Tuesday, February 21, 2012

Kasus tindak pidana Korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Urip Tri Gunawan dalam kajian Teori Realitas Sosial Kejahatan (Richard Quinney)


I. Teori
            Teori Realitas Sosial Kejahatan (Social Reality of Crime Theory) dari Richard Quinney yang di dalamnya terdapat 6 (enam) preposisi dengan sejumlah pernyataan di dalam preposisi tersebut yang mana di preposisi pertama merupakan pendefinisian dari kejahatan ditambah 4 (empat) preposisi selanjutnya berupa unit penjelas dan preposisi terakhir merupakan kumpulan dari 5 (lima) preposisi sebelumnya yang dikumpulkan membentuk suatu komposit yang menggambarkan realitas sosial kejahatan.
            Richard Quinney dalam Teori Realitas Sosial Kejahatan menyatakan[1] :
·      Realitas kejahatan yang dikonstruksikan bagi kita cenderung kita terima sebagaimana seharusnya. Selanjutnya, kita memberikan hak kepada pihak yang berkuasa untuk melakukan tindakan yang sebenarnya lebih mencerminkan kepentingannya.
·      Realitas sosial kejahatan dalam masyarakat yang diorganisir secara politis pada dasarnya adalah tindakan politis juga.
·      Terdapat 6 (enam) preposisi dari realitas sosial kejahatan

II. Contoh Kasus
Kasus tindak pidana Korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Urip Tri Gunawan tahun 2009.

Kronologis kasus[2] :
            Urip Tri Gunawan Jaksa Ketua tim penyelidikan kasus BLBL-BDNI terbukti secara sah dan meyakinkan menerima uang 660 ribu dolar AS dari Artalyta Suryani dan melakukan pemerasan sebesar Rp1 miliar terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glen Surya Yusuf.
            Majelis hakim yang diketuai oleh Teguh Hariyanto menyatakan “Terdakwa Urip Tri Gunawan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi,” kata hakim Teguh Hariyanto.Dalam putusannya, majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp500 juta subsidiair satu tahun kurungan.Urip dijerat dengan pasal 12 B dan 12 E UU nomor 31 tahun 1999  sebagaimana diubah dengan pasal 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
            Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim berkeyakinan bahwa Urip dengan sengaja membocorkan proses penyelidikan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kemungkinan menyeret pimpinan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.
            Urip terbukti membocorkan proses penyelidikan kepada Artalyta Suryani, pengusaha yang dikenal dekat dengan Sjamsul Nursalim.”Terdakwa lindungi kepentingan Sjamsul Nursalim untuk mendapatkan imbalan,” kata hakim Andi Bachtiar.
            Majelis hakim menegaskan, Urip telah dengan sengaja menyarankan kepada Artalyta tentang cara-cara yang bisa ditempuh agar Sjamsul Nursalim tidak perlu menghadiri panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Agung.
            Pertimbangan hukum majelis hakim antara lain didasarkan pada petunjuk hasil sadapan asli yang dilakukan terhadap pembicaraan Urip dengan berbagai pihak melalui telepon.
            Majelis menyatakan Urip telah menghubungi jaksa Hendro Dewanto untuk membantu mencarikan solusi kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim.  Hendro Dewanto adalah anggota tim jaksa BLBI yang berperan dalam menganalisis hasil penyelelidikan kasus itu. Dalam pembicaraan yang terjadi pada 7 Desember 2007 itu, Urip berulang kali meminta tolong kepada Hendro.
            “Terdakwa berulang-ulang meminta Hendro Dewanto untuk mencarikan jalan keluar kasus BLBI BDNI,” kata hakim Teguh Haryanto. Urip juga terbukti menghubungi pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Adi untuk membantu meyakinkan sejumlah jaksa agar perkara BLBI diselesaikan secara perdata.
            Hakim juga membeberkan pembicaraan Urip dengan Artalyta pada tanggal 25 Februari 2008. Dalam pembicaraan itu, Artalyta menyatakan komitmennya untuk menyediakan sesuatu dengan mengatakan,”Pokoknya aku sudah ready, tinggal tunggu waktu aja.” “Itu terkait dengan rencana pemberian uang 660 ribu dolar AS,” kata hakim Teguh menambahkan.
            Majelis menyebutkan, Urip telah beberapa kali menjalin komunikasi dengan Artalyta yang antara lain menyebutkan  “tentang “sesuatu yang akan diberikan kepada Urip. Kemudian, sesaat setelah penghentian kasus BLBI pada 29 Februari 2008, Urip juga menghubungi Artalyta untuk memberi tahu bahwa penyelidikan kasus tersebut telah dihentikan, seperti keinginan Artalyta.
            Dalam pembicaraan itu, Artalyta menyatakan kesiapannya untuk memberikan uang kepada Urip pada Minggu, 2 Maret 2008. Pada hari yang ditentukan itu, Urip ditangkap karena menerima uang 660 ribu dolar AS. Majelis berkeyakinan, pemberian itu terkait dengan penyelidikan kasus BLBI.
            Majelis juga menyatakan Urip bersalah karena memeras mantan Kepala BPPN Glen Surya Yusuf sebesar Rp1 miliar. Pemerasan itu dilakukan melalui perantaraan pengacara Glen, Reno Iskandarsyah.
            Majelis berkeyakinan, Urip menyatakan bahwa ada kemungkinan Glen menjadi tersangka dalam kasus BLBI. Hal itu bisa disiasati jika Glen mau berkoordinasi dan menyerahkan sejumlah uang. Akhirnya Glen menyerahkan Rp1 miliar kepada terdakwa melalui Reno Iskandarsyah.

