Pendahuluan
Dampak dari globalisasi yang sedang
melanda dunia saat ini tidak hanya bersifat positif namun juga dapat
menimbulkan dampak yang negatif, dapat disebutkan beberapa dampak positifnya
antara lain terciptanya kegiatan ekonomi dan hal-hal yang berhubungan dengan
keuangan antar pulau didalam suatu negara maupun antar negara di dunia namun
dari sisi negatifnya tidak tertutup kemungkinan adanya peningkatan permintaan
barang-barang maupun jasa-jasa terlarang serta membuka peluang lebih besar
terhadap kegiatan-kegiatan kriminal. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi
dan transportasi yang merupakan akselerator dari suatu globalisasi juga
berusaha dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk meraup keuntungan yang
sangat besar dari suatu kegiatan perbudakan model baru yang disebut Perdagangan
Orang atau Trafficking In Person yang
pelakunya disebut sebagai Trafficker yang
dengan cepat berkembang membentuk sindikat-sindikat yang tidak saja berada di
dalam suatu negara melainkan melintasi batas negara yang satu dengan lainnya
sehingga Perdagangan Orang dapat dikatakan sebagai salah satu dampak negatif
dari globalisasi.
Fenomena perdagangan orang atau trafficking in person di Indonesia
merupakan bukan masalah yang sepele melainkan sudah menjadi suatu permasalahan
nasional yang harus segera diambil tindak lanjut yang serius di dalam
penanganannya. Kejahatan perdagangan orang ini merupakan kejahatan yang kejam
dan dengan jelas-jelas melanggar hak asasi manusia yang sering menjadi korban adalah mereka yang lemah secara ekonomi, sosial, politik,
kultural dan biologis.
Dari banyaknya kasus-kasus
perdagangan orang yang terungkap selama ini, sebagian besar praktek perdagangan
orang yang sering terjadi adalah perdagangan perempuan
dan anak-anak yang diperniagakan secara paksa, diculik, disekap, dijerat dengan
utang, ditipu, dibujuk atau diiming-imingi dan seterusnya, untuk dijadikan
pekerja seks komersial atau dieksploitasi.
Dalam
makalah ini akan membahas mengenai definisi, karakteristik dan dampak tindak
pidana perdagangan orang serta pencegahan dan penanggulangannya sebagai saran dari
penulis.
Definisi perdagangan orang
Perdagangan orang adalah bentuk modern dari
perbudakan manusia yang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dan
pelanggaran harkat dan martabat manusia, dengan sendirinya merupakan
pelanggaran hak asasi manusia.[1]
Sebelum melangkah lebih lanjut,
perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia atau trafficking
in person itu sendiri. Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49 / 166
mendefinisikan trafficking dengan : “ Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across
national and international borders, largely from developing countries and some
countries with economies in transition, with the goal of forcing women and girl
children into sexually or economically oppressive and exploitative situations
for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as
other illegal activities related to trafficking, such as forced domestic
labour, false marriages, clandestine employment and false adoption ”. Yang
bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ialah : “ Perdagangan ialah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang di lintas
nasional dan perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari
Negara-negara yang berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir
memaksa wanita dan anak-anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan
ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur, dan
sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya yang berhubungan
dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerja
gelap, dan adopsi ”.
Menurut pasal 3 Protokol Palermo (Protokol untuk
mencegah, menekan dan menindak perdagangan orang, khususnya kaum perempuan dan
anak-anak) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perdagangan orang ialah:
“ perekrutan, pengiriman ke
suatau tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau
pemaksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan,
penipuan, pengaiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapatkan
keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi setidaknya,
mencakup eksploitasi melalui pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi
seksual, melalui kerja paksa atau memberikan layanan paksa, melalui perbudakan,
melalui praktik-praktik serupa perbudakan, melalui penghambaan atau melalui
pemindahan organ tubuhnya.”
Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang no. 21 tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dijelaskan definisi dari
perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun
antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Karakteristik dan
dampak perdagangan orang
Pelaku dari kejahatan perdagangan
orang disebut Trafficker, para pelaku ini tidak saja melibatkan organisasi kejahatan
lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan tokoh
masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan
perdagangan orang. Menurut Roosenberg[2], pelaku perdagangan orang (trafficker)
adalah :
1) Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan
jaringan agen/calo-calonya di daerah, manakala mereka memfasilitasi pemalsuan
KTP dan paspor serta secara illegal menyekap eaton pekerja migran di
penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara
paksa memasukkan ke dalam industri seks.
2) Agen atau calo-calo, bisa orang luar tetapi bisa juga seorang
tetangga, ternan atau bahkan kepala desa, manakala dalam perekrutan mereka
menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen.
