profesi.[12]
Etika Kepolisian sebagai Etika Khusus atau Etika Terapan, juga bersumber pada Etika Umum dengan semua normanya, seperti berbuat baik, tidak merugikan, menghormati otonomi manusia, kejujuran, keadilan dan lain-lain, yang diterapkan dalam segenap eksistensi Polisi dalam semua tugasnya.[13]
Hati nurani menurut Dr. W. Poespoprodjo, L.PH., S.S mencakup tiga hal yaitu[14] :
1)    Intelek sebagai kemampuan yang membentuk keputusan-keputusan tentang perbuatan-perbuatan individual yang benar dan salah.
2)    Proses pemikiran yang ditempuh intelek guana mencapai keputusan semacam itu.
3)    Keputusannya sendiri yang merupakan kesimpulan proses pemikiran ini.
Hati nurani bukanlah suatu kemampuan khusus, melainkan suatu fungsi dari akal budi praktis memutuskan perbuatan kongkret dari seseorang sebagai mempunyai arti moral baik atau buruk.[15]
Franz Magnis Suseno menyebut Hari Nurani dengan istilah Suara Hati, yang rumusannya adalah kesadaran batin bahwa saya berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki apa yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab saya, bahwa hanya saya sendirilah dapat dan berhak untuk mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan tanggungjawab saya itu. Atau lebih singkat Suara Hati adalah kesadaran saya akan kewajiban dan tanggungjawab saya sebagai manusia dalam situasi konkrit.[16]
Hati nurani yang terdapat pada tiap-tiap pribadi dalam proses pemikiran untuk mencapai suatu keputusan melalui suatu pemikiran logis deduktif yang mana dalam proses tersebut menuntut adanya suatu premis mayor atau prinsip umum, premis minor atau penerapan prinsip pada suatu kasus tertentu, dan kesimpulan yang pasti muncul dari kedua premis tersebut. Premis mayor yang dipakai guna membentuk keputusan hati nurani adalah suatu prinsip moral umum, baik yang nyata sendiri kebenarannya (tidak perlu penyelidikan lagi / tidak disanksikan lagi) ataupun kesimpulan dari pemikiran terdahulu yang ditarik dari prinsip-prinsip yang nyata sendiri kebenarannya. Para sarjana abad pertengahan memakai istilah Sinderesis untuk mengartikan kebiasaan memakai prinsip-prinsip moral yang umum, kebiasaan mempunyai prinsip-prinsip semacam itu sudah terbentuk dalam pikiran dan kebiasaan memakai prinsip-prinsip tersebut sebagai dasar perbuatan seseorang. Prinsip sinderesis seperti “kerjakan yang baik, hindari yang buruk”, “hormatilah hak orang lain; dan lain-lain bagi pemikiran moral praktis sama halnya dengan prinsip-prinsip pembatalan, alasan yang mencukupi, kausalitas, dan lain-lain bagi pemikiran teoritis. Premis mayor mungkin suatu prinsip sinderesis  mungkin juga suatu kesimpulan yang berasal dari prinsip sinderesis tetapi dipegang oleh seseorang sebagai patokan umum perbuatannya. Premis minor memasukkan perbuatan khusus yang kini akan dikerjakan ke dalam sorotan prinsip umum yang dinyatan dalam premis mayor.
Kesimpulan yang secara logis muncul daripadanya adalah keputusan hati nurani sendiri, contoh :.
Semua perbuatan dusta tidak diperbolehkan.
Hakikat perbuatan saya ini adalah berdusta.
Maka hakikat perbuatan saya ini tidak diperbolehkan.

Kesalahan yang bisa menyakiti orang lain harus dikoreksi.
Kesalahan yang baru saja kuperbuat adalah kesalahan yang bisa menyakiti orang lain.
Maka kesalahan yang baru saja kuperbuat haruslah dikoreksi.[17]