III.  Pembahasan
            Dalam kasus tersebut diatas oleh Teori Realitas Sosial Kejahatan dari Richard Quinney dibahas menggunakan 6 (enam) preposisi teori :

1. (Definisi Kejahatan) : Kejahatan adalah suatu definisi tingkah laku manusia yang diciptakan oleh agen-agen penguasa dalam suatu masyarakat yang terorganisasi secara politik
Tindakan yang dilakukan oleh Jaksa Urip Tri Gunawan merupakan kejahatan yang di definisikan sebagai kejahatan korupsi hal tersebut merupakan suatu kejahatan yang definisinya dirumuskan dalam suatu undang-undang tentang tindak pidana korupsi yang mana rancangan undang-undang ini dibahas terlebih dahulu sebelum di sah-kan  bersama oleh Presiden dan DPR, yang mana rancangan undang-undang itu dapat berasal dari DPR, Presiden atau DPD yang merupakan agen-agen penguasa dalam suatu masyarakat yang terorganisir secara politik.

2. (Perumusan definisi penjahat) : Definisi penjahat menggambarkan tingkah laku yang konflik dengan kepentingan kelompok masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan publik
Jaksa Uri Tri Gunawan di definisikan sebagai koruptor atau penjahat yang melakukan tindak pidana korupsi seperti yang tercantum dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menurut undang-undang tersebut dirumuskan, dijabarkan dan dijelaskan sebagai pelaku yang mempunyai konflik dengan penguasa atau negara yakni secara melawan hukum penguasa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, karena dianggap merugikan penguasa yang memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang (kebijakan publik) maka dirumuskanlah undang-undang yang mengatur pemberantasan kejahatan (korupsi) yang dilakukan oleh penjahat (koruptor) tersebut.
3. (Penerapan definisi penjahat) : Definisi penjahat diterapkan oleh kelompok masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk sistem peradilan pidana dan penegakkan hukum
Koruptor sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam hal ini adalah Jaksa Urip Tri Gunawan dihukum berdasarkan undang-undang pemberantasan korupsi melalui pengadilan tindak pidana korupsi termasuk juga diatur mengenai mekanisme penegakkan hukumnya oleh penguasa seperti dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantasannya. Dalam kasus ini si pelaku tertangkap tangan oleh (KPK) sedang menerima suap sebesar 6,1 miliyar rupiah.
4. (Perkembangan pola tingkah laku dalam hubungannya dengan definisi penjahat) Pola tingkah laku distrukturkan dalam masyarakat yang berkelompok-kelompok dalam hubungannya dengan definisi penjahat, dan dalam konteks tersebut orang-orang dapat terlibat dalam tindakan-tindakan yang mempunyai kemungkinan didefinisikan sebagai penjahat
     Pola tingkah laku atau perbuatan yang diatur oleh penguasa sebagai hal yang dapat di definisikan sebagai koruptor (penjahat) yakni memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sehingga apabila terdapat keterlibatan dari orang-orang dalam tindakan-tindakan tersebut baik yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama dengan koruptor sehingga keterlibatan orang-orang dapat juga di definisikan sebagai koruptor (penjahat).
5. (Konstruksi konsep penjahat) : Konsep penjahat dibentuk dan tersebar pada kelompok-kelompok masyarakat melalui komunikasi yang terjadi melalui berbagai cara
Sebelum tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan pada kasus suap BLBL ini, konsep pelaku tindak pidana korupsi atau yang disebut juga sebagai koruptor seperti yang diatur dalam undang-undang pemberantasan korupsi termasuk dengan ancaman-ancaman hukumannya disosialisasikan dan disebarluaskan kepada masyarakat melalui berbagai cara begitu undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi ditetapkan, baik menggunakan media massa, penyuluhan dan sebagainya. Hal ini termasuk juga buronan koruptor (penjahat) atau koruptor (penjahat) yang belum tertangkap, fotonya dipajang diberbagai media baik media cetak maupun elektronik serta ditempel di tempat-tempat keramaian publik.