3) Aparat pemerintah, manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan
terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyebrangan melintasi perbatasan
secara illegal.
4) Majikan, apabila menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif
seperti tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik dan
seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan
utang.
5) Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar pasal 289, 296 dan
506 KHUP dapat ianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan
bekerja di uar kemauannya, menjerat dalam Jibatan hutang, menyekap dan
membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan
memperkerjakan anak (di bawah umur 18 tahun).
6) Calo pernikahan, apabila pernikahan yang diaturnya telah
mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan
eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat
eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.
7) Orang tua dan sanak saudara, apabila mereka secara sadar menjual
anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor
industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk
penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika
orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan
menjerat anaknya dalam libatan utang.
8) Suami jika ia
menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim isterinya ke tempat lain untuk
mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak,
atau memaksanya melakukan prostitusi.
Perdagangan orang
di Indonesia dapat dibagi 2 (dua) dalam hal lokasi yang menjadi tujuan
perdagangan orang tersebut yakni tujuan lokal dan tujuan luar negeri. Umumnya
lokasi pengiriman untuk dalam negeri atau lokal meliputi kota-kota besar
ataupun kota-kota maupun pulau-pulau tujuan wisata. Sedangkan untuk lokasi
tujuan yang bersifat luar negeri meliputi negara jiran Malaysia dan
negara-negara di wilayah Timur Tengah.
Menurut Cameron dan Newman (2008
: 16) membagi pemicu dari perdagangan orang menjadi 2 (dua) faktor yakni Faktor
Struktur dan Faktor Proximate. Adapun faktor struktur meliputi : a) Ekonomi
yakni sebagai dampak dari globalisasi, kemiskinan, perampasan, kecenderungan
kemunduran ekonomi, pasar bebas, deregulasi dan gerakan perpindahan manusia antar
negara; b) Sosial yakni sebagai dampak dari ketidaksetaraan sosisal, adanya
disriminasi jender dan marjinalisasi, status budaya yang tidak menguntungkan
serta pelacuran; c) Ideologi yakni sebagai dampak dari rasisme, xenophobia
(takut terhadap orang asing), jender dan strereotipe budaya; d) Geopolitik
yakni sebagai dampak dari adanya perang, perjuangan sipil, konflik dengan
kekerasan dan basis operasi militer.
Selain itu, faktor
lainnya yaitu faktor proximate meliputi : a) Aspek kebijakan dan hukum yakni
dengan adanya rezim hukum nasional maupun internasional yang tidak memadai,
penegakkan hukum yang buruk, undang-undang dan kebijakan migrasi dan imigrasi,
undang-undang dan standar perburuhan yang tidak ditegakkan dengan benar; b)
Aturan hukum atau perundang-undangan yakni dengan maraknya korupsi, adanya
kesalahan negara dalam kegiatan kriminal, dukungan pejabat negara kepada
pengusaha yang terlibat kegiatan kriminal (perdagangan senjata, obat-obat
terlarang, seks, dsb); c) Kemitraan yang tidak memadai antara rakyat dan negara
yang ditandai dengan lemahnya kampanye pendidikan, kurangnya kesadaran diantara
komunitas yang rentan, masyarakat yang semakin apatis (tidak mau tahu keadaan
sekitar) dan akuntabilitas yang buruk dari organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga
negara.
Pemerintah Indonesia
juga pernah mengeluarkan suatu rencana aksi penghapusan perdagangan perempuan
dan anak ( Keppres no. 88 tahun 2002) yang di dalamnya tertulis faktor-faktor
penyebab terjadinya kejahatan perdagangan orang yakni : 1) kemiskinan; 2)
ketenagakerjaan; 3) pendidikan; 4) migrasi; 5) lemahnya ketahanan keluarga; 6)
sosial budaya; 7) media massa.
Berbeda dengan
perdagangan narkoba maupun bentuk tindak kejahatan lainnya, perdagangan orang
tergolong bentuk kejahatan yang menggiurkan para pelakunya, sebab korban yang
mendapat perlakuan sebagai sebuah “komoditi” dapat digunakan berkali-kali atau
di daur ulang artinya si korban tersebut dapat di eksploitasi, di siksa, di
perlakukan sesuka hati secara berkali-kali untuk memuaskan atau menguntungkan
si pelaku, dalam kasus eksploitasi seksual (dijadikan pelacur) ada korban yang
sejak umur 15 tahun sudah di eksploitasi dan setelah dianggap tidak produktif
lagi (tua atau mengidap penyakit) dengan mudahnya di campakkan sedangkan dalam kasus
pembantu rumah tangga dapat di jual ke banyak majikan dalam jangka waktu
bertahun-tahun.