Falsafah Kepolisian adalah induk Etika Kepolisian dengan obyek studi Polisi dan obyek formalnya perilaku Polisi dan alasan serta tata pikir dan pola tindak dalam memilih perilaku ini. Khusus pada pembahasan falsafah digunakan metoda spekulatif dan tanpa pembuktian. Konkritnya; Falsafah Kepolisian adalah suatu metoda berpikir dan menemukan kebenaran tentang eksistensi Polisi beserta tindakan dan perilakunya. Uraian tentang anatomi pathologis diatas adalah pembuka jalan atau pancangan awal Falsafah Kepolisian yang ingin menggambarkan bahwa Polisi memang harus ada dan perlu atau dibutuhkan. Anatomi pathologis yang diproyeksikan pada masyarakat modern dewasa ini, lalu menghadirkan problema yang sangat kompleks dan berakar pada tuntutan hidup manusia yang dipadu dengan tata kehidupan yang luas spektrumnya.[18]
Istilah polisi berasal dari kata politea yang dalam bahasa Yunani memiliki arti atau pada mulanya meliputi semua hal mengenai kenegaraan, semua usaha negara, tidak terkecuali urusan keagamaan.[19] Pada saat itu negara Yunani terdiri dari kota-kota yang dinamakan “Polis”. Jadi pada zaman itu arti polisi demikian luasnya bahkan meliputi seluruh pemerintahan negara kota, termasuk juga didalamnya urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya, termasuk dalam urusan pemerintahan.[20]
Perkembangan jaman di Eropa Barat (terutama sejak abad ke-14 dan ke-15) menuntut adanya pemisahan agama dan negara sehingga dikenal istilah-istilah police di Perancis dan polizei di Jerman yang keduanya telah mengecualikan urusan keduniawian saja[21] atau hanya mengurusi keseluruhan pemerintahan negara, istilah polizei tersebut masih dipakai sampai dengan akhir abad pertengahan, kemudian berkembang dengan munculnya teori Catur Praja dari Van Voenhoven yang membagi pemerintahan dalam empat bagian, yaitu:[22]
1)    Bestuur          : Hukum Tata Pemerintahan
2)    Politie             : Hukum Kepolisian
3)    Justitie           : Hukum Acara Peradilan
4)    Regeling       : Hukum Perundang-undangan
Dari arti kata Polisi terdapat 3 pengertian yang dalam penggunaan sehari-hari sering tercampur aduk dan melahirkan berbagai konotasi. Tiga arti kata Polisi tersebut adalah : 1) Polisi sebagai fungsi, 2) Polisi sebagai organ kenegaraan, 3) Polisi sebagai pejabat atau petugas. Kata polisi dapat juga berarti sebgai kata kerja yang bermakna; membuat sesuatu menjadi bergaya, bercorak, bersifat dan berbentuk sesuai dengan nilai-nilai luhur Kepolisian, karenanya sering digunakan kata-kata; memolisikan, pemolisian yang semuanya mengacu pada usaha, kegiatan tindakan Polisi yang bersifat Etis.[23]
Kepolisian dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian diartikan sebagai segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sedangkan Pejabat Kepolisian Negara adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian.
Peraturan kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Profesi (profession) diartikan suatu jenis pekerjaan yang karena sifatnya menuntut pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan istimewa.[24] Sedangkan Black mengartikan profession, “a vocation or occupation requiring special, usually advanced, education, knowledge, and skill, e.g law or medical professions”.[25] (Profesi adalah suatu lapangan pekerjaan atau pekerjaan yang memerlukan pendidikan, pengetahuan dan kemahiran khusus, misalnya profesi hukum atau profesi kedokteran).  Menurut Franz Magnis Suseno, profesi dibedakan menjadi dua jenis, yakni profesi pada umumnya dan profesi luhur. Profesi pada umumnya ada dua prinsip yang wajib untuk ditegakkan, yakni : pertama, menjalankan profesinya secara bertanggungjawab; kedua, hormat terhadap hak-hak orang lain. Dan profesi luhur, juga memiliki dua prinsip, yakni : pertama, mendahulukan kepentingan orang yang dibantu; dan kedua, mengabdi pada tuntutan luhur profesi.[26]
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik pemahaman, bahwa “profesi” adalah suatu pekerjaan khusus yang dijalankan berdasarkan pengetahuan dan keahliannya yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan dan dijalankan secara terus menerus. Arti khusus disini adalah konsentrasi pada bidang tertentu sesuai dengan keahlian yang ditekuninya. Profesi ini dikerjakan lebih cenderung pada pemberian pelayanan, sehingga memberikan tanggungjawab profesi.[27]
Etika Profesi Polri ada kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, kenegaraan, kelembagaan, dan hubungan dengan masyarakat.[28]
Profesi Kepolisian adalah profesi yang berkaitan dengan tugas Kepolisian baik di bidang operasional maupun di bidang pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.[29]

