Sunday, February 19, 2012

ELEMEN – ELEMEN YANG TETAP DALAM PERKEMBANGAN KEJAHATAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.         Latar Belakang
            Secara etimologis kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan, dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu / pengetahuan tentang kejahatan. Istilah kriminologi untuk pertama kali (1879) digunakan oleh P. Topinard, ahli antropologi Prancis, sementara istilah yang banyak dipakai sebelumnya adalah antropologi kriminal.[1]
            Sedangkan menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk di dalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.[2]
            Meskipun studi kejahatan secara ilmiah (kriminologi) dianggap baru lahir pada abad 19, yaitu ditandai dengan statistik kriminal di Prancis pada tahun 1826 (a.l. Bonger, Grunhut) atau dengan diterbitkannya buku L’Uomo Delinquente oleh Cesare Lombrosso pada tahun 1876, namun studi tentang kejahatan, khususnya usaha untuk menjelaskan sebab-sebab kejahatan sudah mulai jauh sebelumnya, misalnya oleh para  filosof Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles.[3]
            Thomas More penulis buku Utopia (1516) menceritakan bahwa hukuman berat yang dijatuhkan kepada penjahat pada waktu itu tidak berdampak banyak untuk menghapuskan kejahatan yang terjadi. Hukum pidana sudah ada dengan sanksi yang begitu hebat sudah ada tetapi kejahatan mengapa tetap terjadi? Adalah suatu kenyataan bahwa hukum pidana tidaklah efektif, sanksi yang berat bukan juga faktor utama untuk memacu efektivitas dari hukum pidana, untuk itulah harus di cari sebab musabab kejahatan dan menghapuskannya, pemikiran pendekatan humanistik dalam penggunaan sanki pidana tidak hanya berarti bahwa pidana  yang dikenakan kepada pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.[4]
Sebab-sebab terjadinya kejahatan telah menjadi subyek yang cukup banyak mengundang spekulasi, teoritisasi, penelitian dan perdebatan di antara para ahli maupun masyarakat umum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka muncul berbagai teori yang berusaha memberikan penjelasan terhadap persoalan tersebut, walaupun harus diakui teori-teori yang dikemukakan tersebut dipengaruhi oleh agama, filsafat, politik, ekonomi, sosial dan kecenderungan ilmiah pada waktu itu.
Paul Mudigdo Mulyono tidak sependapat dengan definisi kriminologi yang diberikan oleh Sutherland karena menurutnya definisi itu seakan-akan tidak memberikan gambaran bahwa pelaku kejahatan itupun mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat tersebut. Karenanya Paul Mudigdo Mulyono memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia.[5]
            Michael dan Adler berpendapat  bahwa kriminologi adalah keseluruan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para masyarakat.
Wolfgang, Savitz dan Johnston dalam The Sociology of Crime and Delinquency memberikan definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.
Dari perkembangan kriminologi diatas tadi ada hal-hal atau elemen-elemen dari kejahatan yang tetap, hal ini lah yang akan diangkat dalam pembahasan tulisan ini.

BAB II
PEMBAHASAN

Para pakar mengatakan bahwa kejahatan dapat didefinisikan secara yuridis dan sosiologis, dimana secara yuridis yakni kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang bertentangan dengan hukum, dapat dipidana, yang diatur dalam hukum pidana. Dan kejahatan secara sosiologis adalah tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat, kesimpulannya bahwa kejahatan adalah sebuah perbuatan yang anti sosial, merugikan dan menjengkelkan masyarakat atau anggota masyarakat. 
Perkembangan kejahatan dewasa ini tidak lagi hanya sebatas teritorial suatu negara melainkan sudah melampaui batas teritorial dan bahkan sudah menimbulkan dampak terhadap dua negara atau lebih serta sudah memiliki lingkup dan jaringan internasional. Perkembangan kejahatan internasional sudah menjadi perhatian masyarakat internasional terutama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam hal ini dirasakan semakin penting perlunya kerjasama internasional secara efektif berkenaan dengan masalah-masalah kejahatan nasional dan transnasional.
Sejalan dengan perkembangan kejahatan yang begitu pesat di atas, terdapat elemen-elemen yang tetap di dalam perkembangan kejahatan tersebut. Elemen-elemen tersebut antara lain adalah :

