BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem hukum harus ditegakkan oleh aparatur penegak hukum
yang bersih, berani serta tegas. Pemberdayaan aparatur hukum tidak dapat
diwujudkan manakala aparat penegak hukum tidak bersih atau korup. Aparat
penegak hukum tidak bersih atau korup dapat mengakibatkan krisis kepercayaan
para warga terhadap hukum merupakan cerminan budaya hukum masyarakat.[1]
Indonesia adalah negara yang berdasarkankan atas hukum
dan tidak didasarkan atas kekuasaan. Hukum harus dijadikan panglima dalam
menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping kepastian dan keadilan hukum juga berfungsi
untuk kesejahteraan hidup manusia. Sehingga boleh dikatakan bahwa berhukum
adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan
hidup.[2]
Kondisi umum penegakan hukum di Indonesia sampai dengan
saat ini belum membaik, bahkan ada kecenderungan mengalami penurunan baik
secara kualitas maupun kuantitas. Fenomena yang terjadi adalah adanya
diskriminasi dalam penegakan hukum. Perkara-perkara yang melibatkan masyarakat
marginal proses penyelesaian perkaranya begitu cepat, sementara perkara-perkara
yang melibatkan masyarakat elit menjadi kabur dan pelakunya kebanyakan bebas.
Hal ini terlihat secara jelas dalam, perkara-perkara korupsi yang
dicampuradukan dengan masalah politik (dipolitisasi) yang mengakibatkan aparat
penegak hukum menjadi takut untuk menuntaskannya.
Menurut Soerjono Soekanto, masalah pokok penegakkan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut, yang mana faktor-faktor
yang dimaksud adalah :[3]
1.
Faktor hukumnya sendiri (misalnya undang-undang)
2.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan
hukum
4.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan
5.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada aksara manusia didalam pergaulan hidup.
Relevan dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan
Soerjono Soekanto tersebut, Romli Atmasasmita mengatakan faktor-faktor yang
menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental
aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi
juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.[4]
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia
hukum adalah karena masih
terjerembab kepada paradigma tunggal
positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang
bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada
konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa
hukumnya.[5] Sehingga
hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai
sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak
dimaknai sebagai sebuah hukum.
Pada awalnya hukum positif dipandang bisa memberikan
harapan untuk mengatur berbagai persoalan pada masyarakat modern sehingga
(diprediksi) bisa mencapai ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Namun
demikian, pada kenyataanya dan dalam perkembangannya, sifat hukum positif yang
netral dan liberal, justru menjadikan hukum modern menjadi terasing dang
realitas-realitas yang terus berkembang semakin pesat.[6]
Reformasi yang telah bergulir di Indonesia telah membawa
pola kehidupan bernegara yang lebih demokrasi, namun ironisnya reformasi yang
bertujuan memberantas korupsi melalui penegakkan supremasi hukum malah semakin
merajalela, sementara supremasi hukum bagaikan menegakkan benang yang basah dan
hukum semakin carut-marut tak jelas arahnya. Prof. Mahfud MD., secara lantang
berteriak bahwa :
· …pengacara banyak
yang rusak karena dengan kegenitannya mereka bukan tampil sebagai pengacara
untuk idealisme, melainkan untuk mencari kemenangan dengan berbagai cara demi
uang popularitas…
· Hakim pun setali
tiga uang, kinerjanya semakin buruk, suap-menyuap dan pemerasan dalam menangani
perkara semakin marak. Bahkan ada kasus, hakim menerima suap dan memeras justru
ketika kita sedang meneriakkan banyaknya hakim yang menjualbelikan kasus…
Celakanya, putusan pengadilan betapapun salah dan sesatnya tetaplah mengikat
dan harus dilaksanakan jika sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.[7]
Dari uraian tersebut diatas, penulisan makalah ini
bermaksud mengangkat permasalahan mengenai :
1.
Bagaimana mengimplementasikan pendekatan atau konsep
keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan tindak pidana ?
2.
Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh penyidik
dilapangan dalam menerapkan keadilan restoratif (restorative justice) dalam
penanganan tindak pidana ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengimplementasikan pendekatan atau
konsep keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan tindak
pidana.