Dari definisi yang tertuang di dalam Protokol Palermo, tindakan yang
disebut sebagai perdagangan orang dapat dibagi menjadi tiga unsur yang saling
tergantung antara yang satu dengan yang lainnya dan secara kumulatif harus ada
untuk pelanggaran terhadap pasal Protokol tersebut, yakni unsur kegiatan / aksi,
dan unsur maksud dilakukannya kegiatan atau aksi.
·
Unsur
Kegiatan / aksi meliputi : perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang (manusia).
·
Unsur
Sarana menjamin kegiatan / aksi meliputi : ancaman, atau
paksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan penipuan,
penyiksaan/penganiayaan, pemberian atau penerimaan bayaran, atau tindakan
penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk
persetujuan atau mengendalikan orang lain.
·
Unsur
Maksud kegiatan / aksi meliputi : eksploitasi pada
orang dengan cara-cara yang disebutkan dalam pasal 3 Protokol Palermo.
Agar dapat dimasukkan sebagai tindak pidana perdagangan orang,
maka masing-masing unsur diatas harus ada. Kegiatan harus dicapai dengan sebuah
sarana, dan keduanya harus bertujuan untuk mencapai maksud eksploitatif. Jika
salah satu dari ketiga unsur ini tidak ada, maka syarat-syarat yang diperlukan
untuk sebuah tindak pidana trafiking manusia sebagaimana ditentukan oleh pasal
3 Protokol Palermo belum terpenuhi.
Jika dibandingkan
dengan pendapat dari Harkristuti Harkrisnowo mengenai unsur-unsur dari
perdagangan orang yang membagi menjadi 3 (tiga) unsur yakni :[3]
1)
Perbuatan
: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2)
Sarana
(cara) untuk mengendalikan korban : ancaman, penggunaan paksaan, berbagai
bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan atau pemberian / penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
3)
Tujuan
: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual
lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.
Dari ketiga unsur tersebut, yang
perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena kendati korban anak-anak tidak
dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk
eksploitasi.
Savonna dan Stefanizzi di dalam
mengukur pengaruh-pengaruh pada jaringan perdagangan orang membagi perdagangan
manusia ke dalam 3 (tiga) tahap, yakni tahap perekrutan, tahap pemindahan dan
tahap pengeksploitasian. Pada tiap-tiap tahap terdapat 4 (empat) variabel untuk
dapat mengidentifikasi dan menanggulangi perdaganganan orang yang terorganisir.
Adapun variabel-varibel tersebut ialah pasokan (supply), pelanggan (customer),
pengatur (regulator) dan persaingan (competition). Dapat dijelaskan disini
untuk bisa melakukan pencegahan maupun penanggulangan di setiap pentahapan maka
terdapat variabel-variabel yang mempengaruhi jaringan perdagangan orang.
Pada tahap perekrutan terdapat variabel pasokan atau supply
yang memiliki tingkat kesulitan pemasangan atau penempatan iklan-iklan yang
menyesatkan, tingkat kewaspadaan terhadap jumlah penduduk yang memiliki resiko
tinggi terjadinya perdagangan manusia dan kemudahan bagi korban untuk
berhubungan atau berkomunikasi (keluarga dan perkumpulan-perkumpulan); kemudian
pada variabel pelanggan atau customer diketahuinya jalur-jalur jaringan pengangkut dan sejauh mana
perekrut mencari lokasi perekrutan korban; kemudian pada variabel pengatur atau regulator yakni kekuatan pada ketentuan hukum
yang mengatur pelarangan perdagangan orang dan sejauhmana pengawasan yang
dilakukan oleh polisi terhadap perekrut-perekrut yang dicurigai; kemudian pada variabel persaingan atau competition terdapat peluang-peluang lapangan pekerjaan yang resmi pada
daerah-daerah sumber pemasok dan juga keberadaan kelompok-kelompok kejahatan
lain yang mencari korban-korban yang sama.
Pada tahap pemindahan terdapat variabel pasokan atau supply
yang memiliki status hubungan kepada perekrut, kemudahan untuk mendapatkan
metode-metode dan rute-rute transit yang mudah; kemudian pada variabel pelanggan atau customer diketahuinya hubungan-hubungan ke kelompok kejahatan si perekrut
di tempat tujuan, sejauhmana kelompok-kelompok tujuan tetap atau berganti;
kemudian pada variabel pengatur atau regulator yakni pengetahuan polisi tentang kegiatan prostitusi lokal dan
aktivitas buruh ilegal, kekuatan regulasi-regulasi terhadap bisnis-bisnis untuk
mengontrol buruh yang dipaksa bekerja dan buruh yang digaji sangat rendah,
upaya penegakkan hukum yang dilakukan untuk menemukan orang-orang yang
diperdagangkan; kemudian pada variabel
persaingan atau competition terdapat usaha prostitusi lokal yang
menggunakan wanita bukan korban perdagangan orang, sejauhmana tingkat
permintaan seks / buruh ilegal lokal yang dilayani oleh pemasok yang tidak
melakukan perdagangan orang.