BAB V
ANALISIS

5.1      Bukan Hati Nurani Keliru Yang Dipandang Perlu Dalam Etika Profesi Polri Melainkan Hati Nurani yang Saksama
            Dalam kehidupan manusia menentukan suatu keputusan untuk dilakukan atau tidak sangat mungkin dipengaruhi oleh hati nurani, seakan-akan ada bisikan dari dalam atau sering orang menyebutnya secara morfosis sebagai suara Tuhan yang senantiasa mengawasi langkah kehidupannya sehingga dengan adanya hati nurani ini maka manusia menentukan baik atau buruknya apa yang diperbuatnya. Profesi Kepolisian memiliki tugas-tugas pokok Kepolisian yang senantiasa dijalankan oleh anggota Kepolisian dan dimaknai sebagai bentuk atau jenis dari pekerjaan khusus, yakni khusus dalam bidang penegakkan hukum, pelindungan, pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat agar terciptanya rasa aman tidak terganggu, damai dan tentram didalam kehidupan masyarakat sehingga masyarakat sebgai orang yang dilayani akan didahulukan kepentingannya dan pengemban profesi Kepolisian ini pun tidak luput dari kewajiban pengabdian terhadap tuntutan luhur profesinya sehingga tidaklah berlebihan bila profesi Kepolisian ini masuk dalam kategori profesi luhur dalam pengkategorian profesi oleh Franz Magnis Suseno.
            Kristalisasi nilai-nilai Tribrata dengan landasan dan penjiwaan Pancasila yang tercermin oleh pengemban profesi Kepolisian merupakan perwujudan dari hati nurani tiap-tiap individunya, pelaksanaan tugas-tugas luhur yang diemban senantiasa menyiratkankan adanya suatu tanggungjawab profesi bagi tiap-tiap pengembannya.
Setiap anggota Kepolisian dalam etika kepribadiannya telah diatur untuk wajib beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam hati nuraninya kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menjunjung tinggi sumpahnya sebagai anggota Polri serta melaksanakan tugas kenegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni, karena kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai wujud amal ibadahnya. Mengatur dan menata kepribadian merupakan suatu langkah awal yang harus dimulai agar dapat mencapai perwujudan komitmen moralnya.
Pada hakekatnya hati nurani setiap individu merupakan penuntun bagi perbuatan-perbuatan yang akan datang, mendorong untuk melaksanakannya atau tidak melaksanakannya (menghindari), atau merupakan hakim atas perbuatan-perbuatan yang telah lampau, bisa menjadi sumber pembenaran diri atau sumber rasa sesal. Dalam etika yang dianggap paling penting adalah empat hal pokok yang tercantum dalam kerjanya antecedent conscience yaitu memerintah atau melarang apabila perbuatan itu harus dikerjakan atau dihindari; meyakinkan atau mengizinkan bila terdapat soal mana yang lebih baik atau lebih buruk tanpa keharusan yang keras. Oleh karena itu keputusan hati nurani merupakan keputusan intelek yang artinya keputusan intelek tersebut bukanlah keputusan yang tidak dapat salah atau sesat melainkan bila pemikiran deduktifnya menggunakan premis-premis yang palsu atau apabila dalam penarikan kesimpulan yang tidak logis maka hati nurani juga bisa keliru atau sesat.
Proses pemikiran untuk mencapai suatu keputusan hati nurani adalah melalui pentahapan sama seperti pemikiran logis deduktif, yang menuntut adanya premis mayor (prinsip umum), premis minor (penerapan prinsip pada suatu kasus tertentu) dan kesimpulan yang pasti muncul dari kedua premis tadi.
Kaitannya dalam Etika Profesi Polri yang selain dilandasi Pancasila juga mencerminkan jati diri anggota Polri menuntut suatu keputusan dari hati nurani yang tidak keliru / sesat melainkan keputusan hati nurani yang saksama yang dapat memberikan kepastian sesuatu itu baik untuk hal yang benar-benar baik dan sesuatu itu buruk untuk hal yang benar-benar buruk. Hal inilah yang dipandang perlu adanya bagi tiap-tiap pengemban profesi Kepolisian yang merupakan profesi luhur yang mendahulukan kepentingan orang yang dilayaninya serta masih dituntut untuk memenuhi tuntutan luhur profesinya.
Pengimplementasian dari pentingnya kemampuan pemakaian premis-premis yang tidak palsu atau kemampuan untuk menarik kesimpulan yang logis inilah yang sangat diperlukan oleh para anggota Polri sehingga mampu memilah apakah sesuatu hal yang akan diperbuatnya itu suatu hal yang baik atau hal yang buruk dalam arti lain yaitu dimilikinya hati nurani yang saksama.