1.    Elemen Proses Kriminalisasi
Yang dimaksud disini adalah untuk dijadikannya suatu tindakan atau perbuatan sebagai kejahatan akan tetap selalu membutuhkan proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang agar dijadikannya suatu perbuatan tertentu sebagai kejahatan / tindak pidana. Doktrin nullum crimen sine lege yang artinya tidak ada kejahatan apabila undang-undang tidak menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang.[6]
Dasar pemikiran interkasionis ini bersumber pada “symbolic interactionism” yang dikemukakan oleh Mead (1863-1931) yang menekankan bahwa “sumber” perilaku manusia, tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi-kondisi sosial, akan tetapi juga pernanan individu dalam menangani, menafsirkan, dan berinterkasi dengan kondisi-kondisi-kondisi sosial akan tetapi juga pernan individu dalam menangani, menafsirkan, dan berinteraksi dengan kondisi-kondisi yang bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan sekaligus sebagai produk dari lingkungannya.[7]


2.    Elemen Reaksi Sosial / Masyarakat yang Negatif
Setiap kejahatan dipandang sebagai dari “penyimpangan sosial” dalam arti bahwa tindakan itu “berbeda” dari tindakan-tindakan yang dipandang normal atau biasa di masyarakat, sehingga hal ini akan selalu di pandang tetap atau tidak berubah sebagai sesuatu yang negatif dalam masyarakat baik terhadap perbuatannya maupun pelakunya (secara umum masyarakat memperlakukan orang-orang tersebut sebagai berbeda dan jahat)
Para pakar mengatakan bahwa kejahatan dapat didefinisikan secara yuridis dan sosiologis, dimana secara yuridis yakni kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang bertentangan dengan hukum, dapat dipidana, yang diatur dalam hukum pidana. Dan kejahatan secara sosiologis adalah tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat, kesimpulannya bahwa kejahatan adalah sebuah perbuatan yang anti sosial, merugikan dan menjengkelkan masyarakat atau anggota masyarakat. 
Abdur R. Khandaker dalam kaitan ini menyatakan bahwa kejahatan ditemukan atau ada di semua kultur atau budaya, dan setiap masyarakat menghasilkan mekanisme atau cara untuk mengendalikan atau membasmi kejahatan ini. Dikatakan bahwa “Crime is found in all cultures, and each society has generated mechanism to control or eradicate it” (Abdur R. Khandaker, 1982 :105)

3.    Elemen Pelaku Kejahatan
Didalam perkembangan kejahatan banyak hal-hal yang berkembang namum salah satu elemen  yang tetap adalah elemen pelaku kejahatan yaitu di setiap kejahatan pastilah tetap ada pelaku yang melakukan kejahatan tersebut atau yang sering disebut penjahat.
Studi terhadap pelaku ini terutama dilakukan oleh kriminologi positivis dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan, kriminologi positivis menyadarkan pada asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan penjahat, perbedaan tersebut pada aspek biologis, psikologis maupun sosiokultural. Oleh karena itu, dalam mencari sebab-sebab kejahatan biasanya dilakukan terhadap narapidana atau bekas narapidana dengan cara mencarinya pada ciri-ciri biologisnya (determinis biologis) dan aspek kultural (determinis kultural). Keberatan yang utama terhadap kriminologi positivis adalah bukan saja asumsi dasar tersebut yang tidak pernah terbukti, akan tetapi juga karena kejahatan adalah konstruksi sosial, artinya perbuatan tertentu diperlakukan sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut “ditunjuk” sebagai kejahatan oleh masyarakat. Di sampin itu, cara studi tersebut mengandung beberapa kelemahan antara lain : a) Sebagai sampel dianggap kurang valid, sebab mereka tidak mewakili populasi penjahat yang ada di masyarakat secara representatif. b) Terdapat pelaku-pelaku kejahatan tertentu yang berasal dari kelompok atau lapisan sosial tertentu yang cukup besar jumlahnya, akan tetapi hampir tidak pernah di penjara. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh Sutherland dalam penelitiannya terhadap kejahatan white-collar, di mana kurang dari 10% kasus kejahatan ini yang diproses melalui peradilan pidana. c) Undang-undang pidana yang bersifat berat sebelah. d) Maraknya kejahatan korporasi yang dilakukan oleh korporasi, dimana sosok korporasi berbeda dengan manusia.[8]

