BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimologis kriminologi berasal dari kata crimen
yang berarti kejahatan, dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu
pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu / pengetahuan tentang kejahatan.
Istilah kriminologi untuk pertama kali (1879) digunakan oleh P. Topinard, ahli
antropologi Prancis, sementara istilah yang banyak dipakai sebelumnya adalah
antropologi kriminal.[1]
Sedangkan menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah
seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial,
termasuk di dalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang,
dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.[2]
Meskipun studi kejahatan secara ilmiah (kriminologi)
dianggap baru lahir pada abad 19, yaitu ditandai dengan statistik kriminal di
Prancis pada tahun 1826 (a.l. Bonger, Grunhut) atau dengan diterbitkannya buku
L’Uomo Delinquente oleh Cesare Lombrosso pada tahun 1876, namun studi tentang
kejahatan, khususnya usaha untuk menjelaskan sebab-sebab kejahatan sudah mulai
jauh sebelumnya, misalnya oleh para
filosof Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles.[3]
Thomas More penulis buku Utopia (1516) menceritakan bahwa
hukuman berat yang dijatuhkan kepada penjahat pada waktu itu tidak berdampak
banyak untuk menghapuskan kejahatan yang terjadi. Hukum pidana sudah ada dengan
sanksi yang begitu hebat sudah ada tetapi kejahatan mengapa tetap terjadi?
Adalah suatu kenyataan bahwa hukum pidana tidaklah efektif, sanksi yang berat
bukan juga faktor utama untuk memacu efektivitas dari hukum pidana, untuk
itulah harus di cari sebab musabab kejahatan dan menghapuskannya, pemikiran
pendekatan humanistik dalam penggunaan sanki pidana tidak hanya berarti bahwa
pidana yang dikenakan kepada pelanggar
harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus
dapat membangkitkan kesadaran pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan
nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.[4]
Sebab-sebab
terjadinya kejahatan telah menjadi subyek yang cukup banyak mengundang
spekulasi, teoritisasi, penelitian dan perdebatan di antara para ahli maupun
masyarakat umum. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka muncul berbagai teori
yang berusaha memberikan penjelasan terhadap persoalan tersebut, walaupun harus
diakui teori-teori yang dikemukakan tersebut dipengaruhi oleh agama, filsafat,
politik, ekonomi, sosial dan kecenderungan ilmiah pada waktu itu.
Paul
Mudigdo Mulyono tidak sependapat dengan definisi kriminologi yang diberikan
oleh Sutherland karena menurutnya definisi itu seakan-akan tidak memberikan
gambaran bahwa pelaku kejahatan itupun mempunyai andil atas terjadinya suatu
kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang
ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk
melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat tersebut. Karenanya Paul
Mudigdo Mulyono memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia.[5]
Michael dan Adler berpendapat bahwa kriminologi adalah keseluruan
keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka
dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib
masyarakat dan oleh para masyarakat.
Wolfgang,
Savitz dan Johnston dalam The Sociology of Crime and Delinquency memberikan
definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang
bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan
dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan,
keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan
dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.
Dari
perkembangan kriminologi diatas tadi ada hal-hal atau elemen-elemen dari
kejahatan yang tetap, hal ini lah yang akan diangkat dalam pembahasan tulisan
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Para pakar
mengatakan bahwa kejahatan dapat didefinisikan secara yuridis dan sosiologis,
dimana secara yuridis yakni kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang
bertentangan dengan hukum, dapat dipidana, yang diatur dalam hukum pidana. Dan
kejahatan secara sosiologis adalah tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak
disetujui oleh masyarakat, kesimpulannya bahwa kejahatan adalah sebuah
perbuatan yang anti sosial, merugikan dan menjengkelkan masyarakat atau anggota
masyarakat.
Perkembangan
kejahatan dewasa ini tidak lagi hanya sebatas teritorial suatu negara melainkan
sudah melampaui batas teritorial dan bahkan sudah menimbulkan dampak terhadap
dua negara atau lebih serta sudah memiliki lingkup dan jaringan internasional.
Perkembangan kejahatan internasional sudah menjadi perhatian masyarakat
internasional terutama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam hal ini dirasakan
semakin penting perlunya kerjasama internasional secara efektif berkenaan dengan
masalah-masalah kejahatan nasional dan transnasional.
Sejalan
dengan perkembangan kejahatan yang begitu pesat di atas, terdapat elemen-elemen
yang tetap di dalam perkembangan kejahatan tersebut. Elemen-elemen tersebut
antara lain adalah :
1.
Elemen Proses Kriminalisasi
Yang dimaksud disini adalah
untuk dijadikannya suatu tindakan atau perbuatan sebagai kejahatan akan tetap
selalu membutuhkan proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang
agar dijadikannya suatu perbuatan tertentu sebagai kejahatan / tindak pidana.