6. (Realistas sosial kejahatan) : Realitas sosial kejahatan dibentuk melalui perumusan dan penerapan definisi penjahat, perkembangan pola tingkah laku yang berhubungan dengan definisi penjahat, dan pembentukan konsep penjahat.
Kejahatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Urip Tri Gunawan yang merupakan salah satu jaksa terbaik yang dimiliki oleh kejaksaan Indonesia kenyataannya setelah tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang selanjutnya penegakkan hukumnya dilakukan oleh lembaga negara yang telah diatur oleh penguasa dalam undang-undang pemberantasan tindak pindana korupsi, dibuktikan melalui persidangan sehingga ditetapkan menjadi koruptor sesuai dengan rumusan dan penerapan dari undang-undang pemberantan tidak pidana korupsi yang ditetapkan oleh penguasa atau pemerintah.

IV.  Kesimpulan
            Bahwa kejahatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Urip Tri Gunawan merupakan suatu tindakan yang dapat di pidana sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan oleh penguasa (pemerintah) yang kemudian tindakan penghukuman diberikan kepada pelaku sesuai dengan yang telah diatur oleh undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi guna mendapatkan efek jera bagi si pelaku maupun mencegah terjadi kejahatan yang merugikan kepentingan negara atau penguasa (dalam hal ini adalah berbentuk keuangan) bagi calon penjahat (koruptor) lainnya dengan mempertimbangkan sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh penguasa atau pemerintah tersebut.



[1] Materi kuliah Teori Kriminilogi Dan Viktimologi Prof. Dr. Adrianus Meliala, M.Si, M.Sc, Ph.D
[2] http://beritasore.com/2008/09/04/jaksa-urip-divonis-20-tahun-penjara/

Sunday, February 19, 2012

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG


Pendahuluan
            Dampak dari globalisasi yang sedang melanda dunia saat ini tidak hanya bersifat positif namun juga dapat menimbulkan dampak yang negatif, dapat disebutkan beberapa dampak positifnya antara lain terciptanya kegiatan ekonomi dan hal-hal yang berhubungan dengan keuangan antar pulau didalam suatu negara maupun antar negara di dunia namun dari sisi negatifnya tidak tertutup kemungkinan adanya peningkatan permintaan barang-barang maupun jasa-jasa terlarang serta membuka peluang lebih besar terhadap kegiatan-kegiatan kriminal. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang merupakan akselerator dari suatu globalisasi juga berusaha dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk meraup keuntungan yang sangat besar dari suatu kegiatan perbudakan model baru yang disebut Perdagangan Orang atau Trafficking In Person yang pelakunya disebut sebagai Trafficker yang dengan cepat berkembang membentuk sindikat-sindikat yang tidak saja berada di dalam suatu negara melainkan melintasi batas negara yang satu dengan lainnya sehingga Perdagangan Orang dapat dikatakan sebagai salah satu dampak negatif dari globalisasi.
            Fenomena perdagangan orang atau trafficking in person di Indonesia merupakan bukan masalah yang sepele melainkan sudah menjadi suatu permasalahan nasional yang harus segera diambil tindak lanjut yang serius di dalam penanganannya. Kejahatan perdagangan orang ini merupakan kejahatan yang kejam dan dengan jelas-jelas melanggar hak asasi manusia yang sering  menjadi korban adalah mereka yang lemah secara ekonomi, sosial, politik, kultural dan biologis.
            Dari banyaknya kasus-kasus perdagangan orang yang terungkap selama ini, sebagian besar praktek perdagangan orang yang sering terjadi adalah  perdagangan perempuan dan anak-anak yang diperniagakan secara paksa, diculik, disekap, dijerat dengan utang, ditipu, dibujuk atau diiming-imingi dan seterusnya, untuk dijadikan pekerja seks komersial atau dieksploitasi.
            Dalam makalah ini akan membahas mengenai definisi, karakteristik dan dampak tindak pidana perdagangan orang serta pencegahan dan penanggulangannya sebagai saran dari penulis.