5.2      Peranan Hati Nurani Yang Saksama Dalam mewujudkan Polri Yang Didambakan Oleh Masyarakat
            Keberadaan Hati Nurani yang saksama didukung oleh berbagai hal yang diantaranya adalah dengan meniadakan hati nurani yang penuh keraguan serta menghindari hati nurani yang keliru. Demikian halnya apabila dikaitkan dengan pelaksanaan tugas anggota Polri dilapangan perlunya mengeliminir keragu-raguan dalam memutuskan untuk melakukan suatu hal yang menurut hati nurani yang saksama adalah sesuatu yang harus dilakukan atau tidak dilakukan berdasarkan keputusan intelek yang tidak sesat.
Didalam menjaga  Profesi Kepolisian sebagai suatu Profesi Mulia (Officium Nobile) maka Anggota Polri dengan kemampuan mengambil keputusan intelek yang tidak keliru atau dengan kata lain bila hati nurani yang saksama telah menjadi suatu intuisi didalam diri masing-masing anggota Polri secara penuh dengan kesadaran tanpa adanya rasa keterpaksaan ataupun rasa takut akan sanksi / punishment mampu menjalankan kewajiban menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya serta menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan pada masyarakat, menghormati harkat dan martabat manusia melalui penghargaan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan kesamaan bagi semua warga negara, menghindarkan diri dari perbuatan tercela, meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat dan melakukan tindakan pertama Kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas Kepolisian, baik sedang bertugas maupun di luar dinas.
Dengan demikian kepercayaan masyarakat terhadap Polri semakin tinggi dan besar sehingga Polri menjadi sosok yang bukan saja dibutuhkan namun diinginkan dan didambakan oleh masyarakat karena kunci dari itu semua adalah kepercayaan masyarakat, karena bila kepercayaan masyarakat terhadap Polri tidak berhasil dicapai maka sosok Polri yang ada hanyalah sosok yang dibutuhkan namun tidak diinginkan apalagi didambakan.

BAB VI
PENUTUP

6.1      Kesimpulan
            Dalam Etika Profesi Polri dibutuhkan dan dituntutnya suatu keputusan yang tercetus dari hati nurani yang tidak keliru / sesat melainkan keputusan hati nurani yang saksama yang dapat memberikan kepastian sesuatu itu baik untuk hal yang benar-benar baik dan sesuatu itu buruk untuk hal yang benar-benar buruk.
            Peranan hati nurani yang saksama sebagai penjaga Profesi Kepolisian sebagai suatu Profesi Mulia (Officium Nobile) di nilai sangat penting untuk mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri karena kepercayaan masyarakat adalah suatu dasar bagi Polri untuk dapat menyelenggarakan pemolisiannya sebagaimana seharusnya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, seperti ada pepatah Jawa mengatakan, “kelangan bondo ora kelangan opo-opo; kelangan nyowo iku kelangan separo; kelangan kapercayan kelangan sak kabehane”. (yang artinya : kehilangan harta benda sebenarnya tidak kehilangan apa-apa, kehilangan nyawa baru kehilangan setengahnya saja, sedangkan kehilangan kepercayaan adalah kehilangan semuanya). Tanpa kepercayaan masyarakat mustahil Polri dapat melakukan tugasnya dengan baik.
6.2      Saran
            Untuk dapat membuat Hati Nurani yang saksama menjadi kendali Etika Profesi Polri dalam artian kemurnian Hati Nurani dimulai dari individu anggota Polri itu sendiri sebagai anggota dari Institusi Polri, maka penulis menyarankah :

·      Memasukkan pendidikan karakter dan perubahan mindset diri dalam sistem belajar atau kurikulum pendidikan Polri baik pendidikan pembentukan maupun pendidikan pengembangan atau lanjutan, hal ini dapat dilakukan melalui program pengembangan diri seperti ESQ (emotional and spiritual intelligence), NAC (neuro associative conditioning) , OUTBOND dan SBMS (source, body, mind and soul).