Doktrin nullum crimen sine lege yang artinya tidak ada kejahatan apabila
undang-undang tidak menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang
dilarang.[6]
Dasar pemikiran interkasionis
ini bersumber pada “symbolic interactionism” yang dikemukakan oleh Mead
(1863-1931) yang menekankan bahwa “sumber” perilaku manusia, tidak hanya
ditentukan oleh peranan kondisi-kondisi sosial, akan tetapi juga pernanan
individu dalam menangani, menafsirkan, dan berinterkasi dengan kondisi-kondisi-kondisi
sosial akan tetapi juga pernan individu dalam menangani, menafsirkan, dan
berinteraksi dengan kondisi-kondisi yang bersangkutan. Menurutnya manusia
sebagai pencipta dan sekaligus sebagai produk dari lingkungannya.[7]
2.
Elemen Reaksi Sosial / Masyarakat yang Negatif
Setiap kejahatan dipandang
sebagai dari “penyimpangan sosial” dalam arti bahwa tindakan itu “berbeda” dari
tindakan-tindakan yang dipandang normal atau biasa di masyarakat, sehingga hal
ini akan selalu di pandang tetap atau tidak berubah sebagai sesuatu yang
negatif dalam masyarakat baik terhadap perbuatannya maupun pelakunya (secara
umum masyarakat memperlakukan orang-orang tersebut sebagai berbeda dan jahat)
Para pakar mengatakan bahwa
kejahatan dapat didefinisikan secara yuridis dan sosiologis, dimana secara
yuridis yakni kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang bertentangan
dengan hukum, dapat dipidana, yang diatur dalam hukum pidana. Dan kejahatan
secara sosiologis adalah tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui
oleh masyarakat, kesimpulannya bahwa kejahatan adalah sebuah perbuatan yang
anti sosial, merugikan dan menjengkelkan masyarakat atau anggota
masyarakat.
Abdur R. Khandaker dalam
kaitan ini menyatakan bahwa kejahatan ditemukan atau ada di semua kultur atau
budaya, dan setiap masyarakat menghasilkan mekanisme atau cara untuk
mengendalikan atau membasmi kejahatan ini. Dikatakan bahwa “Crime is found in
all cultures, and each society has generated mechanism to control or eradicate
it” (Abdur R. Khandaker, 1982 :105)
3.
Elemen Pelaku Kejahatan
Didalam perkembangan
kejahatan banyak hal-hal yang berkembang namum salah satu elemen yang tetap adalah elemen pelaku kejahatan
yaitu di setiap kejahatan pastilah tetap ada pelaku yang melakukan kejahatan
tersebut atau yang sering disebut penjahat.
Studi terhadap pelaku ini
terutama dilakukan oleh kriminologi positivis dengan tujuan untuk mencari
sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan,
kriminologi positivis menyadarkan pada asumsi dasar bahwa penjahat berbeda
dengan bukan penjahat, perbedaan tersebut pada aspek biologis, psikologis
maupun sosiokultural. Oleh karena itu, dalam mencari sebab-sebab kejahatan
biasanya dilakukan terhadap narapidana atau bekas narapidana dengan cara
mencarinya pada ciri-ciri biologisnya (determinis biologis) dan aspek kultural
(determinis kultural). Keberatan yang utama terhadap kriminologi positivis
adalah bukan saja asumsi dasar tersebut yang tidak pernah terbukti, akan tetapi
juga karena kejahatan adalah konstruksi sosial, artinya perbuatan tertentu
diperlakukan sebagai kejahatan karena perbuatan tersebut “ditunjuk” sebagai
kejahatan oleh masyarakat. Di sampin itu, cara studi tersebut mengandung
beberapa kelemahan antara lain : a) Sebagai sampel dianggap kurang valid, sebab
mereka tidak mewakili populasi penjahat yang ada di masyarakat secara
representatif. b) Terdapat pelaku-pelaku kejahatan tertentu yang berasal dari
kelompok atau lapisan sosial tertentu yang cukup besar jumlahnya, akan tetapi
hampir tidak pernah di penjara. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh Sutherland
dalam penelitiannya terhadap kejahatan white-collar, di mana kurang dari 10%
kasus kejahatan ini yang diproses melalui peradilan pidana. c) Undang-undang
pidana yang bersifat berat sebelah. d) Maraknya kejahatan korporasi yang
dilakukan oleh korporasi, dimana sosok korporasi berbeda dengan manusia.[8]
4.