Definisi perdagangan orang          
            Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia yang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dan pelanggaran harkat dan martabat manusia, dengan sendirinya merupakan pelanggaran hak asasi manusia.[1]
            Sebelum melangkah lebih lanjut, perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia atau trafficking in person itu sendiri. Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49 / 166 mendefinisikan trafficking dengan :                    “ Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national and international borders, largely from developing countries and some countries with economies in transition, with the goal of forcing women and girl children into sexually or economically oppressive and exploitative situations for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities related to trafficking, such as forced domestic labour, false marriages, clandestine employment and false adoption ”. Yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ialah : “ Perdagangan ialah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang di lintas nasional dan perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari Negara-negara yang berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur, dan sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerja gelap, dan adopsi ”.
            Menurut pasal 3 Protokol Palermo (Protokol untuk mencegah, menekan dan menindak perdagangan orang, khususnya kaum perempuan dan anak-anak) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perdagangan orang ialah:
“ perekrutan, pengiriman ke suatau tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan, penipuan, pengaiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi setidaknya, mencakup eksploitasi melalui pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi seksual, melalui kerja paksa atau memberikan layanan paksa, melalui perbudakan, melalui praktik-praktik serupa perbudakan, melalui penghambaan atau melalui pemindahan organ tubuhnya.”
            Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang no. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dijelaskan definisi dari perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Karakteristik dan dampak perdagangan orang
         Pelaku dari kejahatan perdagangan orang disebut Trafficker, para pelaku ini tidak saja melibatkan organisasi kejahatan lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan perdagangan orang. Menurut Roosenberg[2], pelaku perdagangan orang (trafficker) adalah :  
1)   Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah, manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara illegal menyekap eaton pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkan ke dalam industri seks.
2)   Agen atau calo-calo, bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, ternan atau bahkan kepala desa, manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen.
3)   Aparat pemerintah, manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyebrangan melintasi perbatasan secara illegal.
4)   Majikan, apabila menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif seperti tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik dan seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.
5)   Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar pasal 289, 296 dan 506 KHUP dapat ianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di uar kemauannya, menjerat dalam Jibatan hutang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan memperkerjakan anak (di bawah umur 18 tahun).
6)   Calo pernikahan, apabila pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.
7)   Orang tua dan sanak saudara, apabila mereka secara sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan menjerat anaknya dalam libatan utang.
8)   Suami jika ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim isterinya ke tempat lain untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi.