4.    Elemen Penderitaan / Kerugian
Setiap kejahatan elemen penderitaan merupakan elemen yang tidak berubah atau dengan kata lain pada setiap kejahatan akan selalu menimbulkan penderitaan atau kerugian, hal ini diperkuat dengan perkembangan studi tentang korban kejahatan. Hal ini sebagai pengaruh dari tulisan Hans von Hentig dan B. Mendelsohn dalam bukunya “The Criminals and his Victim” (1949). Dalam buku ini menunjukkan bahwa di dalam kejahatan-kejahatan tertentu korban mempunyai peranan yang sangat penting dalam terjadinya kejahatan. Persoalan korban bukan merupakan hal baru, dalam arti sudah jamak diketahui bahwa setiap kejahatan selalu menimbulkan korban walaupun terkadang korban dari kejahatan itu adalah pelakunya sendiri. Dari perumusan tersebut perbuatan-perbuatan tertentu menjadi perbuatan yang patut dicela menurut hukum pidana dan dengan demikian patut pula dijatuhi sanksi pidana, dapat disimpulkan bahwa perbuatan-perbuatan demikian merupakan perbuatan yang mengakibatkan penderitaan atau kerugian bagi pihak lainnya, misal : menghilangkan nyawa orang lain sebagai pembunuhan atau perbuatan mengambil barang milik orang lain untuk dikuasai dan dimiliki secara melawan hukum sebagai pencurian.[9]

5.    Elemen Modus Operandi Atau Cara Kejahatan
Terjadinya suatu kejahatan tidaklah seketika dalam artian pelaku kejahatan membutuhkan suatu cara atau teknik yg berciri khusus dari seorang atau kelompok penjahat dalam melakukan perbuatan jahatnya yang melanggar hukum dan merugikan orang lain, baik sebelum, ketika, dan sesudah perbuatan kriminal tersebut dilakukan. Elemen Modus Operandi atau Cara Kejahatan inilah yang tetap dimiliki oleh setiap kejahatan yang mengalami perkembangan dan perubahan adalah bentuk atau tehnik dari modus operandi tersebut.

BAB III
PENUTUP

            Fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya manakala masyarakat mendefiniskan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu memenuhi batasan sebagai kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena yang berdiri sendiri yang dapat diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektif oleh ilmuwan sosial, sebab dia ada hanya karena hal itu dinyatakan oleh masyarakat.
            Kejahatan bukanlah suatu yang dapat dinegasikan eksistensinya. Kejahatan akan selalu ada di manapun dan kapanpun ketika manusia ada. Kejahatan seolah menjadi sisi gelap yang mengikuti sisi kebaikan dalam dualitas sifat manusia. Kejahatan akan selalu eksis bersamaan dengan perjalanan umat manusia dari awal penciptaan hingga akhir zaman. Kejahatan hanya bisa diamati, dipahami untuk kemudian dicari cara untuk meminimalisirnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Chairuddin Ismail, Drs., S.H., M.H., Pidana Harta Kekayaan Suatu
Alternatif Kebijakan Pemberantasan Korupsi, Jakarta: Penerbit Merlyn
Lestari, 2009.

Bonger, W. A., Pengantar tentang Kriminologi, Diperbaharui oleh G. Th.
Kempe, diterjemahkan oleh R. A. Koesnoen, Cet. IV, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1977.

G. Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan
Kejahatan, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009.

I. S. Susanto, Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.

Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2009.






[1] Sue Titus Raid, Crime and Criminology, New York: Holt, Rinehart and Winston, seconded, 1979, h. 24.
[2] Edwin, H. Sutherland and Donald R Cressey, Criminology, New York: JB Lippin-cott company, 9th Ed, 1974.
[3] WA. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta: Pustaka Sarjana, 1977, h. 21.
[4] Dr. Chairuddin Ismail, Drs., S.H., M.H., Pidana Harta Kekayaan Suatu Alternatif Kebijakan Hukum Pidana Pemberantasan Korupsi, Jakarta: Penerbit Merlyn Lestari, 2009, h. 69.
[5] Topo Santoso&Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009, h. 11-12.
[6] I. S. Susanto, Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, h. 23.
[7] A. Straus, On Social Psychology, Chicago: Chicago University Press, 1964
[8] I. S. Susanto, Op. Cit., h. 36.
[9] G. Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009, h. 4.

No comments:

Post a Comment