Pada tahap Ekploitasi terdapat variabel pasokan atau supply
yang memiliki kekuatan hubungan-hubungan dengan kelompok-kelompok pemindahan,
kapasitas untuk mengintimidasi korban secara terus menerus untuk tetap
mengendalikannya, kemudahan untuk dapat memindahkan korban setelah sampai di
tujuan; kemudian pada variabel pelanggan
atau customer diketahuinya ukuran permintaan lokal dalam hal prostitusi, ukuran
pasar dalam hal mempekerjakan pekerja tanpa dokumen, tingkat kewaspadaan
terhadap perdagangan orang di lokasi tujuan; kemudian pada variabel pengatur atau regulator yakni pengetahuan polisi tentang
prostitusi lokal dan kegiatan buruh ilegal, kekuatan regulasi-regulasi dalam
bisnis untuk mengontrol buruh yang di gaji sangat rendah dan buruh yang dipaksa
bekerja; kemudian pada variabel
persaingan atau competition terdapat kemudahan yang relatif dan
keuntungan dari perdagangan orang daripada penyelundupan barang-barang lainnya,
intensitas kompetisi dari kelompok-kelompok kejahatan lain.
Perdagangan orang akan memberikan 2
(dua) jenis dampak bagi korbannya, yakni dampak fisik dan dampak non fisik. Dampak
fisik jelas akan terjadi mengingat korban banyak yang mendapatkan penganiayaan,
penyiksaan-penyiksaan, perlakuan yang tidak sewajarnya seperti eksploitasi
seksual, pelacuran, pencabulan atau pemerkosaan dan lain-lain yang sudah pasti
sangat merugikan bagi korban. Sedangkan dampak non fisik, korban akan terganggu
psikologi (kejiwaannya) akibat tindakan-tindakan yang diterimanya selama
menjadi korban perdagangan orang yang juga tertanam dalam pikiran dan perasaan
si korban yang merasa dirinya telah rusak tidak berguna lagi.
Pencegahan dan Penanggulangan sebagai
saran
Perkembangan perdagangan manusia semakin
meluas dan kini terjadi dengan pola yang lebih maju seiring perkembangan jaman
dan teknologi yang mana di negara Indonesia dalam hal pengaturan tergolong
dalam tindak pidana yang masih baru yang terbukti dengan baru diaturnya tindak
pidana perdagangan orang ini pada tahun 2007 dengan Undang-Undang no. 21 tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang . Perdagangan
manusia juga terjadi tidak hanya dalam lingkup suatu wilayah negara tertentu
tetapi telah melingkupi kepentingan lebih dari satu negara sehingga merupakan
bagian dari kejahatan transnasional.
Sedangkan di taraf internasional,
perdagangan manusia telah diatur pada protokol Palermo atau sering disebut
United Nations Convention Against Transnational Crime (UN CATOC) dan ditambah
berbagai konvensi yang juga berkaitan dengan perdagangan manusia dalam upaya
pencegahan dan penanggulangannya.
Dalam
hal pencegahan dan penanggulangan terhadap perdagangan orang perlu adanya
penyuluhan dan sosialisasi kepada
masyarakat lewat penyuluhan dari desa atau daerah, iklan dan pembahasan dengan
para siswa agar terhindar dari tindak pidana perdagangan orang maupun
bentuk-bentuk lain dari perbudakkan masa kini. Tidak terlepas juga bagi
aparatur negara penegak hukum agar diberikan pembekalan terhadap tindak pidana
perdagangan orang serta mewaspadai, meningkatkan pengawasan dan penjagaan
perbatasan negara guna mencegah terjadinya perdagangan orang.
DAFTAR PUSTAKA
Golose, Petrus,
Trafficking in Person, Bahan dan Slide Perkuliahan Pasca Sarjana Ilmu Kepolisian, Jakarta, STIK-PTIK, 2012.
Harkrisnowo,
Harkristuti, Laporan Laporan Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, Sentra HAM Universitas Indonesia, 2003.
Irsan,
Koesparmono, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Jakarta, STIK-PTIK, 2011.
Kusumawardhani
dkk, Human Trafficking : Pola Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan,
Jakarta, Laporan Akhir Program Insentif
Peneliti Dan Perekayasa Lipi Tahun 2010. (http://km.ristek.go.id/assets/files/LIPI/1135%20D%20S/1135.pdf)
Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO)
No comments:
Post a Comment