         Perdagangan orang di Indonesia dapat dibagi 2 (dua) dalam hal lokasi yang menjadi tujuan perdagangan orang tersebut yakni tujuan lokal dan tujuan luar negeri. Umumnya lokasi pengiriman untuk dalam negeri atau lokal meliputi kota-kota besar ataupun kota-kota maupun pulau-pulau tujuan wisata. Sedangkan untuk lokasi tujuan yang bersifat luar negeri meliputi negara jiran Malaysia dan negara-negara di wilayah Timur Tengah.
            Menurut Cameron dan Newman (2008 : 16) membagi pemicu dari perdagangan orang menjadi 2 (dua) faktor yakni Faktor Struktur dan Faktor Proximate. Adapun faktor struktur meliputi : a) Ekonomi yakni sebagai dampak dari globalisasi, kemiskinan, perampasan, kecenderungan kemunduran ekonomi, pasar bebas, deregulasi dan gerakan perpindahan manusia antar negara; b) Sosial yakni sebagai dampak dari ketidaksetaraan sosisal, adanya disriminasi jender dan marjinalisasi, status budaya yang tidak menguntungkan serta pelacuran; c) Ideologi yakni sebagai dampak dari rasisme, xenophobia (takut terhadap orang asing), jender dan strereotipe budaya; d) Geopolitik yakni sebagai dampak dari adanya perang, perjuangan sipil, konflik dengan kekerasan dan basis operasi militer.
            Selain itu, faktor lainnya yaitu faktor proximate meliputi : a) Aspek kebijakan dan hukum yakni dengan adanya rezim hukum nasional maupun internasional yang tidak memadai, penegakkan hukum yang buruk, undang-undang dan kebijakan migrasi dan imigrasi, undang-undang dan standar perburuhan yang tidak ditegakkan dengan benar; b) Aturan hukum atau perundang-undangan yakni dengan maraknya korupsi, adanya kesalahan negara dalam kegiatan kriminal, dukungan pejabat negara kepada pengusaha yang terlibat kegiatan kriminal (perdagangan senjata, obat-obat terlarang, seks, dsb); c) Kemitraan yang tidak memadai antara rakyat dan negara yang ditandai dengan lemahnya kampanye pendidikan, kurangnya kesadaran diantara komunitas yang rentan, masyarakat yang semakin apatis (tidak mau tahu keadaan sekitar) dan akuntabilitas yang buruk dari organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga negara.
            Pemerintah Indonesia juga pernah mengeluarkan suatu rencana aksi penghapusan perdagangan perempuan dan anak ( Keppres no. 88 tahun 2002) yang di dalamnya tertulis faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan perdagangan orang yakni : 1) kemiskinan; 2) ketenagakerjaan; 3) pendidikan; 4) migrasi; 5) lemahnya ketahanan keluarga; 6) sosial budaya; 7) media massa.
            Berbeda dengan perdagangan narkoba maupun bentuk tindak kejahatan lainnya, perdagangan orang tergolong bentuk kejahatan yang menggiurkan para pelakunya, sebab korban yang mendapat perlakuan sebagai sebuah “komoditi” dapat digunakan berkali-kali atau di daur ulang artinya si korban tersebut dapat di eksploitasi, di siksa, di perlakukan sesuka hati secara berkali-kali untuk memuaskan atau menguntungkan si pelaku, dalam kasus eksploitasi seksual (dijadikan pelacur) ada korban yang sejak umur 15 tahun sudah di eksploitasi dan setelah dianggap tidak produktif lagi (tua atau mengidap penyakit) dengan mudahnya di campakkan sedangkan dalam kasus pembantu rumah tangga dapat di jual ke banyak majikan dalam jangka waktu bertahun-tahun.
            Dari definisi yang tertuang di dalam Protokol Palermo, tindakan yang disebut sebagai perdagangan orang dapat dibagi menjadi tiga unsur yang saling tergantung antara yang satu dengan yang lainnya dan secara kumulatif harus ada untuk pelanggaran terhadap pasal Protokol tersebut, yakni unsur kegiatan / aksi, dan unsur maksud dilakukannya kegiatan atau aksi.
·      Unsur Kegiatan / aksi meliputi : perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang (manusia).
·      Unsur Sarana menjamin kegiatan / aksi meliputi : ancaman, atau paksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan penipuan, penyiksaan/penganiayaan, pemberian atau penerimaan bayaran, atau tindakan penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk persetujuan atau mengendalikan orang lain.
·      Unsur Maksud kegiatan / aksi meliputi : eksploitasi pada orang dengan cara-cara yang disebutkan dalam pasal 3 Protokol Palermo.
            Agar dapat dimasukkan sebagai tindak pidana perdagangan orang, maka masing-masing unsur diatas harus ada. Kegiatan harus dicapai dengan sebuah sarana, dan keduanya harus bertujuan untuk mencapai maksud eksploitatif. Jika salah satu dari ketiga unsur ini tidak ada, maka syarat-syarat yang diperlukan untuk sebuah tindak pidana trafiking manusia sebagaimana ditentukan oleh pasal 3 Protokol Palermo belum terpenuhi.
            Jika dibandingkan dengan pendapat dari Harkristuti Harkrisnowo mengenai unsur-unsur dari perdagangan orang yang membagi menjadi 3 (tiga) unsur  yakni :[3]