Elemen Penderitaan / Kerugian
Setiap kejahatan elemen
penderitaan merupakan elemen yang tidak berubah atau dengan kata lain pada
setiap kejahatan akan selalu menimbulkan penderitaan atau kerugian, hal ini
diperkuat dengan perkembangan studi tentang korban kejahatan. Hal ini sebagai
pengaruh dari tulisan Hans von Hentig dan B. Mendelsohn dalam bukunya “The Criminals
and his Victim” (1949). Dalam buku ini menunjukkan bahwa di dalam
kejahatan-kejahatan tertentu korban mempunyai peranan yang sangat penting dalam
terjadinya kejahatan. Persoalan korban bukan merupakan hal baru, dalam arti
sudah jamak diketahui bahwa setiap kejahatan selalu menimbulkan korban walaupun
terkadang korban dari kejahatan itu adalah pelakunya sendiri. Dari perumusan
tersebut perbuatan-perbuatan tertentu menjadi perbuatan yang patut dicela
menurut hukum pidana dan dengan demikian patut pula dijatuhi sanksi pidana,
dapat disimpulkan bahwa perbuatan-perbuatan demikian merupakan perbuatan yang
mengakibatkan penderitaan atau kerugian bagi pihak lainnya, misal :
menghilangkan nyawa orang lain sebagai pembunuhan atau perbuatan mengambil
barang milik orang lain untuk dikuasai dan dimiliki secara melawan hukum
sebagai pencurian.[9]
5.
Elemen Modus Operandi Atau Cara Kejahatan
Terjadinya suatu kejahatan tidaklah seketika dalam artian pelaku
kejahatan membutuhkan suatu cara atau
teknik yg berciri khusus dari seorang atau kelompok penjahat dalam melakukan
perbuatan jahatnya yang melanggar hukum dan merugikan orang lain, baik sebelum,
ketika, dan sesudah perbuatan kriminal tersebut dilakukan. Elemen Modus
Operandi atau Cara Kejahatan inilah yang tetap dimiliki oleh setiap kejahatan
yang mengalami perkembangan dan perubahan adalah bentuk atau tehnik dari modus
operandi tersebut.
BAB III
PENUTUP
Fenomena kejahatan sebagai
konstruksi sosial, artinya manakala masyarakat mendefiniskan tindakan tertentu
sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu memenuhi batasan sebagai
kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena yang berdiri
sendiri yang dapat diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektif oleh
ilmuwan sosial, sebab dia ada hanya karena hal itu dinyatakan oleh masyarakat.
Kejahatan bukanlah suatu yang dapat
dinegasikan eksistensinya. Kejahatan akan selalu ada di manapun dan kapanpun
ketika manusia ada. Kejahatan seolah menjadi sisi gelap yang mengikuti sisi
kebaikan dalam dualitas sifat manusia. Kejahatan akan selalu eksis bersamaan
dengan perjalanan umat manusia dari awal penciptaan hingga akhir zaman.
Kejahatan hanya bisa diamati, dipahami untuk kemudian dicari cara untuk
meminimalisirnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Chairuddin
Ismail, Drs., S.H., M.H., Pidana Harta Kekayaan Suatu
Alternatif
Kebijakan Pemberantasan Korupsi, Jakarta: Penerbit Merlyn
Lestari,
2009.
Bonger, W. A., Pengantar
tentang Kriminologi, Diperbaharui oleh G. Th.
Kempe,
diterjemahkan oleh R. A. Koesnoen, Cet. IV, Jakarta: Ghalia
Indonesia,
1977.
G. Widiartana, Viktimologi
Perspektif Korban dalam Penanggulangan
Kejahatan,
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009.
I. S. Susanto, Kriminologi,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.
Topo Santoso & Eva
Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada,
2009.
[1] Sue Titus Raid, Crime and Criminology, New York: Holt,
Rinehart and Winston, seconded, 1979, h. 24.
[2] Edwin, H. Sutherland and Donald R Cressey,
Criminology, New York: JB Lippin-cott company, 9th Ed, 1974.
[3] WA. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta:
Pustaka Sarjana, 1977, h. 21.
[4] Dr. Chairuddin Ismail, Drs., S.H., M.H., Pidana Harta
Kekayaan Suatu Alternatif Kebijakan Hukum Pidana Pemberantasan Korupsi,
Jakarta: Penerbit Merlyn Lestari, 2009, h. 69.
[5] Topo Santoso&Eva Achjani Zulfa, Kriminologi,
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009, h. 11-12.
[6] I. S. Susanto, Kriminologi, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2011, h. 23.
[7] A. Straus, On Social Psychology, Chicago: Chicago
University Press, 1964
[8] I. S. Susanto, Op. Cit., h. 36.
[9] G. Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban dalam
Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009,
h. 4.
No comments:
Post a Comment