·      Memberdayakan Biro Psikologi atau Bagian Psikologi sebagai sarana untuk melakukan perawatan dan konsultasi serta evaluasi bagi personil Polri sampai tingkat terendah (Polres dan Polsek) bukan hanya digunakan pada saat seleksi-seleksi untuk penerimaan personil baru atau pun pendidikan lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Neta S. Pane, Jangan Bosan Kritik Polisi, Jakarta: PT. Indonesia Satu, 2009.
Drs. Tb. Anis Angkawijaya, M.Si, makalah seminar sekolah Etika dan
Kelembagaan / Institusi Polri, 2011.
K. Bertens, Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2005.
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama,
1985.
Alex Guntur, Etika, Jakarta: Penerbit Nusa Indah/ Percetakan Arnoldus, 1989.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama,
1994.
Gde Yasa Tohjiwa, Catatan Kritis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Sadjijono, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Laksbang Mediatama, 2008.
Soemoenoe, Catatan Kritis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori Dan Praktek,
Bandung: CV. Remadja Karya, 1988.
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar – Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,
Jakarta: Penerbit Canisius, 1995.
Kunarto, Etika Kepolisian, Jakarta: PT. Cipta Manunggal, 1997.
R. Seno Soeharjo, Serba-Serbi Tentang Polisi : Pengantar Usaha
Mempelajari Hukum Polisi, Bogor: R. Schenkhuizen, 1953.
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1994.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982.
Kamaruddin dalam Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum,
Semarang: Aneka Ilmu, 2003.
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn.:
West Publishing Co, 1990.

Makalah
Tb. Anis Angkawijaya, M.Si, makalah seminar sekolah Etika dan
Kelembagaan / Institusi Polri, 2011.

Jurnal
Bekti Nugroho, Citra Polisi di Tengah Kebebasan Pers dan Profesionalisme,
Jurnal Studi Kepolisian edisi 075 | Juni-November 2011, Jakarta: STIK-
PTIK.

Peraturan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkap no. 7 tahun 2006 tentang
Kode Etik Profesi Polri, Bab I, Pasal 3.

Internet
_________ , Inilah Data Pelanggaran dan Pidana Anggota Polri Lima Tahun
Terakhir, Jakarta, Kompas.com, 11 Desember 2009, diakses melalui
23 Juli 2011.
Data pelanggaran anggota Polri tahun 2003-2005 , diakses melalui
d=99.


[1] Neta S. Pane, Jangan Bosan Kritik Polisi, Jakarta: PT. Indonesia Satu, 2009, h. 239
[2] Drs. Tb. Anis Angkawijaya, M.Si, makalah seminar sekolah Etika dan Kelembagaan / Institusi Polri, 2011, h.2.
[3] _________ , Inilah Data Pelanggaran dan Pidana Anggota Polri Lima Tahun Terakhir, Jakarta, Kompas.com, 11 Desember 2009, diakses melalui http://m.kompas.com/news/read/2009/12/11/17325833 pada tanggal 23 Juli 2011.
[4] Bekti Nugroho, Citra Polisi di Tengah Kebebasan Pers dan Profesionalisme, Jurnal Studi Kepolisian edisi 075 | Juni-November 2011, Jakarta: STIK-PTIK, h. 49.
[5] Data pelanggaran anggota Polri tahun 2003-2005 , diakses melalui http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=umum&id=99
[6] K. Bertens, Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2005, h. 4.
[7] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 1985, h. 5.
[8] Drs. Alex Guntur, Etika, Jakarta: Penerbit Nusa Indah/ Percetakan Arnoldus, 1989, h. 11.
[9] Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 1994, h. 13.
[10] K. Bertens, op. cit., h. 5-6.
[11] Drs. Gde Yasa Tohjiwa, Catatan Kritis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 1.
[12] Dr. Sadjijono, SH, M.Hum, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Laksbang Mediatama, 2008, h. 10.
[13] Drs. Soemoenoe, Catatan Kritis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 7.
[14] Dr. W. Poespoprodjo, L.PH., S.S., Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: CV. Remadja Karya, 1988, h. 230.
[15] Ibid, h. 242.
[16] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar – Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Jakarta: Penerbit Canisius, 1995, h. 75.
[17] Dr. Sadjijono, SH., M.Hum., op. cit., h. 230-231.
[18] Drs. Kunarto, Etika Kepolisian, Jakarta: PT. Cipta Manunggal, 1997, h. 46-47.
[19] R. Seno Soeharjo, Serba-Serbi Tentang Polisi : Pengantar Usaha Mempelajari Hukum Polisi, Bogor: R. Schenkhuizen, 1953, h. 10.
[20] Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1994, h. 10.
[21] Ibid
[22] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1982, h. 337.
[23] Drs. Gde Yasa Tohjiwa, loc. cit.
[24] Kamaruddin dalam Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 2003, h. 35.
[25] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn.: West Publishing Co, 1990, h. 121.
[26] Franz Magnis Suseno, dalam Liliana Tedjosaputro, op. cit, h. 35-36.
[27] Dr. Sadjijono, SH., M.Hum., op. cit., h. 29.
[28] Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perkap no. 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri, Bab I, Pasal 3.
[29] Ibid., Pasal 4.

No comments:

Post a Comment