1)    Perbuatan : merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2)    Sarana (cara) untuk mengendalikan korban : ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian / penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
3)    Tujuan : eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.
            Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena kendati korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.
            Savonna dan Stefanizzi di dalam mengukur pengaruh-pengaruh pada jaringan perdagangan orang membagi perdagangan manusia ke dalam 3 (tiga) tahap, yakni tahap perekrutan, tahap pemindahan dan tahap pengeksploitasian. Pada tiap-tiap tahap terdapat 4 (empat) variabel untuk dapat mengidentifikasi dan menanggulangi perdaganganan orang yang terorganisir. Adapun variabel-varibel tersebut ialah pasokan (supply), pelanggan (customer), pengatur (regulator) dan persaingan (competition). Dapat dijelaskan disini untuk bisa melakukan pencegahan maupun penanggulangan di setiap pentahapan maka terdapat variabel-variabel yang mempengaruhi jaringan perdagangan orang.
            Pada tahap perekrutan terdapat variabel pasokan atau supply yang memiliki tingkat kesulitan pemasangan atau penempatan iklan-iklan yang menyesatkan, tingkat kewaspadaan terhadap jumlah penduduk yang memiliki resiko tinggi terjadinya perdagangan manusia dan kemudahan bagi korban untuk berhubungan atau berkomunikasi (keluarga dan perkumpulan-perkumpulan); kemudian pada variabel pelanggan atau customer diketahuinya jalur-jalur jaringan pengangkut dan sejauh mana perekrut mencari lokasi perekrutan korban; kemudian pada variabel pengatur atau regulator yakni kekuatan pada ketentuan hukum yang mengatur pelarangan perdagangan orang dan sejauhmana pengawasan yang dilakukan oleh polisi terhadap perekrut-perekrut yang dicurigai; kemudian pada variabel persaingan atau competition terdapat peluang-peluang lapangan pekerjaan yang resmi pada daerah-daerah sumber pemasok dan juga keberadaan kelompok-kelompok kejahatan lain yang mencari korban-korban yang sama.
            Pada tahap pemindahan terdapat variabel pasokan atau supply yang memiliki status hubungan kepada perekrut, kemudahan untuk mendapatkan metode-metode dan rute-rute transit yang mudah; kemudian pada variabel pelanggan atau customer diketahuinya hubungan-hubungan ke kelompok kejahatan si perekrut di tempat tujuan, sejauhmana kelompok-kelompok tujuan tetap atau berganti; kemudian pada variabel pengatur atau regulator yakni pengetahuan polisi tentang kegiatan prostitusi lokal dan aktivitas buruh ilegal, kekuatan regulasi-regulasi terhadap bisnis-bisnis untuk mengontrol buruh yang dipaksa bekerja dan buruh yang digaji sangat rendah, upaya penegakkan hukum yang dilakukan untuk menemukan orang-orang yang diperdagangkan; kemudian pada variabel persaingan atau competition terdapat usaha prostitusi lokal yang menggunakan wanita bukan korban perdagangan orang, sejauhmana tingkat permintaan seks / buruh ilegal lokal yang dilayani oleh pemasok yang tidak melakukan perdagangan orang.
            Pada tahap Ekploitasi terdapat variabel pasokan atau supply yang memiliki kekuatan hubungan-hubungan dengan kelompok-kelompok pemindahan, kapasitas untuk mengintimidasi korban secara terus menerus untuk tetap mengendalikannya, kemudahan untuk dapat memindahkan korban setelah sampai di tujuan; kemudian pada variabel pelanggan atau customer diketahuinya ukuran permintaan lokal dalam hal prostitusi, ukuran pasar dalam hal mempekerjakan pekerja tanpa dokumen, tingkat kewaspadaan terhadap perdagangan orang di lokasi tujuan; kemudian pada variabel pengatur atau regulator yakni pengetahuan polisi tentang prostitusi lokal dan kegiatan buruh ilegal, kekuatan regulasi-regulasi dalam bisnis untuk mengontrol buruh yang di gaji sangat rendah dan buruh yang dipaksa bekerja; kemudian pada variabel persaingan atau competition terdapat kemudahan yang relatif dan keuntungan dari perdagangan orang daripada penyelundupan barang-barang lainnya, intensitas kompetisi dari kelompok-kelompok kejahatan lain.
            Perdagangan orang akan memberikan 2 (dua) jenis dampak bagi korbannya, yakni dampak fisik dan dampak non fisik. Dampak fisik jelas akan terjadi mengingat korban banyak yang mendapatkan penganiayaan, penyiksaan-penyiksaan, perlakuan yang tidak sewajarnya seperti eksploitasi seksual, pelacuran, pencabulan atau pemerkosaan dan lain-lain yang sudah pasti sangat merugikan bagi korban. Sedangkan dampak non fisik, korban akan terganggu psikologi (kejiwaannya) akibat tindakan-tindakan yang diterimanya selama menjadi korban perdagangan orang yang juga tertanam dalam pikiran dan perasaan si korban yang merasa dirinya telah rusak tidak berguna lagi.

