Sunday, February 19, 2012

PERBEDAAN KEJAHATAN TERORISME DENGAN KEJAHATAN TRANSNASIONAL


Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[1]. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi[2]. Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut[3].
Ditinjau secara Etimologis, Terorisme merupakan istilah dalam bahasa Perancis yang diserap dari bahasa Latin “terrere” yang memiliki arti “rasa takut” yang mana istilah tersebut mulai digunakan pasca terjadinya revolusi Perancis yang dimulai sejak Reign of Terror di Perancis yang terjadi antara tahun 1793-1794, yang mana saat itu pemerintahan yang berkuasa memperaktekkan cara-cara teror dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya (Webster’s New World Dictionary, 1991 : 1382).
Sedangkan menurut Petrus Golose definisi dari Terorisme adalah setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara menebar teror secara meluas kepada masyarakat, dengan ancaman atau cara kekerasan, baik yang diorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan, sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) (Golose, 2009 : 6).
Sedangkan Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
  2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
  1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
  2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
  3. Menggunakan kekerasan.
  4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
  5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama. 
Pengertian dan karakteristik kejahatan transnasional berdasarkan teori dari Neil Boister yang mengatakan “Fenomena kejahatan tertentu yang melampui batas-batas internasional, melanggar hukum-hukum nasional dan memiliki dampak ke negara lain. (Boister, 2003 : 954).
Menurut teori dari G.O.W. Mueller “ Kejahatan transnasional adalah istilah yuridis mengenai ilmu tentang kejahatan, yang diciptakan oleh perserikatan bangsa-bangsa bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam hal mengidentifikasikan fenomena pidana tertentu yang melampaui perbatasan internasional, melanggar hukum dari beberapa negara, atau memiliki dampak pada negara lain.
Perserikatan bangsa-bangsa sendiri telah menentukan karakteristik apa saja yang termasuk dalam kategori kejahatan transnasional yaitu a) Dilakukan dalam lebih dari satu negara; b) Dilakukan di suatu negara namun bagian penting dari persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian dilakukan di negara lain; c) Dilakukan dalam suatu negara namun melibatkan suatu kelompok kriminal terorganisir yang terlibat dalam aktifitas kejahatan lebih dari satu negara; atau d) Dilakukan dalam satu negara namun memiliki efek penting dalam negara lainnya.
Dari berbagai definisi yang disampaikan oleh para ahli dan perserikatan bangsa-bangsa mengenai kejahatan terorisme dan kejahatan transnasional diatas, terdapat perbedaan-perbedaan antara kejahatan terorisme dan kejahatan transnasional. Kejahatan terorisme merupakan salah satu jenis kejahatan yang menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang termasuk dalam kategori Kejahatan Transnasional yang mana PBB telah menetapkan ada 18 kategori kejahatan yang termasuk dalam kejahatan Transnasional. Apabila ditinjau dari motif yang digunakan oleh para pelaku pada kedua jenis kejahatan tersebut terdapat juga perbedaan yang sangat jelas antara lain dijelaskan diatas bahwa kejahatan terorisme memiliki motif antara lain nasional – separatis, religius, ideologi (kepercayaan politik tertentu), isu utama (single issue), negara sponsor, penderita sakit jiwa. Sedangkan motif dalam kejahatan transnasional sangat didasari dari masing-masing kejahatan yang terkategorikan sebagai kejahatan transnasional, namun disini dapat dijelaskan bahwa kejahatan transnasional merupakan kejahatan yang memiliki ciri atau karakteristik a) Dilakukan dalam lebih dari satu negara; b) Dilakukan di suatu negara namun bagian penting dari persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian dilakukan di negara lain; c) Dilakukan dalam suatu negara namun melibatkan suatu kelompok kriminal terorganisir yang terlibat dalam aktifitas kejahatan lebih dari satu negara; atau d) Dilakukan dalam satu negara namun memiliki efek penting dalam negara lainnya. Sedangkan kejahatan terorisme tidak harus memenuhi karakteristik diatas karena kejahatan terorisme dapat saja dipersiapkan, direncanakan, diarahkan dan dikendalikan oleh perorangan maupun kelompok didalam suatu negara itu sendiri tanpa melibatkan negara lain walaupun banyak aksi terorisme yang termasuk dalam karakteristik kejahatan transnasional.
Kemudian yang dapat membedakan antara kejahatan terorisme dengan kejahatan transnasional lainnya yakni ditinjau dari target atau sasarannya yang mana kejahatan terorisme, aksinya dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang sedangkan kejahatan transnasional yang lainnya masing-masing memiliki target dan sasaran tersendiri dalam menjalankan aksinya.







[1] Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001, h. 35.

[2] Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002), h. 35.

[3] Kunarto, Intelijen Pengertian dan Pemahamannya, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1999), h. 19.

2 comments: