Sunday, February 19, 2012

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG


Pendahuluan
            Dampak dari globalisasi yang sedang melanda dunia saat ini tidak hanya bersifat positif namun juga dapat menimbulkan dampak yang negatif, dapat disebutkan beberapa dampak positifnya antara lain terciptanya kegiatan ekonomi dan hal-hal yang berhubungan dengan keuangan antar pulau didalam suatu negara maupun antar negara di dunia namun dari sisi negatifnya tidak tertutup kemungkinan adanya peningkatan permintaan barang-barang maupun jasa-jasa terlarang serta membuka peluang lebih besar terhadap kegiatan-kegiatan kriminal. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang merupakan akselerator dari suatu globalisasi juga berusaha dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk meraup keuntungan yang sangat besar dari suatu kegiatan perbudakan model baru yang disebut Perdagangan Orang atau Trafficking In Person yang pelakunya disebut sebagai Trafficker yang dengan cepat berkembang membentuk sindikat-sindikat yang tidak saja berada di dalam suatu negara melainkan melintasi batas negara yang satu dengan lainnya sehingga Perdagangan Orang dapat dikatakan sebagai salah satu dampak negatif dari globalisasi.
            Fenomena perdagangan orang atau trafficking in person di Indonesia merupakan bukan masalah yang sepele melainkan sudah menjadi suatu permasalahan nasional yang harus segera diambil tindak lanjut yang serius di dalam penanganannya. Kejahatan perdagangan orang ini merupakan kejahatan yang kejam dan dengan jelas-jelas melanggar hak asasi manusia yang sering  menjadi korban adalah mereka yang lemah secara ekonomi, sosial, politik, kultural dan biologis.
            Dari banyaknya kasus-kasus perdagangan orang yang terungkap selama ini, sebagian besar praktek perdagangan orang yang sering terjadi adalah  perdagangan perempuan dan anak-anak yang diperniagakan secara paksa, diculik, disekap, dijerat dengan utang, ditipu, dibujuk atau diiming-imingi dan seterusnya, untuk dijadikan pekerja seks komersial atau dieksploitasi.
            Dalam makalah ini akan membahas mengenai definisi, karakteristik dan dampak tindak pidana perdagangan orang serta pencegahan dan penanggulangannya sebagai saran dari penulis.

Definisi perdagangan orang          
            Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia yang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dan pelanggaran harkat dan martabat manusia, dengan sendirinya merupakan pelanggaran hak asasi manusia.[1]
            Sebelum melangkah lebih lanjut, perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia atau trafficking in person itu sendiri. Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 49 / 166 mendefinisikan trafficking dengan :                    “ Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national and international borders, largely from developing countries and some countries with economies in transition, with the goal of forcing women and girl children into sexually or economically oppressive and exploitative situations for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities related to trafficking, such as forced domestic labour, false marriages, clandestine employment and false adoption ”. Yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ialah : “ Perdagangan ialah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang di lintas nasional dan perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari Negara-negara yang berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur, dan sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerja gelap, dan adopsi ”.
            Menurut pasal 3 Protokol Palermo (Protokol untuk mencegah, menekan dan menindak perdagangan orang, khususnya kaum perempuan dan anak-anak) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perdagangan orang ialah:
“ perekrutan, pengiriman ke suatau tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan, penipuan, pengaiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi setidaknya, mencakup eksploitasi melalui pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi seksual, melalui kerja paksa atau memberikan layanan paksa, melalui perbudakan, melalui praktik-praktik serupa perbudakan, melalui penghambaan atau melalui pemindahan organ tubuhnya.”
            Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang no. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dijelaskan definisi dari perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Karakteristik dan dampak perdagangan orang
         Pelaku dari kejahatan perdagangan orang disebut Trafficker, para pelaku ini tidak saja melibatkan organisasi kejahatan lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan perdagangan orang. Menurut Roosenberg[2], pelaku perdagangan orang (trafficker) adalah :  
1)   Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah, manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara illegal menyekap eaton pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkan ke dalam industri seks.
2)   Agen atau calo-calo, bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, ternan atau bahkan kepala desa, manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen.
3)   Aparat pemerintah, manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyebrangan melintasi perbatasan secara illegal.
4)   Majikan, apabila menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif seperti tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik dan seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.
5)   Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar pasal 289, 296 dan 506 KHUP dapat ianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di uar kemauannya, menjerat dalam Jibatan hutang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan memperkerjakan anak (di bawah umur 18 tahun).
6)   Calo pernikahan, apabila pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.
7)   Orang tua dan sanak saudara, apabila mereka secara sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan menjerat anaknya dalam libatan utang.
8)   Suami jika ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim isterinya ke tempat lain untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi.

         Perdagangan orang di Indonesia dapat dibagi 2 (dua) dalam hal lokasi yang menjadi tujuan perdagangan orang tersebut yakni tujuan lokal dan tujuan luar negeri. Umumnya lokasi pengiriman untuk dalam negeri atau lokal meliputi kota-kota besar ataupun kota-kota maupun pulau-pulau tujuan wisata. Sedangkan untuk lokasi tujuan yang bersifat luar negeri meliputi negara jiran Malaysia dan negara-negara di wilayah Timur Tengah.
            Menurut Cameron dan Newman (2008 : 16) membagi pemicu dari perdagangan orang menjadi 2 (dua) faktor yakni Faktor Struktur dan Faktor Proximate. Adapun faktor struktur meliputi : a) Ekonomi yakni sebagai dampak dari globalisasi, kemiskinan, perampasan, kecenderungan kemunduran ekonomi, pasar bebas, deregulasi dan gerakan perpindahan manusia antar negara; b) Sosial yakni sebagai dampak dari ketidaksetaraan sosisal, adanya disriminasi jender dan marjinalisasi, status budaya yang tidak menguntungkan serta pelacuran; c) Ideologi yakni sebagai dampak dari rasisme, xenophobia (takut terhadap orang asing), jender dan strereotipe budaya; d) Geopolitik yakni sebagai dampak dari adanya perang, perjuangan sipil, konflik dengan kekerasan dan basis operasi militer.
            Selain itu, faktor lainnya yaitu faktor proximate meliputi : a) Aspek kebijakan dan hukum yakni dengan adanya rezim hukum nasional maupun internasional yang tidak memadai, penegakkan hukum yang buruk, undang-undang dan kebijakan migrasi dan imigrasi, undang-undang dan standar perburuhan yang tidak ditegakkan dengan benar; b) Aturan hukum atau perundang-undangan yakni dengan maraknya korupsi, adanya kesalahan negara dalam kegiatan kriminal, dukungan pejabat negara kepada pengusaha yang terlibat kegiatan kriminal (perdagangan senjata, obat-obat terlarang, seks, dsb); c) Kemitraan yang tidak memadai antara rakyat dan negara yang ditandai dengan lemahnya kampanye pendidikan, kurangnya kesadaran diantara komunitas yang rentan, masyarakat yang semakin apatis (tidak mau tahu keadaan sekitar) dan akuntabilitas yang buruk dari organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga negara.
            Pemerintah Indonesia juga pernah mengeluarkan suatu rencana aksi penghapusan perdagangan perempuan dan anak ( Keppres no. 88 tahun 2002) yang di dalamnya tertulis faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan perdagangan orang yakni : 1) kemiskinan; 2) ketenagakerjaan; 3) pendidikan; 4) migrasi; 5) lemahnya ketahanan keluarga; 6) sosial budaya; 7) media massa.
            Berbeda dengan perdagangan narkoba maupun bentuk tindak kejahatan lainnya, perdagangan orang tergolong bentuk kejahatan yang menggiurkan para pelakunya, sebab korban yang mendapat perlakuan sebagai sebuah “komoditi” dapat digunakan berkali-kali atau di daur ulang artinya si korban tersebut dapat di eksploitasi, di siksa, di perlakukan sesuka hati secara berkali-kali untuk memuaskan atau menguntungkan si pelaku, dalam kasus eksploitasi seksual (dijadikan pelacur) ada korban yang sejak umur 15 tahun sudah di eksploitasi dan setelah dianggap tidak produktif lagi (tua atau mengidap penyakit) dengan mudahnya di campakkan sedangkan dalam kasus pembantu rumah tangga dapat di jual ke banyak majikan dalam jangka waktu bertahun-tahun.
            Dari definisi yang tertuang di dalam Protokol Palermo, tindakan yang disebut sebagai perdagangan orang dapat dibagi menjadi tiga unsur yang saling tergantung antara yang satu dengan yang lainnya dan secara kumulatif harus ada untuk pelanggaran terhadap pasal Protokol tersebut, yakni unsur kegiatan / aksi, dan unsur maksud dilakukannya kegiatan atau aksi.
·      Unsur Kegiatan / aksi meliputi : perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang (manusia).
·      Unsur Sarana menjamin kegiatan / aksi meliputi : ancaman, atau paksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan penipuan, penyiksaan/penganiayaan, pemberian atau penerimaan bayaran, atau tindakan penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk persetujuan atau mengendalikan orang lain.
·      Unsur Maksud kegiatan / aksi meliputi : eksploitasi pada orang dengan cara-cara yang disebutkan dalam pasal 3 Protokol Palermo.
            Agar dapat dimasukkan sebagai tindak pidana perdagangan orang, maka masing-masing unsur diatas harus ada. Kegiatan harus dicapai dengan sebuah sarana, dan keduanya harus bertujuan untuk mencapai maksud eksploitatif. Jika salah satu dari ketiga unsur ini tidak ada, maka syarat-syarat yang diperlukan untuk sebuah tindak pidana trafiking manusia sebagaimana ditentukan oleh pasal 3 Protokol Palermo belum terpenuhi.
            Jika dibandingkan dengan pendapat dari Harkristuti Harkrisnowo mengenai unsur-unsur dari perdagangan orang yang membagi menjadi 3 (tiga) unsur  yakni :[3]
1)    Perbuatan : merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
2)    Sarana (cara) untuk mengendalikan korban : ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian / penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
3)    Tujuan : eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.
            Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan, karena kendati korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.
            Savonna dan Stefanizzi di dalam mengukur pengaruh-pengaruh pada jaringan perdagangan orang membagi perdagangan manusia ke dalam 3 (tiga) tahap, yakni tahap perekrutan, tahap pemindahan dan tahap pengeksploitasian. Pada tiap-tiap tahap terdapat 4 (empat) variabel untuk dapat mengidentifikasi dan menanggulangi perdaganganan orang yang terorganisir. Adapun variabel-varibel tersebut ialah pasokan (supply), pelanggan (customer), pengatur (regulator) dan persaingan (competition). Dapat dijelaskan disini untuk bisa melakukan pencegahan maupun penanggulangan di setiap pentahapan maka terdapat variabel-variabel yang mempengaruhi jaringan perdagangan orang.
            Pada tahap perekrutan terdapat variabel pasokan atau supply yang memiliki tingkat kesulitan pemasangan atau penempatan iklan-iklan yang menyesatkan, tingkat kewaspadaan terhadap jumlah penduduk yang memiliki resiko tinggi terjadinya perdagangan manusia dan kemudahan bagi korban untuk berhubungan atau berkomunikasi (keluarga dan perkumpulan-perkumpulan); kemudian pada variabel pelanggan atau customer diketahuinya jalur-jalur jaringan pengangkut dan sejauh mana perekrut mencari lokasi perekrutan korban; kemudian pada variabel pengatur atau regulator yakni kekuatan pada ketentuan hukum yang mengatur pelarangan perdagangan orang dan sejauhmana pengawasan yang dilakukan oleh polisi terhadap perekrut-perekrut yang dicurigai; kemudian pada variabel persaingan atau competition terdapat peluang-peluang lapangan pekerjaan yang resmi pada daerah-daerah sumber pemasok dan juga keberadaan kelompok-kelompok kejahatan lain yang mencari korban-korban yang sama.
            Pada tahap pemindahan terdapat variabel pasokan atau supply yang memiliki status hubungan kepada perekrut, kemudahan untuk mendapatkan metode-metode dan rute-rute transit yang mudah; kemudian pada variabel pelanggan atau customer diketahuinya hubungan-hubungan ke kelompok kejahatan si perekrut di tempat tujuan, sejauhmana kelompok-kelompok tujuan tetap atau berganti; kemudian pada variabel pengatur atau regulator yakni pengetahuan polisi tentang kegiatan prostitusi lokal dan aktivitas buruh ilegal, kekuatan regulasi-regulasi terhadap bisnis-bisnis untuk mengontrol buruh yang dipaksa bekerja dan buruh yang digaji sangat rendah, upaya penegakkan hukum yang dilakukan untuk menemukan orang-orang yang diperdagangkan; kemudian pada variabel persaingan atau competition terdapat usaha prostitusi lokal yang menggunakan wanita bukan korban perdagangan orang, sejauhmana tingkat permintaan seks / buruh ilegal lokal yang dilayani oleh pemasok yang tidak melakukan perdagangan orang.
            Pada tahap Ekploitasi terdapat variabel pasokan atau supply yang memiliki kekuatan hubungan-hubungan dengan kelompok-kelompok pemindahan, kapasitas untuk mengintimidasi korban secara terus menerus untuk tetap mengendalikannya, kemudahan untuk dapat memindahkan korban setelah sampai di tujuan; kemudian pada variabel pelanggan atau customer diketahuinya ukuran permintaan lokal dalam hal prostitusi, ukuran pasar dalam hal mempekerjakan pekerja tanpa dokumen, tingkat kewaspadaan terhadap perdagangan orang di lokasi tujuan; kemudian pada variabel pengatur atau regulator yakni pengetahuan polisi tentang prostitusi lokal dan kegiatan buruh ilegal, kekuatan regulasi-regulasi dalam bisnis untuk mengontrol buruh yang di gaji sangat rendah dan buruh yang dipaksa bekerja; kemudian pada variabel persaingan atau competition terdapat kemudahan yang relatif dan keuntungan dari perdagangan orang daripada penyelundupan barang-barang lainnya, intensitas kompetisi dari kelompok-kelompok kejahatan lain.
            Perdagangan orang akan memberikan 2 (dua) jenis dampak bagi korbannya, yakni dampak fisik dan dampak non fisik. Dampak fisik jelas akan terjadi mengingat korban banyak yang mendapatkan penganiayaan, penyiksaan-penyiksaan, perlakuan yang tidak sewajarnya seperti eksploitasi seksual, pelacuran, pencabulan atau pemerkosaan dan lain-lain yang sudah pasti sangat merugikan bagi korban. Sedangkan dampak non fisik, korban akan terganggu psikologi (kejiwaannya) akibat tindakan-tindakan yang diterimanya selama menjadi korban perdagangan orang yang juga tertanam dalam pikiran dan perasaan si korban yang merasa dirinya telah rusak tidak berguna lagi.

Pencegahan dan Penanggulangan sebagai saran
            Perkembangan perdagangan manusia semakin meluas dan kini terjadi dengan pola yang lebih maju seiring perkembangan jaman dan teknologi yang mana di negara Indonesia dalam hal pengaturan tergolong dalam tindak pidana yang masih baru yang terbukti dengan baru diaturnya tindak pidana perdagangan orang ini pada tahun 2007 dengan Undang-Undang no. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang . Perdagangan manusia juga terjadi tidak hanya dalam lingkup suatu wilayah negara tertentu tetapi telah melingkupi kepentingan lebih dari satu negara sehingga merupakan bagian dari kejahatan transnasional.
            Sedangkan di taraf internasional, perdagangan manusia telah diatur pada protokol Palermo atau sering disebut United Nations Convention Against Transnational Crime (UN CATOC) dan ditambah berbagai konvensi yang juga berkaitan dengan perdagangan manusia dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya.
            Dalam hal pencegahan dan penanggulangan terhadap perdagangan orang perlu adanya penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat lewat penyuluhan dari desa atau daerah, iklan dan pembahasan dengan para siswa agar terhindar dari tindak pidana perdagangan orang maupun bentuk-bentuk lain dari perbudakkan masa kini. Tidak terlepas juga bagi aparatur negara penegak hukum agar diberikan pembekalan terhadap tindak pidana perdagangan orang serta mewaspadai, meningkatkan pengawasan dan penjagaan perbatasan negara guna mencegah terjadinya perdagangan orang.



DAFTAR PUSTAKA


Golose, Petrus, Trafficking in Person, Bahan dan Slide Perkuliahan Pasca Sarjana   Ilmu Kepolisian, Jakarta, STIK-PTIK, 2012.

Harkrisnowo, Harkristuti, Laporan Laporan Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta,        Sentra HAM Universitas Indonesia, 2003.

Irsan, Koesparmono, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Jakarta, STIK-PTIK, 2011.

Kusumawardhani dkk, Human Trafficking : Pola Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan, Jakarta, Laporan Akhir Program           Insentif Peneliti Dan Perekayasa Lipi Tahun 2010.   (http://km.ristek.go.id/assets/files/LIPI/1135%20D%20S/1135.pdf)

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO)


[1] Koesparmono Irsan, Hak Asasi Manusia Dan Demokrasi, Jakarta, STIK-PTIK, 2011.
[2] Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang Di Indonesia Tahun 2004-2005.
[3] Hakristuti Harkrisnowo, Laporan Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, Sentra HAM Universitas Indonesia, 2003.

No comments:

Post a Comment