Pencegahan dan Penanggulangan sebagai saran
            Perkembangan perdagangan manusia semakin meluas dan kini terjadi dengan pola yang lebih maju seiring perkembangan jaman dan teknologi yang mana di negara Indonesia dalam hal pengaturan tergolong dalam tindak pidana yang masih baru yang terbukti dengan baru diaturnya tindak pidana perdagangan orang ini pada tahun 2007 dengan Undang-Undang no. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang . Perdagangan manusia juga terjadi tidak hanya dalam lingkup suatu wilayah negara tertentu tetapi telah melingkupi kepentingan lebih dari satu negara sehingga merupakan bagian dari kejahatan transnasional.
            Sedangkan di taraf internasional, perdagangan manusia telah diatur pada protokol Palermo atau sering disebut United Nations Convention Against Transnational Crime (UN CATOC) dan ditambah berbagai konvensi yang juga berkaitan dengan perdagangan manusia dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya.
            Dalam hal pencegahan dan penanggulangan terhadap perdagangan orang perlu adanya penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat lewat penyuluhan dari desa atau daerah, iklan dan pembahasan dengan para siswa agar terhindar dari tindak pidana perdagangan orang maupun bentuk-bentuk lain dari perbudakkan masa kini. Tidak terlepas juga bagi aparatur negara penegak hukum agar diberikan pembekalan terhadap tindak pidana perdagangan orang serta mewaspadai, meningkatkan pengawasan dan penjagaan perbatasan negara guna mencegah terjadinya perdagangan orang.