Menurut Black’s Law Dictionary, penegakan hukum (law
enforcement), diartikan sebagai “the act of putting something such as a
law into effect; the execution of a law; the carrying out of a mandate or
command”.[8]
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk
menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada
di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum
(legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan,
terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan
perundang-undangan (law making process).[9]
Selain itu dalam Black’s Law Dictionary, dengan
editor Bryan A. Garner menerjemahkan penegakan hukum sebagai pertama; The
detection and punishment of violations of the law. The term is not limited to
the enforcement of criminal laws, for example, the Freedom of Information Act
contains an exemption for law-enforcement purposes and furnished in confidence.
That exemption is valid for the enforcement of a variety of noncriminal laws
(such as national-security laws) as well as criminal laws. Kedua; Criminal
justice. Ketiga; Police officers and other members of the executive branch of
government charged with carrying out and enforcing the criminal law.[10]
Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law
enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan
hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat menegakkan
hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan hukum untuk
digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Menegakkan hukum tidak
persis sama dengan menggunakan hukum.[11]
Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga
penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan
politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya.
Penegakan hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum
sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di
lingkungan bangsa-bangsa yang beradab (seperti the Basic Principles of
Independence of Judiciary), agar penegak hukum dapat menghindarkan diri
dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks
tersebut.[12]
Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran
pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan
masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas
memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang
hidup (the living law). Roscoe Pound (1870-1964) merupakan salah
satu eksponen dari aliran ini. Dalam bukunya An introduction to the philosophy
of law, Pound menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak
masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian yang paling
rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam kaitannya dengan
penerapan hukum Pound menjelaskan tiga langkah yang harus dilakukan :[13]
1. menemukan hukum
2. menafsirkan hukum
3. menerakan hukum
Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan
aspek-aspek yang ada ditengah-tengah masyarakat untuk diangkat dan ditearpkan
kedalam hukum. Bagi aliran Sociological Jurisprdence titik pusat
perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu
hukum, tetapi terletak pada masyarakat itu sendiri. Dalam proses mengembangkan
hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat bersangkutan. Lebih lanjut Roscoe Pound berpendapat hukum adalah
alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering).
Untuk dapat memenuhi peranannya tersebut Pound mengedepankan rasa keadilan yang
ada di masyarakat. Pandangan aliran Sociological Jurisprudence, dapat
dirumuskan sebagai berikut “ …. Hukum itu dianggap sebagai satu lembaga
sosial untuk memuaskan kebutuhan masyarkat, tuntutan, permintaan dan
pengharapan yang terlibat dalam kehidupan masyarakat….”[14]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ekspektasi yang hidup dimasyarakat
termasuk didalamnya nilai-nilai keadilan yang ada harus dikedepankan demi terwujudnya
tatanan hukum.
Konsepsi operasional tentang
bekerjanya hukum dalam masyarakat dengan didasarkan pada dua konsep yang
berbeda yaitu konsep tentang ramalan-ramalan mengenai akibat-akibat (prediction
of consequences) yang dikemukakan oleh Lundberg dan Lansing tahun 1973 dan
konsep Hans Kelsen tentang aspek rangkap dari suatu peraturan hukum.[15]
Berdasarkan konsep Lundberg dan Lansing, serta konsep Hans Kelsen tersebut
Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu teori bekerjanya
hukum di dalam masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan
perundang-undangan sangat tergantung banyak faktor. Secara garis besar
bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor utama.
Faktor-faktor tersebut dapat:
a. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan
perundang-undangannya).
b. Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah).
c. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis (menyangkut pertimbangan
ekonomis serta kultur hukum pelaku bisnis).[16]
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan
adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan
otoriter. Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya,
periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil
sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat
dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat
mendapat tekanan atau pembatasan-pembatasan.[17]
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah
bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam
realitanya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim
Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu
dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa
keadilan masyarakat tidak jelas.[18]
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak
hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila
seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula,
keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam
sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya.
Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka
tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.[19]
Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu
menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan
adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum
tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai
konsep keadilan yang telah disepakati bersama.[20]
Dilihat dari kepentingan internal sistem hukum itu
sendiri, dalil integritas itu memang dapat dipahami. Tapi hukum bukanlah tujuan
pada dirinya sendiri. Hukum adalah alat bagi manusia. Ia merupakan instrumen
untuk melayani kebutuhan manusia. Dalam makna ini, isolasi sistem hukum dari
berbagai institusi sosial di sekitarnya, justru berdampak buruk dari sisi
kebutuhan manusia itu sendiri. Hukum. Dengan mudah berubah menjadi institusi
yang melayani diri sendiri, bukan lagi melayani manusia. Hukum tidak lagi bisa
diandalkan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan
substantif. Akibatnya jelas, legitimasi sosial dari hukum itu melorot tajam.[21]
Satjipto Rahardjo (1993) mengatakan bahwa dalam
pertukaran (interchange-interaction) dengan masyarakat atau lingkungannya,
ternyata polisi memperlihatkan suatu karakteristik yang menonjol dibandingkan dengan
yang lain (hakim, jaksa dan pengacara). Polisi adalah hukum yang hidup atau
ujung tombak dalam penegakkan hukum pidana. Dalam melakukan penangkapan dan
penahanan misalnya, polisi menghadapi atau mempunyai permasalahan sendiri. Pada
saat memutuskan untuk melakukan penangkapan dan penahanan, polisi sudah
menjalankan pekerjaan yang multifungsi, yaitu tidak hanya sebagai polisi tetapi
sebagai jaksa dan hakim sekaligus.[22]
Penyidikan tersebut
sangat rawan dan potensial untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) atau penyimpangan polisi (police deviance) baik dalam bentuk police
corruption maupun police brutallity. Internal Polri sendiri telah melakukan
otokritik terhadap hal tersebut yang mengungkapkan praktik penyimpangan yang
dilakukan oleh pejabat atau petugas Polri, terutama dalam pelaksanaan
kewenangan penyidikan.[23]
Praktik penyidikan yang
berlangsung selama ini menunjukkan bahwa aliran positivisme hukum atau paham
legisme dan berdasarkan asas kepastian hukum merupakan aliran filsafat hukum
yang menjadi arus utama (mainstream) dalam pelaksanaan kewenangan penyidikian
yang dilakukan oleh penyidik Polri, dan metode penafsiran atau interpretasi
yang dominan adalah penafsiran otentik atau gramatika. Hal ini berarti model
penalaran hukum yang utama dalam pelaksanaan kewenangan penyidikan oleh
penyidik Polri adalah model penalaran positivisme hukum.[24]
Restorative Justice
sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar
pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa
menjadi restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak
dikodifikasikan dalam hukum nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik
yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik.
Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem
peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan
konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak
dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku
yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.[25]
Penyidikan perkara
pidana berdasarkan aliran positivisme hukum tersebut secara ketat dan kaku
(vague and unresponsive) dirasakan telah menimbulkan ketidakadilan dan bertolak
belakang dengan tuntutan keadilan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pada
beberapa perkara yang mendapat perhatian publik atau pemberitaan secara meluas,
telah menimbulkan kritik dan protes terhadap Polri, misalnya perkara Rasjo
seorang kakek berusia 77 tahun yang mencuri sabun mandi, Prita Mulyasari,
tindak pidana perjudian yang dilakukan 10 orang anak di Bandara Soekarno-Hatta,
pencurian tiga biji kakao oleh Mbok Minah, pencurian dua kilogram kapuk,
pencurian dua buah semangka, pencurian sepasang sandal, pencurian pulsa oleh
Deli, Endi Rohendi, seorang buruh tani di Sumedang, Jawa Barat, terancam
dijerat hukuman lima tahun penjara karena mencuri sehelai celana dalam milik
seorang wanita, dan lain-lain. Penyidikan pada berbagai kasus tersebut
menunjukkan bahwa :[26]
1.
Perbuatan para tersangka memang dipandang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana namun penyidik telah mengesampingkan rasa keadilan
masyarakat (social justice) yang berkembang secara meluas.
2.
Penyidik tidak melakukan penafsiran secara contra legem
dengan mengesampingkan ketentuan hukum yang diterapkan, akan tetapi secara kaku
atau ketat menafsirkan hukum secara rules and logic sesuai dengan kepastian
hukum.
3.
Penafsiran hukum penyidik masih berdasarkan rules and
logic, mengesampingkan realitas sosial yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat yang mengamanatkan penafsiran hukum berdasarkan analisis nonhukum
(penafsiran sosiologis atau teleologis)
4.