DAFTAR PUSTAKA


Golose, Petrus, Trafficking in Person, Bahan dan Slide Perkuliahan Pasca Sarjana   Ilmu Kepolisian, Jakarta, STIK-PTIK, 2012.

Harkrisnowo, Harkristuti, Laporan Laporan Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta,        Sentra HAM Universitas Indonesia, 2003.

Irsan, Koesparmono, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Jakarta, STIK-PTIK, 2011.

Kusumawardhani dkk, Human Trafficking : Pola Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan, Jakarta, Laporan Akhir Program           Insentif Peneliti Dan Perekayasa Lipi Tahun 2010.   (http://km.ristek.go.id/assets/files/LIPI/1135%20D%20S/1135.pdf)

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO)


[1] Koesparmono Irsan, Hak Asasi Manusia Dan Demokrasi, Jakarta, STIK-PTIK, 2011.
[2] Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang Di Indonesia Tahun 2004-2005.
[3] Hakristuti Harkrisnowo, Laporan Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, Sentra HAM Universitas Indonesia, 2003.

PERBEDAAN KEJAHATAN TERORISME DENGAN KEJAHATAN TRANSNASIONAL


Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[1]. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi[2]. Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut[3].
Ditinjau secara Etimologis, Terorisme merupakan istilah dalam bahasa Perancis yang diserap dari bahasa Latin “terrere” yang memiliki arti “rasa takut” yang mana istilah tersebut mulai digunakan pasca terjadinya revolusi Perancis yang dimulai sejak Reign of Terror di Perancis yang terjadi antara tahun 1793-1794, yang mana saat itu pemerintahan yang berkuasa memperaktekkan cara-cara teror dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya (Webster’s New World Dictionary, 1991 : 1382).
Sedangkan menurut Petrus Golose definisi dari Terorisme adalah setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara menebar teror secara meluas kepada masyarakat, dengan ancaman atau cara kekerasan, baik yang diorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan, sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) (Golose, 2009 : 6).
Sedangkan Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
  2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
  1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
  2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
  3. Menggunakan kekerasan.
  4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
  5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama. 
Pengertian dan karakteristik kejahatan transnasional berdasarkan teori dari Neil Boister yang mengatakan “Fenomena kejahatan tertentu yang melampui batas-batas internasional, melanggar hukum-hukum nasional dan memiliki dampak ke negara lain. (Boister, 2003 : 954).
Menurut teori dari G.O.W. Mueller “ Kejahatan transnasional adalah istilah yuridis mengenai ilmu tentang kejahatan, yang diciptakan oleh perserikatan bangsa-bangsa bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam hal mengidentifikasikan fenomena pidana tertentu yang melampaui perbatasan internasional, melanggar hukum dari beberapa negara, atau memiliki dampak pada negara lain.
Perserikatan bangsa-bangsa sendiri telah menentukan karakteristik apa saja yang termasuk dalam kategori kejahatan transnasional yaitu a) Dilakukan dalam lebih dari satu negara; b) Dilakukan di suatu negara namun bagian penting dari persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian dilakukan di negara lain; c) Dilakukan dalam suatu negara namun melibatkan suatu kelompok kriminal terorganisir yang terlibat dalam aktifitas kejahatan lebih dari satu negara; atau d) Dilakukan dalam satu negara namun memiliki efek penting dalam negara lainnya.
Dari berbagai definisi yang disampaikan oleh para ahli dan perserikatan bangsa-bangsa mengenai kejahatan terorisme dan kejahatan transnasional diatas, terdapat perbedaan-perbedaan antara kejahatan terorisme dan kejahatan transnasional. Kejahatan terorisme merupakan salah satu jenis kejahatan yang menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang termasuk dalam kategori Kejahatan Transnasional yang mana PBB telah menetapkan ada 18 kategori kejahatan yang termasuk dalam kejahatan Transnasional. Apabila ditinjau dari motif yang digunakan oleh para pelaku pada kedua jenis kejahatan tersebut terdapat juga perbedaan yang sangat jelas antara lain dijelaskan diatas bahwa kejahatan terorisme memiliki motif antara lain nasional – separatis, religius, ideologi (kepercayaan politik tertentu), isu utama (single issue), negara sponsor, penderita sakit jiwa. Sedangkan motif dalam kejahatan transnasional sangat didasari dari masing-masing kejahatan yang terkategorikan sebagai kejahatan transnasional, namun disini dapat dijelaskan bahwa kejahatan transnasional merupakan kejahatan yang memiliki ciri atau karakteristik a) Dilakukan dalam lebih dari satu negara; b) Dilakukan di suatu negara namun bagian penting dari persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian dilakukan di negara lain; c) Dilakukan dalam suatu negara namun melibatkan suatu kelompok kriminal terorganisir yang terlibat dalam aktifitas kejahatan lebih dari satu negara; atau d) Dilakukan dalam satu negara namun memiliki efek penting dalam negara lainnya. Sedangkan kejahatan terorisme tidak harus memenuhi karakteristik diatas karena kejahatan terorisme dapat saja dipersiapkan, direncanakan, diarahkan dan dikendalikan oleh perorangan maupun kelompok didalam suatu negara itu sendiri tanpa melibatkan negara lain walaupun banyak aksi terorisme yang termasuk dalam karakteristik kejahatan transnasional.
Kemudian yang dapat membedakan antara kejahatan terorisme dengan kejahatan transnasional lainnya yakni ditinjau dari target atau sasarannya yang mana kejahatan terorisme, aksinya dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang sedangkan kejahatan transnasional yang lainnya masing-masing memiliki target dan sasaran tersendiri dalam menjalankan aksinya.







[1] Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001, h. 35.

[2] Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002), h. 35.

[3] Kunarto, Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999), h. 19.