Dalam penyidikan tindak pidana anak, penyidik tidak
memperhatikan dan mengimplementasikan Telegram Kapolri No. Pol.:
TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan (jukrah) Penanganan Anak yang
Berhadapan dengan Hukum sebgai peraturan Kepolisian yang mengamanatkan penyidik
berdasarkan kewenangan diskresinya seyogyanya melakukan tindakan diversi dalam
bentuk pengembalian kepada orang tua si anak, baik tanpa maupun disertai peringatan
informal ataupun melaksanakan mediasi seperti menjadi perantara guna
mengkomunikasikan atau memfasilitasi pemenuhan kebutuhan korban dan
perlindungan terhadp anak sebagai pelaku dalam bingkai tujuan menyelesaikan
persoalan yang timbul akibat perbuatan yang dilakukan pelaku.
5.
Kuatnya aliran positivisme hukum sebagai arus utama
(mainstream) di lingkungan penyidik Polri, telah mengesampingkan ketentuan
hukum yang terdapat dalam pasal 16 ayat (1) huruf l UU No. 2 tahun 2002 tentang
Polri yang menentukan bahwa aparat atau petugas Kepolisian berdasarkan
kewenangan diskresi yang dimilikinya dapat mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang bertanggungjawab.
6.
Penyidikan yang mengedepankan paham legalistik atau
formal-prosedural dan birokratis tersebut berkaitan dengan proses penyidikan
yang dilakukan berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Proses
Penyidikan dalam bentuk Buku Petunjuk Pelaksanaan, Buku Petunjuk Lapangan dan
Buku Petunjuk Administrasi sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Kapolri
No. Pol.: Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses
Penyidikan Tindak Pidana yang menganut aliran positivisme hukum, karena
peraturan Kepolisian ini memang didasarkan pada KUHAP yang menganut asas
legalitas (Pasal 3 KUHAP)
7.
Penyidikan yang dilakukan sebagaimana halnya dengan
kegiatan penegakkan hukum lainnya yang sejatinya adalah dalam rangka pemberian
keadilan (dispencing of justice) justru memunculkan kesenjangan atau
diskrepansi antara penegakkan hukum yang dilakukan dengan tuntutan keadilan
masyarakat, karena mengesampinkan hukum yang hidup di masyarakat (the living
law dari Eugen Erlich)
Wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi
adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di
Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan
masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme. Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini
terlihat problematik adalah, mengingat terdapat dan dilakukannya satu proses
yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang
mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif
penyelesaian atas masalahnya.[27]
Berdasarkan hasil penelitian bidang PPTIK STIK-PTIK(2010),
dalam praktik penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri selama ini, selain
berdasarkan aliran positivisme hukum, pengambilan keputusan dalam proses
penyidikan berdasarkan model penalaran hukum sociological jurisprudence sudah
biasa dilakukan oleh penyidik Polri. Hal ini dilakukan oleh penyidik Polri
dengan mengimplementasikan pendekatan atau konsep keadilan restoratif
(restorative justice) dalam penanganan tindak pidana. Meskipun pada tataran
formulatif, Polri secara tegas hanya mengatur implementasi konsep keadilan
restoratif dalam penanganan tindak pidana anak sebagaimana diatur dalam
Telegram Kapolri No.Pol.: TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan (Jukrah)
Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, akan tetapi dalam praktik
penyidikan yang berlangsung selama ini, konsep keadilan restoratif juga
diterapkan dalam penyidikan tindak pidana lain.[28]
Praktik penyidikan tindak pidana oleh penyidik Polri
dengan mengimplementasikan konsep keadilan restoratif, antara lain dalam
perkara atau kasus hak atas kekayaan intelektual (HAKI) seperti merek dan hak
cipta yang wujud penyelesaiannya melalui permufakatan antara kedua belah pihak
yang diakhiri dengan pencabutan Laporan Polisi. Selain itu ada juga tindak
pidana penganiayaan ringan, pencurian ringan, penipuan, pemalsuan, penggelapan,
perbuatan cabul, perusakan barang, perzinahan dan kekerasan dalam rumah tangga
(kdrt) serta kecelakaan lalu lintas.
B. Kendala-kendala yang dialami oleh
penyidik di lapangan dalam mengimplementasikan keadilan restoratif (restorative
justice) dalam penanganan tindak pidana.
Didalam menerapkan atau
mengimplementasikan konsep keadilan restoratif, penyidik Polri acapkali
mengalami keragu-raguan dalam mengambil keputusannya pada proses penyidikan,
terutama apabila pelaku/keluarganya dan korban/keluarganya maupun masyarakat
ternyata menginginkan perdamaian dalam penyelesaian kasus atau perkaranya, hal
ini disebabkan tidak adanya aturan ataupun payung hukum maupun
prosedur/mekanisme formal untuk mengakomodir hal tersebut sehingga situasi ini
menjadi hal yang dilematis bagi penyidik Polri dilapangan yang berdasarkan pada
faktor-faktor :
1.
Kekhawatiran atau ketakutan penyidik akan dipersalahkan
oleh pimpinan atau atasan penyidik dan dipermasalahkan pada pengawasan dan
pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal Polri yang menggunakan
parameter formal prosedural.
2.
Tidak adanya payung hukum yang mengatur dan menjadi
landasan legitimasi dalam mengambil keputusan pada prose penyidikan apakah
berdasarkan konsep keadilan restoratif atau konsep/pendekatan lain yang
bersesuaian dengan aliran sociological jurisprudence.
3.
Selain tidak adanya payung hukum diatas, kendala dalam
mengimplementasikan konsep keadilan restoratif atau konsep/pendekatan lain yang
berkesesuaian dengan aliran sociological jurisprudence adalah tidak adanya
prosedur atau mekanisme yang formal-prosedural untuk mengimplementasikannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dan pembahasan-pembahasan di
atas maka dalam penulisan makalah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Pengimplementasian pendekatan atau konsep keadilan
restoratif (restorative justice) oleh penyidik sudah biasa dilakukan terhadap
penyidikan tindak pidana lain, meskipun Polri secara tegas hanya mengatur dalam
penanganan tindak pidana anak sebagaimana tercantum dalam Telegram Kapolri
No.Pol.: TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan Penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum.
2.
Pengimplementasian konsep keadilan restoratif
(restorative justice) pada tindak pidana selain penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum masih terkendala dengan belum adanya dasar hukum maupun
prosedur/mekanisme formal untuk penerapannya padahal disini lain
korban/keluarganya dan pelaku/keluarganya serta masyarakat terkadang
menginginkan penyelesaian perkara diluar jalur hukum positif yaitu dengan
perdamaian.
3.
Masih seringnya di internal Polri sendiri dalam hal
restorative justice di-salahkaprah-kan sebagai penangguhan perkara (penghentian
kasus) atau tidak melanjutkan kasus (mem-peti-es-kan kasus), padahal keduanya
tidak benar. Salah kaprah mengenai masalah ini karena belum adanya dasar hukum
yang jelas untuk dijadikan pegangan bagi penyidik Polri dalam menerapkan
restorative justice ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianus Meliala, Penyelesaian
Sengketa Alternatif: Posisi Dan Potensinya
Di Indonesia, Jakarta: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia, 2008.
Andi Ayyub Saleh, Tamasya
Perenungan Hukum dalam “Law in Book and
Law in Action” Menuju Penemuan
Hukum (Rechtsvinding), Jakarta:
Yarsif Watampone, 2006.
Bidang PPITK-STIK PTIK, Implementasi Pendekatan Keadilan
Restoratif
(Restorative
Justice) dalam Penanganan Tindak Pidana,Laporan Penelitian, Jakarta: STIK-PTIK,
2010.
Black Henry Campbell, Black’s
Law Dictionary, 6th Edition, St. Paul Minesota:
West Publishing, 1999.
Bryan A. Garner (Editor In Chief), Black’s Law Dictionary, 7th Edition, St. Paul
Minesota: West Publishing, 1999.
DPM. Sitompul & Abdussalam, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu
Agung, 2007.
Farouk Muhammad, Reformasi Sistem Peradilan Pidana: Aspek Kepolisian,
Artikel disampaikan pada Kuliah Umum tentang Reformasi
Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia, Bandung: Fakultas Hukum
Universitas
Pasundan, 16 Februari 2008.
Moh. Mahfud MD., Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2007.
Muhammad Mustofa, MA: Disampaikan dalam Lokakarya Menghukum Tanpa
Memenjarakan:
Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di Indonesia,
di Depok, Kamis (26/2/2004). Diskusi yang diselenggarakan
Departemen
Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan
Australia Agency for
International Development.
Muladi, Hak Asasi
Manusia-Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan
Kedua, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
2002.
Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition:
Toward
Tanggapanive Law, London: Harper and Row Publisher, 1978.
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar,
Yogyakarta,
2009.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Romli Atmasasmita, Reformasi
Hukum - Hak Asasi Manusia & Penegakan
Hukum, Bandung: Mandar
Maju, 2001.
Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif
Sosial dalam Pemahaman Masalah-
Masalah Hukum, Semarang: CV
Agung, 1989.
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bharatara Niaga Media,
1996.
Satjipto Rahardjo, Studi Kepolisian Indonesia: Metodologi dan Substansi,
Artikel disampaikan pada Simposium Nasional Polisi
Indonesia,
Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 19-20 Juli 1993.
Satjipto Rahardjo (Khudzaifah Dimyati, ed), Ilmu Hukum: Pencarian
Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta: Muhammadiyah
University
Press, 2004.
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi
Lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Satjipto Rahardjo, Membedah
Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2006.
Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2010.
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia
dalam Transisi Politik, Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas
Indonesia, 2008.
Suteki, Rekonstruksi Politik
Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas
Sumber Daya Air Berbasis Nilai
Keadilan Sosial (Studi Privatisasi
Pengelolaan Sumber Daya Air) Disertasi pada
Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008.
Zulkarnein Koto, Penalaran Hukum Penyidik Polri: Antara Kepastian Hukum
dan Keadilan (Gagasan Mewujudkan Keadilan Pancasila),
Jurnal Studi
Kepolisian
STIK – PTIK, Jakarta, Edisi 075, Juni-November 2011
[1] Prof. Drs. DPM. Sitompul, S.H., M.H. & Prof. Dr.
H.R. Abdussalam, SIK., S.H., M.H., Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu
Agung, 2007, h. 7.
[2] Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum,
Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 hlm.1
[3] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008, h. 8.
[4] Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum - Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Bandung:
Mandar Maju, 2001, h. 55.
[5] Sabian Utsman, Op. Cit., h. 219.
[6] Satjipto Rahardjo (Khudzaifah Dimyati, ed), Ilmu Hukum:
Pencarian Pembebasan dan Pencerahan, Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2004, h. 35.
[7] Moh. Mahfud MD., Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2007, h. 76-77.
[8] Black Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 6th Edition, St. Paul
Minesota: West Publishing, 1999, h. 578.
[9] Muladi, Hak
Asasi Manusia-Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Kedua,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002, h. 69.
[10] Bryan A. Garner (Editor In Chief), Black’s Law Dictionary, 7th Edition, St. Paul Minesota: West Publishing,
1999, h. 891.
[11] Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2006, h. 169.
[12] Muladi, Op. Cit. h. 70.
[13] Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta:
Bharatara Niaga Media, 1996, h. 52.
[14] Ibid., h. 51.
[15] Ronny Hanitijo Soemitro, Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum,
Semarang: CV Agung, 1989, h. 23.
[16] Suteki, Rekonstruksi
Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai
Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air)
Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008,
h. 34.
[18] Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi
Politik, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas
Indonesia, 2008, hlm. 340.
[19] Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju
Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Jakarta: Yarsif Watampone, 2006, hlm.
70.
[21] Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society
in Transition: Toward Tanggapanive Law, London: Harper and Row Publisher, 1978
[22] Satjipto Rahardjo, Studi Kepolisian Indonesia:
Metodologi dan Substansi, Artikel disampaikan pada Simposium Nasional Polisi
Indonesia, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 19-20 Juli 1993.
[23] Farouk Muhammad, Reformasi Sistem Peradilan Pidana:
Aspek Kepolisian, Artikel disampaikan pada Kuliah Umum tentang Reformasi Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Pasundan, 16
Februari 2008.
[24] Zulkarnein Koto, Penalaran Hukum Penyidik Polri: Antara
Kepastian Hukum dan Keadilan (Gagasan Mewujudkan Keadilan Pancasila), Jurnal
Studi Kepolisian STIK – PTIK, Jakarta, Edisi 075, Juni-November 2011.
[25] Prof. Dr. Muhammad Mustofa, MA: Disampaikan dalam
Lokakarya Menghukum Tanpa
Memenjarakan: Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di
Indonesia, di Depok, Kamis (26/2/2004). Diskusi yang diselenggarakan
Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia
Agency for International Development.
[26] Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum Progresif, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2010.
[27] Prof. Adrianus Meliala, Ph.D, Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi Dan Potensinya Di Indonesia,
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008, h.
1.
[28] Bidang PPITK-STIK PTIK, Implementasi Pendekatan
Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penanganan Tindak Pidana,
Laporan Penelitian, Jakarta: STIK-PTIK, 2010.
No comments:
Post a Comment